• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Pendidikan

Maya Stolastika, Alumnus Unesa Sukses Kembangkan Twelve's Organic

Maya Stolastika, Alumnus Unesa Sukses Kembangkan Twelve's Organic
Suasana di Twelve's Organic, Pacet, Mojokerto. (Foto: NOJ/Villagerspost)
Suasana di Twelve's Organic, Pacet, Mojokerto. (Foto: NOJ/Villagerspost)

Surabaya, NU Online Jatim
Perempuan kelahiran Flores Timur, Nusa Tenggara Timur ini mengingat ulang permasalahan dunia yang dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Bali beberapa waktu berselang. Dalam pembukaan pertemuan para pimpinan negara tersebut, krisis pangan dan energi langsung disoroti oleh Presiden Jokowi. Belum lagi terus berkurangnya pupuk subsidi dari pemerintah dan naiknya harga pupuk kimia yang diyakini merupakan dampak dari perang Rusia dan Ukraina.


"Pertanian organik adalah masa depan kita, karena selain pangan, juga mencakup isu kesehatan, dan juga lingkungan," kata Maya Stolastika sebagaimana dilansir SuryaMalang.com.


Isu-isu tersebut menjadi perhatian masyarakat saat ini. Pertanian organik diyakini bisa bertahan dan bahkan solusi dalam krisis pangan. Lebih dari itu, hasil panen pertanian organik menyediakan makanan yang lebih sehat dibandingkan tanaman yang menggunakan pupuk kimia.


"Kesehatan ini menjadi salah satu faktor yang sangat menjadi perhatian masyarakat terutama setelah masa pandemi Covid-19. Masyarakat semakin peduli betapa pentingnya gaya hidup sehat," terang lulusan Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini.


Begitu juga dengan upaya pemulihan alam dan lingkungan untuk menekan pemanasan global dan bencana alam yang mulai dikampanyekan di berbagai belahan dunia. Hal ini sejalan dengan metode tanam organik yang sangat mengandalkan kelestarian alam dan lingkungan agar hasil panen bisa maksimal.


"Lalu untuk petaninya, siapa sih yang tidak mau tinggal di daerah hijau dan bersih udaranya. Saya yakin semua orang mau," lanjutnya.


Ketiga isu tersebut yang membuat Maya optimis ke depan para milenial akan semangat untuk terjun ke dunia pertanian terutama pertanian organik. Langkah Maya untuk terjun dan bertahan di dunia pertanian organik sendiri juga bisa dibilang tidak mudah. Jatuh bangun ia alami berkali-kali, bahkan sempat berada pada titik untuk makan esok hari saja ia kebingungan.


Nama dan Pola Pemasaran
Nama Twelve's Organic juga mengandung arti yang mendalam. Selain akronim dari Two Wealth Vegetables Supply Organic, nama tersebut diartikan sebagai 'kehidupan kedua' bagi dua orang perempuan yang berjuang di industri pertanian organik. Dengan kegigihannya untuk bertahan di industri pertanian organik, saat ini ia bersama Herwita mengelola 9 kebun dengan luas total 1,5 hektare.


"14 petani membantu kita, ada petani untuk sayur mayur, ada petani yang menanam buah-buahan berry," jelas Maya.


Setiap pekannya, Maya bisa tiga kali panen dengan produksi mencapai 50 kilogram hingga 120 kilogram setiap kali panen. Rata-rata ia menjual hasil panennya dengan harga Rp30 ribu per kilogram.


"Kita punya konsumen 300 rumah tangga atau end user dan lima reseller. Target pasarnya mulai dari Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Malang, Bogor, sampai Jakarta," ucap dia.


Dalam menjual hasil panennya, Maya enggan hanya mengandalkan reseller, ataupun tengkulak seperti petani pada umumnya. Perempuan yang berdomisili di Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto ini mengombinasikan dua sistem jual, yang pertama adalah menggunakan sistem rantai pasok panjang pada umumnya yang harus menggunakan tengkulak. Sedangkan cara yang kedua adalah rantai pasok pendek yaitu berjualan langsung ke end user atau konsumen. Sasaran langsung ke konsumen ini dianggap lebih menguntungkan dan yang lebih penting lagi adalah bisa terhindar dari kerugian akibat permainan harga pasar.


"Alur supply chain (rantai pasok) kita seperti ada tirai tipis saling pandang antara produsen dan konsumen, antara petani di hulu dan orang-orang di hilir yang menyebabkan alurnya tidak berjalan," jelas Maya.


Untuk itu, ia mendesain lahan di kebunnya agar mempunyai jarak yang lebih lebar antara bedengan atau area tanam satu dengan yang lainnya sehingga bisa lebih leluasa dilewati oleh orang.


"Saya buka untuk umum, supermarket alami dari petani langsung ke konsumen," lanjutnya.


Dari 9 kebun yang saat ini ia kelola, Maya menanam puluhan jenis tanaman mulai dari sayuran, buah dan umbi, herba, dan aneka jenis buah beri. Keberagaman jenis komoditas tanaman ini menurut Maya juga menjadi senjata ampuh untuk bisa bertahan bahkan meraup untung di sektor industri pertanian organik. Menurutnya, kelemahan petani pada umumnya adalah tidak pernah melakukan penawaran tapi justru hanya menunggu permintaan. 


Selama puluhan tahun bahkan lebih dari satu abad, petani di satu daerah hanya menanam 3 sampai 4 jenis tanaman yang turun temurun diwariskan generasi sebelumnya. Alasannya, karena jenis tanaman yang diminta tengkulak ke petani adalah jenis tanaman tersebut. Begitu juga sang tengkulak, berdalih hanya komoditas itu-itu saja yang diminta konsumen.


"Padahal konsumen tidak memilih komoditas lain karena memang tidak ada pilihan lain yang ditawarkan oleh tengkulak," jelasnya.


Hal tersebut juga menyebabkan penawaran dan permintaan tak seimbang. Salah satu komoditas punya stok yang berlimpah ruah sehingga harganya anjlok dan akhirnya terbuang. Di sisi lain, salah satu komoditas sangat langka karena tidak ada petani yang menanam sehingga harganya menjadi mahal. Untuk itulah Maya selalu mendorong para petani tidak hanya menunggu permintaan tengkulak, tapi langsung menawarkan hasil panennya ke end user atau konsumen.


Awal yang Sulit
Namun di balik kesuksesannya saat ini, Mantan Presiden Aliansi Organis Indonesia (AOI) ini selalu mengingat awal mula tujuan ia menggeluti industri pertanian organik yaitu memberikan kebaikan.


"Pada tahun 2007 saya bersama teman-teman satu jurusan saya belajar yoga ke Bali, dan ternyata gurunya adalah seorang vegetarian. Sementara kita tidak ada yang suka sayur, tapi mau tidak mau kita harus ikut menjadi seorang vegetarian," kenang Maya.


Begitu tiba di rumah guru yoga tersebut mereka disambut dengan suguhan jus wortel. Betapa kagetnya Maya ketika jus wortel tersebut terasa manis tanpa ada aroma langu.


"Setelah kami tanya ternyata karena cara menanamnya menggunakan teknik budidaya organik," jelasnya.


Dari situ Maya dan mahasiswa lainnya mendapatkan pelajaran budidaya pertanian organik. Namun sang guru tidak mengajarkan tekniknya, melainkan filosofi budidaya pertanian organik.


"Kalau anak muda langsung diajarkan teknik bertani pasti bosan tapi ini diajarkan filosofinya terlebih dahulu sehingga kami tertarik," tambah Maya.


Dari sekian banyak pelajaran yang ia dapatkan, satu hal yang ia ingat dan menjadi pegangan sampai saat ini yaitu budidaya pertanian tujuan utamanya adalah memberikan kebaikan.
Secara harafiah, budi adalah perlakuan baik sedangkan daya adalah kemampuan memberikan kebaikan.


"Seorang petani dalam keadaan untung ataupun rugi dia akan bertahan menjadi petani. Bukan karena tidak tahu, ataukah menikmati kesengsaraan, tapi dia sadar dia di situ memberikan pangan," tegas Maya. "Kalau dia tidak membakar punggungnya, orang-orang bahkan semua insan manusia tidak akan makan apa-apa," lanjutnya.


Tiga pekan belajar yoga di Bali, Maya justru pulang membawa semangat untuk bertani organik.Tekadnya semakin bulat saat ia memijakkan kaki di Kecamatan Pacet. Di tengah menjadi penerjemah bahasa untuk tamu-tamu Pemkot Surabaya dari luar negeri, Maya ikut keliling Jawa Timur termasuk ke Kecamatan Pacet.


"Di Pacet kami ikut memanen wortel dan minum susu. Dari situ lah awal mula kami jatuh cinta dengan tempat ini. Pertama kali merasakan energi, dan ketenangan, serta tanah yang subur. Terbersit di pikiran kami bagaimana kalau kita punya kebun di sini," ingat Maya.


Tak berselang lama, lima mahasiswa sastra Inggris tanpa background pertanian maupun bisnis menyewa tanah seluas setengah hektar untuk memulai terjun ke dunia pertanian organik. Mereka belajar teknik bertani organik dari biarawati yang dikenal Maya saat beribadah di gereja di Kecamatan Pacet.


"Teknik budi dayanya diajarkan oleh suster. Modalnya kita patungan, buat beli pupuk, benih, sewa lahan, dan juga petani yang tenaganya kita sewa," terang Maya.


Walaupun hasilnya belum maksimal, hasil sayur mayur dari kebun mereka bisa dibilang memuaskan. Celakanya mereka tidak tahu harus dijual ke mana hasil panen tersebut. Mereka berinisiatif untuk menjualnya ke Pasar Keputran, Surabaya. Sayangnya Maya dan kawan-kawannya tidak mengetahui terdapat sistem buka tutup harga setiap satu jam sekali. Hasil panen tersebut juga sempat ditawarkan ke supermarket di Surabaya namun juga ditolak.


"Kita rugi total, tapi tetap kita lanjutkan sampai berhutang. Lalu satu persatu mengundurkan diri di tengah jalan, hingga yang awalnya berlima orang menjadi dua orang saja, saya dan Herwita," terang Maya.


Dari sini Maya dan Herwita menjalankan pertanian organik di sela-sela kuliahnya dengan memberanikan diri untuk kembali menyewa lahan dan akan membayarnya setelah panen. Mereka menawarkan langsung hasil panennya dari rumah ke rumah hingga mempunyai pelanggan tetap. Pada saat yang bersamaan tujuh supermarket yang dulunya menolak tawaran, satu persatu menghubungi Maya meminta dirinya untuk mengirim sayuran organik.


"Semua berjalan lancar, utang kita juga lunas semua hingga lulus kuliah," jelasnya.


Fokus Kembangkan Produk
Dari situ Maya dan Herwita mulai konsisten mengembangkan pertanian organik walaupun sempat berhenti sejenak dari pertanian organik karena mendapat penolakan dari orang tua yang menganggap menjadi petani tidak akan mempunyai masa depan. Bersama sahabatnya tersebut, Maya mengadu nasib ke Bali. Mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jurusan dengan gaji yang tinggi tak lantas membuat keduanya bisa melupakan tanaman organik.


Mereka kembali ke Jawa Timur, mencari lahan di sana-sini, dan kembali merintis pertanian organik hingga akhirnya bisa kembali lagi ke Pacet menjalankan hobi yang selalu mereka cintai.
Saat ini, pengunjung tidak hanya bisa memanen, tapi juga bisa menikmati langsung makanan dan minuman hasil kebun Twelve's Organic.


"Silakan, kami buka untuk umum tapi harus reservasi terlebih dahulu agar tidak terganggu dengan pengunjung lain dan benar-benar bisa menikmati suasana kebun kami," pungkas Maya.


Pendidikan Terbaru