• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Rabu, 24 April 2024

Opini

Mewaspadai Potensi Intoleransi dan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan

Mewaspadai Potensi Intoleransi dan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan
Mewaspadai Potensi Intoleransi dan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan di Jawa Timur. (Foto: NOJ/Ist)
Mewaspadai Potensi Intoleransi dan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan di Jawa Timur. (Foto: NOJ/Ist)

Oleh: Rangga Sa’adillah SAP*)

Intoleransi beragama adalah ancaman nyata tetapi tidak pernah bisa terlihat secara kasat mata. Intoleransi beragama ancaman yang mampu berkelindan pada cabang-cabang ancaman lain dalam beragama seperti eksklusifisme, Radikalisme hingga terorisme. Demikian juga penyalahgunaan narkoba merupakan pangkal dari berbagai macam kegaduhan seperti pencurian, perzinahan, gangguan kamtibmas, bobroknya moral, hingga bertalian dengan kemerosotan ekonomi.

 

Ancaman Intoleransi

Dalam kancah nasional, intoleransi sebagai sebuah ancaman nyata dapat diamati dari laporan-laporan yang telah direkam oleh Qodir, seperti laporan dari Imparsial yang mencatat, terjadi 24 kasus penutupan gereja sepanjang tahun 2005. Pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan lainnya sebanyak 12 kasus. SETARA Institute pada tahun 2007 mencatat terjadi 135 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan.

 

Selanjutnya laporan PGI dan KWI sejak tahun 2004 – 2007 terjadi 108 kasus penutupan, penyerangan, dan perusakan gereja. Tahun 2009 Wahid Institut mencatat terjadi 35 kasus pelanggaran beragama, 93 tindakan intoleransi. Masih laporan dari Wahid Institut pada tahun 2010 kasus pelanggaran naik menjadi 63, sedangkan intoleransi menjadi 133. Sedangkan laporan dari SETARA Institute mencatat pada tahun 2010 terjadi 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan – yang mengandung 286 bentuk tindakan. Intinya dari laporan yang telah didaftar oleh Qodir, kasus intoleransi mengalami trend peningkatan (Qodir, 2018).

 

Peningkatan kasus intoleransi beragama dibenarkan oleh Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Antonius Benny Susetyo bahwa kasus intoleransi di Indonesia setiap waktu mengalami peningkatan. Menurutnya salah satu kasus yang mendominasi ialah pencegahan pendirian rumah ibadah. Selain itu, kasus intoleransi juga berupa gangguan pelaksanaan peribadatan.

 

Seperti yang telah didokumentasikan oleh Mahardika, bahwa sepanjang tahun 2020 terjadi penyerangan Jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Kota Serang Baru pada tanggal 13 September, sekelompok warga Graha Prima Jonggol menolak ibadah jemaat Gereja Pantekosta Bogor pada 20 September, umat Kristen di Desa Ngastemi dilarang beribadah oleh sekelompok orang pada 21 September, dan larangan beribadah terhadap jemaat Rumah Doa Gereja GSJA Kanaan di Kabupaten Nganjuk pada 2 Oktober (Mahardika, 2022).

 

Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Jawa Timur dikepung oleh potensi intoleransi, ekstrimisme-radikalisme agama sebab kantong-kantong kelompok ekstrimis masih bersemayam di Provinsi Jawa Timur. Sebab inilah mengapa BNPT menyatakan Jawa Timur sebagai salah satu provinsi yang sedang dipantau. Bahkan BNPT selanjutnya pernah menyatakan Jawa Timur adalah sebagai salah satu dari 12 provinsi yang merupakan zona merah tindakan terorisme.

 

Pengkategorian zona ini didasarkan pada asal daerah korban maupun pelaku seperti asal pelaku peristiwa bom Bali berasal dari Lamongan, tempat pembaiatan simpatisan ISIS berada di Malang, dan sebagai basis kelompok terbesar dari jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan lokus terjadinya Bom Gereja 2018 yang mastermind-nya adalah deportan pengikut ISIS (The Islamic State of Iraq and Syria).

 

Kantong gerakan ekstrimisme pernah bersemayam di Jawa Timur padahal dalam regulasi secara tegas eksistensi keorganisasian ISIS telah dilarang dalam Peraturan Gubernur Nomor 51 Tahun 2015. Dalam Pasal 1 dijelaskan bahwa gerakan ISIS di Jawa Timur dapat memicu dan atau menyebabkan terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat. Secara de yure keberadaan kelompok ekstrimis-radikalis seperti ISIS bisa ditepis menggunakan Pergub No. 51 tahun 2015 tetapi secara ideologis pemikiran-pemikiran ekstrimis-radikalis tidak akan bisa dilarang melalui Pergub tersebut.

 

Ancaman Returni dan Deportan Eks-Terorisme

Selain ancaman kantong-kantong ekstrimisme yang bersemayam di Jawa Timur, ada ancaman lain yang cukup menjadi perhatian yakni returni dan deportan eks-terorisme. Bila ancaman kantong ekstrimisme tidak bisa diberantas dengan regulasi, ancaman returni dan deportan eks-terorisme menjadi ancaman simalaka. Sebab ancaman ini berbenturan dengan pemenuhan hak asasi Warga Negara Indonesia (WNI). Pemerintah Indonesia berencana memulangkan WNI yang saat ini masih berada di daerah konflik sebagai bagian dari pemenuhan hak mereka sebagai warga negara.

 

Hal tersebut tentu perlu dipersiapkan secara matang oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia tidak terkecuali Pemerintah Provinsi dan masyarakat Jawa Timur sebagai daerah asal orang atau kelompok orang terpapar termasuk deportan dan returni perempuan dan anak.

 

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merilis data pada September 2021, total sekitar duaribu lebih WNI yang terjebak ISIS di luar negeri. Lebih dari seribu WNI termasuk anak-anak mereka masih berada di daerah konflik. Lebih dari 500 orang di antaranya tersebar di kamp-kamp di Suriah, perbatasan Turki, dan di beberapa penjara.      

 

Diperkirakan dari seluruh deportan dan returni asal Indonesia di Suriah dan Irak, sekitar 689 orang adalah perempuan, 333 orang berusia anak, dan 236 anak di antaranya berusia di bawah 10 tahun. Dari jumlah perempuan yang kembali ke Indonesia, 13%-nya adalah perempuan yang berstatus cerai dan janda; dan 5% berstatus lajang.

 

Strategi Penta-Helix sebagai Exit Poll

Perubahan sosial tidak bisa dilakukan sendirian. Mengubah keadaaan harus dilakukan bersama-sama dengan banyak pihak. Hanya kolaborasi yang memungkinkan suatu masyarakat untuk dapat terus maju dan berkembang. Model kerjasama antar banyak pihak tentu ada berbagai macamnya, salah satunya adalah Penta-Helix. Kolaborasi dalam konsep Penta-Helix merupakan kegiatan kerjasama antar bidang dan pihak dari Academisi, LSM, Ormas, OPD, dan Media.

 

Meski pada tahun 2022 Gubernur Jawa Timur telah merilis SK Pokja penanggulangan ekstrimisme Nomor 188/451/kpts/013/2022 tetapi pertanyaannya adalah apakah Pokja itu bisa efektif menanggulangi ekstrimisme? Sementara ekstrimisme, radikalisme dan terorisme tidak akan pernah berhenti pada pada program kerja atau tahun anggaran. Ekstrimisme akan terus menerus beraksi tanpa ada batas waktu dan batasan anggaran.

 

Sebenarnya memang bila SK Nomor 188/451/kpts/013/2022 itu sebagai mandat untuk mempersatukan unsur penta-helix supaya bekerjasama dan bersama-sama untuk melakukan langkah preventif dan aksi untuk menanggulangi ekstrimisme dengan cara bergandengan tangan. Dengan hadirnya SK Nomor 188/451/kpts/013/2022 menunjukkan bahwa Pemerintah butuh peranserta masyarakat.

 

Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri menanggulangi ekstrimisme masyarakat dan kelompok-kelompok organisasi keagamaan, kelompok rentan, serta organisasi-organisasi yang bergurita hingga mencapai grassroot harus berkolaborasi dalam forum multistakeholder untuk menanggulangi ekstrimisme.

 

Dalam hal ini tidak diragukan eksistensi dari NU yang memiliki banyak underbow yang terdiri dari badan otonom seperti GP Ansor, Fatayat NU, IPNU, IPPNU yang memiliki struktur organisasi dari Pusat hingga Ranting bahkan Anak Ranting – demikian juga Lembaga-lembaga NU seperti LP. Ma’arif, Lakpesdam dan banyak lembaga lain yang memiliki fungsi agen diseminasi moderatisme dan deradikalisasi hendaknya juga selalu digandeng dalam forum multistakeholder.

 

Sebab bila forum multistakeholder dikuatkan oleh organisasi seperti NU yang memiliki gurita hingga sampai grassroot – masyarakat akan memiliki sistem deteksi dini terhadap ideologi-ideologi radikalisme berbasis kekerasan. Tentu saja menggandeng organisasi seperti NU ini tidak hanya dilakukan pada moment kepentingan “pemilihan” saja melainkan benar-benar menggandeng mereka dalam melakukan aktivasi sistem deteksi dini ideologi radikalisme – semoga.

 

*) Rangga Sa’adillah SAP, adalah Pengurus Aswaja NU Center Sidoarjo & Wakil Ketua 1 STAI Taswirul Afkar Surabaya.


Opini Terbaru