• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Matraman

Gus Miftah: Jangan Campur Aduk Budaya dan Agama

Gus Miftah: Jangan Campur Aduk Budaya dan Agama
Gus Miftah menyatakan bahwa tugas pendakwah mengingatkan, bukan memaksakan sebuah keyakinan. (Foto: NOJ/NU Network)
Gus Miftah menyatakan bahwa tugas pendakwah mengingatkan, bukan memaksakan sebuah keyakinan. (Foto: NOJ/NU Network)

Pacitan, NU Online Jatim
Kondisi geografis dalam suatu daerah mempengaruhi cara berbudaya. Sehingga, sebagai seorang muslim harus mampu membedakan antara agama dengan budaya dalam wilayah tertentu.


Penegasan tersebut disampaikan KH Miftah Maulana Habiburrahman pada momentum Ngaji Bareng. Kegiatan dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) ke-277 Pacitan yang dipusatkan di Desa Nglaran, Kecamatan Tulakan, Senin (21/02/2022) malam.


“Hari ini sedang viral tentang diharamkannya budaya wayang. Bahkan, saya dicaci maki habis-habisan oleh kaum Wahabi karena mempertahankan wayang sebagai tradisi Jawa,” kata Gus Miftah.


Dalam kegiatan yang juga disiarkan langsung melalui kanal Youtube Rama Production Pacitan tersebut dia menerangkan bahwa pola dakwah yang ia bawa adalah dengan membudayakan agama, bukan menjadikan budaya sebagai agama. Ia mengingatkan kepada hadirin agar tidak mencampur adukkan antara kedua hal tersebut.


Sebagai contoh, dia menceritakan tentang cara berpakaian Nabi Muhammad SAW yang menggunakan jubah. Hal itu bisa dikatakan sebagai budaya, karena tradisi pakaian sudah ada sebelum Rasul SAW menyampaikan dakwah. Bahkan, Abu Jahal dan Abu Lahab juga menggunakan hal serupa. 


“Jubah yang awalnya sebagai budaya karena dikenakan oleh Nabi, berubah menjadi sunah. Tapi, bukan berarti kalian yang di Pacitan juga harus menggunakan jubah. Karena kondisi kita saat ini berbeda dengan waktu itu. Terlebih lagi mayoritas pekerjaan di sini sebagai petani, tukang becak dan sopir truk,” terangnya disambut gelak tawa jamaah.


Dijelaskan dia, dalam konteks beribadah, sudah menjadi sebuah kewajiban untuk menjalankan syariat. Namun, ada budaya yang berbeda-beda antara satu daerah dengan yang lainnya dalam melaksanakan syariat tersebut. Seyogyanya, sebagai muslim yang baik tidak memaksakan orang lain untuk mengikuti cara beribadah salah satu kaum.


“Menutup aurat itu wajib, cara menutup aurat itu budaya. Orang Pacitan tidak harus memakai cadar layaknya di Arab. Karena, di sana memang kondisinya padang pasir dan itu berbeda sekali dengan kondisi kita di sini,” tegas pengasuh Pesantren Ora Aji Sleman Yogyakarta tersebut.


Ia mengimbau, dalam menyampaikan dakwah agar menggunakan cara-cara yang baik. Dengan menggunakan pendekatan dan bahasa yang mudah diterima masyarakat. Tugas seorang pendakwah adalah mengingatkan bukan memaksakan sebuah keyakinan. 


“Kepada siapa pun, kalau berdakwah ambil dulu hatinya. Insyaalah, pesan yang akan kita sampaikan akan diterima dengan baik. Selanjutnya, urusan hidayah serahkan kepada Allah SWT,” pungkasnya.


Editor:

Matraman Terbaru