Malang, NU Online Jatim
Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Islam Malang (Unisma) bekerja sama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FEB Unisma dalam rangka mewadahi kegiatan Latihan Keterampilan Manajemen Mahasiswa (LKMM). Sukses menyelenggarakan Leadership dan Management Series 2 yang bertajuk Kepemimpinan dalam Perspektif Gender. Kegiatan ini menghadirkan Safira Machrusah, Dubes Al-Jazair 2016-2020, Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Pusat dan MUI Kerja Sama Internasional.
Kegiatan ini sebagai lanjutan kegiatan dari ledearship dan management series pertama dan dilaksanakan secara daring melalui media zoom meeting. Kegiatan ini dihadiri mahasiswa FEB Unisma baik Program Studi Akuntansi, Manajemen dan Perbankan Syariah sebanyak 900 Peserta.
Dekan FEB Unisma, Nur Diana menjelaskan leadership merupakan salah satu visi dan misi fakultas, untuk meningkatkan kemampuan atau skill mahasiswa dalam memimpin dan keterampilan manajerial. Tentunya sebagai bekal mahasiswa selama kuliah hingga terjun ke masyarakat.
"Disamping membangun karakter pribadi (personality) supaya semakin kuat agar agar menjadi mahasiswa yang kompeten, unggul,berdaya saing dalam mendukung Indonesia Maju," kata Nur Diana.
Diana menambahkan, kepemimpinan bisa berasal dari faktor bawaan atau bakat, faktor sosial dan faktor ekologis. Sehingga, seseorang dapat menjadi pemimpin karena faktor keturunan, genetis atau memang dilahirkan karena memiliki bakat kepemimpinan. Disatu sisi bisa jadi kepemimpinan karena faktor sosial yaitu Pemimpin adalah seseorang yang dibentuk dan bukan dilahirkan. Semua orang adalah sama dan memiliki potensi menjadi pemimpin.
"Setiap individu memiliki bakat menjadi pemimpin dan faktor lingkungan yang mempengaruhi bakat ini sehingga dapat disalurkan dengan baik,” tambah Diana.
Menurutnya, individu dapat dididik, dilatih dan dibina untuk menjadi pemimpin. Jadi, setiap orang memiliki potensi menjadi pemimpin asalkan dapat dididik, diajar dan dilatih.
Kemudian, akan lebih baik lagi jika seorang pemimpin adalah perpaduan antara faktor keturunan dan faktor bakat dan lingkungan seperti pendidikan dan pelatihan yang memungkinkan bakat tersebut dapat teraktualisasi dengan baik. Tujuan LKMM digelar untuk menciptakan pemimpin-pemimpin di FEB Unisma
“Menjadi seorang pemimpin tidaklah mudah, banyak hambatan-hambatan yang harus dilalui. Mahasiswa kelak akan menjadi generasi pemimpin di masa depan, maka dari itu harus menanamkan jiwa leadership dari sekarang," ujarnya.
Lebih lanjut, bisa menghadapi era 4.0 yang penuh ketidakpastian dengan berbagai isu yang melingkupinya. Salah satu isu paling kental adalah masalah gender.
Disisi lain, mahasiswa FEB Unisma mayoritas didominasi kaum perempuan. Kami berharap semua mahasiswa menjadi menjadi generasi yang dinamis,visioner dan merespon segala isu gender di era 4.0 termasuk juga berkaitan dengan kepemimpinan.
“Kami mengapresiasi tim organizing commite yaitu BEM FEB Unisma yang sangat peka dalam mengulas berbagai isu kepemimpinan," imbuh Diana.
Hal ini sangat penting dipahami oleh peserta LKMM agar tanggap terhadap isu gender dalam kepemmpinan dan diharapkan bisa menumbuhkan jiwa pemimpin yang berkesetaraan dan berkeadilan gender.
Sementara, Safira Machrusah menuturkan dalam paparannya fenomena diskriminasi gender hampir terjadi di seluruh dunia, dihampir semua sektor.
"Faktanya telah terjadi ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Sehingga hal ini mengakibatkan kaum perempuan berada dalam kondisi subordinat dan terpinggirkan atas kaum lelaki," tuturnya.
Selanjutnya, situasi tersebut pada akhirnya telah memicu munculnya suatu tuntutan dan gugatan untuk segera mengakhiri, menghilangkan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Selanjutnya ia menambahkan ada beberapa fungsi kepemimpinan seperti pelatih, fasilitator, ahli strategi, punya visi, agen perubahan, pembuat keputusan, pemberi pengaruh, pemain yim, mampu mendelegasi dan pendengar yang baik. Perspektif Gender adalah suatu sikap pandang seseorang yang mampu membuat kebijakan bersifat adil terhadap jenis kelamin.
"Gender harus digunakan untuk merujuk pada konstruksi sosial dan budaya tentang maskulinitas dan feminitas dan bukan pada keadaan menjadi laki-laki atau perempuan," pungkasnya.