• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 29 Maret 2024

Opini

Kisah Luhur Tiga Ulama Nahdlatul Ulama Sumenep

Kisah Luhur Tiga Ulama Nahdlatul Ulama Sumenep
Tiga kiai teladan dari Sumenep yang kisahnya layak menjadi inspirasi generasi muda. (Foto: NOJ/Abdullah Hafidi)
Tiga kiai teladan dari Sumenep yang kisahnya layak menjadi inspirasi generasi muda. (Foto: NOJ/Abdullah Hafidi)

Oleh: Ahmad Fauzan Rofiq

Di kawasan Sumenep, tersebutlah tiga ulama kharismatik berbudi luhur, yakni KH Ahmad Basyir AS, KH Abdul Basith AS, dan KH Ahmad Fauzi Sirran. Ulama yang disebut pertama dan kedua adalah pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk. Keduanya adalah putra KH Abdullah Sajjad, seorang pejuang yang syahid di ujung bedil Belanda tahun 1947. Sedangkan ulama terakhir adalah saudara ipar keduanya yang menjadi pengasuh di Pondok Pesantren Al-Ihsan Jaddung Pragaan Sumenep.

 

Adalah Kiai Basith yang sejak dahulu merasa tidak enak karena telah menempati rumah peninggalan KH Abdullah Sajjad mengingat putra sang syahid itu banyak. Untuk itu berniat mengganti dengan sejumlah uang kepada Kiai Basyir selaku saudara lelaki paling sepuh. Tapi masalahnya, yang bersangkutan tidak punya uang senilai harga tanah yang cukup luas itu.

 

Akhirnya Kiai Basith meminjam sejumlah uang (tentunya nominalnya tidak sedikit) kepada Kiai Fauzi, lalu menyerahkannya kepada Kiai Basyir. Dengan penuh tawadlu menjelaskan maksud penyerahan uang itu. Tapi betapa terkejutnya ketika Kiai Basyir yang nota bene adalah Rais Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep sekaligus Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini berkata: "Tanah itu milikmu dan uang ini sekarang juga jadi milikmu," seraya menyerahkan kembali uang tersebut.

 

Kiai Basith jadi salah tingkah. Tapi apa boleh buat, itu sudah menjadi keputusan yang tidak bisa dibantah oleh siapa pun, apalagi Kiai Basyir dikenal dengan sifat tawadlu.

 

Akhirnya Kiai Basith pulang dengan perasaan bingung. Untuk menghilangkan kegundahan itu, bermaksud mengembalikan uang yang sudah tidak dibutuhkan lagi itu kepada Kiai Fauzi. Tapi apa yang terjadi setelah sampai di rumah Kiai Fauzi? Di luar dugaan, dengan penuh hormat justru berkata: "Saya tidak biasa memasukkan kembali uang yang sudah keluar dari kantong baju saya," sambil menyodorkan uang itu kepada Kiai Basith.

 

Subhanallah. Artinya, secara tidak langsung, Kiai Fauzi menolak menerima uang itu serta menyedekahkannya kepada Kiai Basith. Sampai di sini Kiai Basith terdiam karena tidak tahu harus berkata apa.

 

Akhir cerita, walaupun semua ahli waris menyepakati tempat itu berhak ditempati oleh Kiai Basith dan keturunannya, namun dengan ikhlas mewakafkan tanah yang ada ke pesantren. Dan dirinya membeli pekarangan baru di samping sebagai tempat tinggal.

 

Kiai Basith merupakan ulama sangat alim dan tawadlu. Bahkan menurut KH Abdurrahman Wahud atau Gus Dur disebut sufi. Di antara tanda kesufian Kiai Basith adalah akan merasa gelisah dan kebingungan manakala memiliki uang. 

 

KH Ahmad Basyir dan KH Ahmad Fauzi sudah berpulang ke rahmatullah beberapa waktu lalu. Sedangkan KH Abdul Basith saat ini sudah mulai sepuh dan kesehatannya menurun drastis. Namun begitu, tetap produktif menulis berbagai fan kitab, di antaranya yang terkenal adalah Tafsir Surat Yasin. Lahumul fatihah.

 

Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep dan Ketua Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Larangan, Pamekasan.
 


Editor:

Opini Terbaru