• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 25 April 2024

Madura

Di Sumenep, Islah Bahrawi Kupas Radikalisme dan Intoleransi

Di Sumenep, Islah Bahrawi Kupas Radikalisme dan Intoleransi
Islah Bahrawi (pegang mik), saat membahas radikalisme dan intoleransi di Kabupaten Sumenep. (Foto: NOJ/ Firdausi)
Islah Bahrawi (pegang mik), saat membahas radikalisme dan intoleransi di Kabupaten Sumenep. (Foto: NOJ/ Firdausi)

Sumenep, NU Online Jatim
Gus Islah Bahrawi mengatakan, terdapat kata kunci dalam agama sehingga dimanfaatkan untuk gerakan radikalisme, intoleransi, serta paham keislaman lain yang kurang sejalan dengan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


“Yakni, konsep kematian, dogma, dan membuat kekuasaan di akhir zaman,” ujarnya saat acara Halaqah Islam Wasathiyah dengan tajuk ‘Mari Kembalikan Madura yang Rendah Hati dan Penuh Toleran’. Acara ini digelar Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Sumenep, Senin (27/06/2022) di Hotel Azmi Pajagalan, Kota, Sumenep.


Tiga hal dalam agama itu, lanjutnya, bisa ditunggangi untuk kepentingan politik. Sebagaimana tragedi terbunuhnya Sayyidina Utsman bin Affan r.a atas konspirasi Muhammad bin Abu Bakar dengan orang Mesir yang mengatasnamakan agama.


Dirinya mengatakan, gerakan yang dilakukannya bertujuan ingin menyelamatkan Islam dari kesan-kesan kebencian dan perpecahan atas kepentingan pragmatis. Karena secara faktual, perbedaan itu bisa menciptakan kubu atau klaster dalam Islam yang ujung-ujungnya adalah saling menyalahkan dan saling mengkafirkan satu sama lain.


“Padahal itu semua hanya bagian dari persoalan tafsir,” kata Tenaga Ahli Pencegahan Radikalisme, Ekstremisme dan Terorisme Mabes Polri itu.


“Apakah kita tahu bahwa ajaran-ajaran Ateisme bersumber dari Arab pada kejayaan Islam, seperti Abu al-A’la Al-Ma’arri seorang filsuf, penyair, dan penulis buta yang memegang kontroversi pandangan tak beragama. Ada juga Abu Bakar Al-Razi yang memiliki paradigma teosentris sekaligus menolak konsep kenabian, sehingga ia divonis al-mulhid,” imbuhnya.


Berhubung umat Islam memiliki tradisi diskusi keilmuan, sambungnya, akhirnya bisa dipatahkan oleh Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi atau Imam Nawawi, Abdullah bin Masud, dan lainnya.


“Dan, kita sudah terbiasa dengan diskursus keilmuan. Artinya, pemikiran dilawan dengan pemikiran, ideologi dilawan dengan ideologi, fikih dilawan dengan fikih, dan seterusnya,” ucap alumni Pondok Pesantren Syaichona Moh Cholil Bangkalan ini.


Tak sampai di situ, kitab Tahafut Al-Falasifah karangan Al-Ghazali yang ingin mengkritisi pemikirannya Ibnu Sina atau Avicenna, dikiritisi juga oleh Ibnu Rusyd atau Averroes dengan memunculkan kitab Tahafut al-Tahafut.


Menurut Islah Bahrawi, hari ini tradisi yang dicontohkan oleh pendahulu sudah hilang. Seumpama, jika ada kekeliruan dalam tahlilan, maulidan dan sejenisnya, langsung divonis bid’ah, kafir, dan lain sebagainya.


"Semestinya ada diskursus pemikiran dan keilmuan agar tidak saling mengkafirkan, membenci, dan sejenisnya. Oleh karena itu, mari kita selamatkan dan memajukan Islam dengan ilmu pengetahuan, bukan dengan politik,” pungkasnya.


Madura Terbaru