• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Opini

Hubbul Wathan Minal Iman di Tengah Derasnya Globalisasi

Hubbul Wathan Minal Iman di Tengah Derasnya Globalisasi
Foto: PWNU Jatim
Foto: PWNU Jatim

Oleh: Irfan Hidayat*)
Bangsa Indonesia memiliki catatan sejarah yang cukup panjang dalam kemerdekaannya. Hal itu tidak lepas dari peran masyarakat serta bentuk masyarakatnya yang memiliki semangat pluralism tinggi, baik suku bangsa, budaya, bahasa, hingga agama yang kemudian dijewantahkan dalam sebuah ideologi negara, yaitu Pancasila.
 

Keberagaman tersebut menjadikan Indonesia memiliki karakteristik yang cukup berbeda dibandingkan bangsa yang lain. Selain itu, kehidupan masyarakatnya pun mempunyai banyak keunikan sehingga tidak lepas dari tantangan serta ancaman.
 

Pancasila sebagai ideologi Negara mempunyai makna bahwa setiap unsur kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara harus berlandasakan terhadap nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan serta keadilan. Selain sebagai ideologi, falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila tidak lepas dari nasionalisme bangsa Indonesia.
 

Berbicara nasionalisme, tentu saja tidak bisa lepas dari cinta terhadap tanah air. Sebagai Negara dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam, maka dalam upaya menjaga eksistensi Pancasila tidak dapat mengandalkan semangat nasionalis semata. Akan tetapi, perlu juga diiringi dengan aspek-aspek religius yang mempunyai pandangan luas terkait hokum dalam kehidupan bermasyarakat.​​​​​
 

Alia zmi (2019), dalam karyai lmiahnya yang berjudul: “Gerakan Pemuda Ansor Kota Tangerang dalam Memaknai Jargon Hubbul Wathan Minal Iman Nahdlatul Ulama”, menjelaskan bahwa implementasi dari rasa cinta terhadap tanah air yang diwujudkan oleh umat Islam Indonesia, khusunya kalangan Nahdliyin, melalui jargon hubbul wathan minal iman yang secara etimologi mempunyai arti ‘cinta tanah air sebagian dari iman’.
 

Lebih jauh, menurut Ali azmi (2019), gagasan hubbul wathan minal iman ini tidak bisa lepas dari peranan ulama dan Kiai Nusantara, khususnya Kiai-kiai Nahdlatul Ulama (NU), di masa perjuangan bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya.
 

Apabila kita membaca sejarah bangsa Indonesia, proses pemebentukan dan pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak bisa lepas dari masyarakat yang memegang teguh nasionalis-religius, yang kemudian bersinergi dengan berpedoman terhadap dasar yang tepat serta tidak menyimpang.
 

Contohnya seperti pemilihan diksi pada sila pertama Pancasila, yaitu ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Menurut Erman S. Saragih (2018), dalam jurnalnya yang berjudul: “Analisis dan Makna Teologi Ketuhanan yang Maha Esa dalam Konteks Pluralisme Agama di Indonesia”, bahwa secara mendasar, diksi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ menjadi pijakan pertama dalam mempersatukan masyarakat Indonesia, baik kalangan nasionalis maupun kalangan religius.
 

Ideologi Pancasila menjadi hal ideal yang sangat penting bagi setiap warga Negara Indonesia untuk tetap mempunyai iman yang kuat, serta tetap meyakininya sebagai suatu pedoman hidup berbangsa dan bernegara.
 

Derasnya arus globalisasi
Salah satu tantangan dalam menjaga eksistensi Pancasila, termasuk menjaga dan meneguhkan prinsip hubbul wathan minal iman, di masa sekarang ialah pengaruh arus globalisasi. Pengaruh global ini apabila tidak disikapi dengan bijak oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia, akan berimplikasi terhadap lunturnya rasa kebanggaan bahkan rasa memiliki terhadap bangsa Indonesia sendiri. Akibatnya, prinsip hubbul wathan minal iman dalam setiap individu masyarakat akan semakin berkurang.
 

Nurhaidah (2015), dalam jurnalnya yang berjudul: “Dampak Pengaruh Globalisasi bagi Kehidupan Bangsa Indonesia”, menjelaskan bahwa sebagian masyarakat Indonesia kini lebih bangga terhadap kebudayaan yang dimiliki bangsa lain, atau bahkan lebih menyukai dan memilih produk impor dari pada produk lokal dalam negeri, sehingga lebih percaya terhadap bangsa lain ketimbang bangsanya sendiri.
 

Dalam hal ini, tantangan dari implementasi hubbul wathan minal iman di masa sekarang berbeda dengan di masa perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia kala itu.
 

Saat ini, menanamkan hubbul wathan minal iman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi suatu keharusan setiap masyarakat Indonesia, mengingat derasnya arus globalisasi yang dapat berdampak terhadap hilangnya budaya dan tradisi masayarakat pribumi Indonesia.
 

Implementasi hubbul wathan minal iman
Bangsa Indonesia dapat menjadi suatu bangsa yang kuat apabila Pancasila selalu dijadikan sebagai suatu landasani deologis. Namun, tidak cukup berhenti di situ, masyarakat Indonesia harus berupaya untuk meningkatkan hubbul wathan minal iman dalam berpikir, bersikap, dan bertindak di setiap kehidupan bermasyarakat. Hal ini menjadi penting mengingat bangsa Indonesia agar tidak kehilangan identitas dan karakternya, serta tidak terkontaminasi budaya dan tradisi bangsa lain.
 

Saat ini, wujud dari hubbul wathan minal iman dapat di implementasikan masyarakat dengan tidak lagi berjuang di medan pertempuran.
 

Namun, cukup diwujudkan dengan mencintai serta mempertahankan budaya dan tradisi yang dimiliki bangsa sendiri dibandingan budaya dan tradisi bangsa lain, atau dengan membeli serta menggunakan produk lokal dalam negeri, serta lebih percaya terhadap bangsa sendiri dari pada bangsa lain.
 

Sedangkan dalam upaya mewujudkan implementasi sila pertama Pancasila dapat dilakukan dengan cara menumbuhkan serta meningkatkan rasa toleransi terhadap sesama dengan kemajemukan bangsa Indonesia. Baik dalam toleransi beragama, berpendapat, berbudaya, hingga berpolitik.
 

Dengan menumbuhkan serta meningkatkan rasa toleransi ini, tentunya diharapkan bisa mengurangi perselisihan atau bahkan konflik dalam masyarakat Indonesia. Rasa toleransi ini juga dapat menjadi indicator dari implementasi hubbul wathan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
 

*) Alumni Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Editor:

Opini Terbaru