Pustaka

Peran Ulama Tarbawi dalam Melestarikan Al-Qur’an di Sumenep

Sabtu, 1 Maret 2025 | 20:00 WIB

Peran Ulama Tarbawi dalam Melestarikan Al-Qur’an di Sumenep

Sampul buku Ulama Tarbawi Penjaga Al-Quran karya Iwan Kuswandi. (Foto: NOJ/ Firdausi)

Mufassir memiliki corak dan metode tersendiri dalam setiap penafsirannya terhadap Al-Qur’an. Di samping kajian tafsir, Al-Qur’an juga memiliki cabang ilmu lain, seperti qira’at. Al-Qur’an dari sisi material bisanya digunakan ilmu bantu, seperti kodikologi dan epigrafi sehingga muncullah khottot, penyalin mushaf Al-Qur’an hingga bisa dibaca oleh masyarakat.

 

Untuk mengenalkan para mufassir, muhafidh, khottot, dan akademisi Al-Qur’an di Indonesia, Iwan Kuswandi menulis buku khusus yang berisi biografi ulama Al-Qur’an Sumenep. Buku ini memberikan gambaran dari kristalisasi dan kesinambungan Al-Qur’an di Sumenep pada masa lalu.

 

Individu-individu yang diungkap dalam buku ini bukan sosok ahistoris. Keahlian mereka dalam bidang Al-Qur’an tidak didapatkan dari ruang hampa. Mereka mendapatkan ilmu tersebut atas didikan orang-orang terdahulu. Lewat mereka lah, Al-Qur’an selalu lestari di Bumi Sumekar.

 

Buku ini mengetengahkan kajian mushaf menggunakan ilmu bantu khat (kaligrafi) sebagai pisau analisis. Secara historis, tradisi menyalin mushaf Al-Qur’an mulai abad ke-2 Hijriyah menjadi profesi yang menjanjikan, contohnya Malik bin Dinar. Selain cakap menyalin, ia hafal Al-Qur’an. Pasca disalin, salinan tersebut dijual kepada masyarakat.

 

Di Madura, seorang Raja ke-32 (1762-1811) Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I (Raden Ario Notonegoro) pernah melakukan penyalinan Al-Qur’an yang hanya memakan waktu sehari semalam. Sultan Abdurrahman menunjukkan kecintaannya terhadap budaya dan seni Islam yang dihargai dalam konteks sejarah dan kebudayaan kerajaan Sumenep pada masa itu. Jika ingin melihat langsung hasil salinan Al-Qur’an tersebut, pembaca bisa berkunjung ke museum Sumenep.

 

Hadirnya buku ini, sejatinya untuk identifikasi awal dari para ulama penulis Al-Qur’an di Sumenep, dan terkategori menjadi empat. Pertama, ulama penulis mushaf Al-Qur’an, yaitu: Sultan Abdurrahman, Kiai Nur Ali, Kiai Abdul Ghaffar, Kiai Samman.

 

Kedua, kategori ulama mufassir Al-Qur’an, yaitu Kiai Thaifur Ali Wafa yang menulis tafsir secara utuh 30 juz. Kitab tersebut berjudul Firdaus al-Na’im, yang diampu olehnya dalam kajian rutin sebulan sekali di Kantor PCNU Sumenep. Kitab tafsir tersebut menggunakan bahasa yang sangat dalam, kaya dengan makna, penafsirannya sesuai dengan konteks masyarakat Madura.

 

Selain Kiai Thaifur, penulis buku juga menyebut masyayikh Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep. Antara lain, (1) KH Ahmad Basyir; (2) KH Abdul Basith, yang menulis tafsir surat Yasin; (3) KH Sa’di Amir, menulis tafsir untuk bahan pengajian di Desa Cangkreng Lenteng, sempat menjadi diktat saat mengajar di perguruan tinggi; dan (4) KH Muhsin Amir, menulis tafsir surat Al-Fatihah, yang tergolong tafsir lughawi.

 

Ketiga, kategori ulama yang menggeluti bidang kaligrafi, yaitu Kiai Hatim Asham Tibyan dan Kiai Bastami Tibyan. Keduanya saudara kandung, namun mengajarkan ilmu kaligrafi dan khotnya di lembaga pesantren yang berbeda.

 

Keempat, kategori ulama Al-Qur’an di bidang akademik. Meliputi, KH Moh Tidjani Djauhari, menempuh S1 dan S2 nya di bidang tafsir di Saudi Arabia, dan Kiai Ghazi Mubarak, kuliah S1, S2, S3 di bidang tafsir. Ada pula ulama yang menulis buku tentang kajian tafsir dan Al-Qur’an, yakni KH A Busyro Karim (mantan Bupati Sumenep), dan KH Jamaluddin Kafie, yang menerjemahkan beberapa kitab berbahasa Arab dan berbahasa Inggris tentang kajian Al-Qur’an.

 

Disebutkan dalam buku ini, ulama yang konsen di bidang hafalan Al-Qur’an, menguasai beberapa sanad Al-Qur’an, mereka mendirikan pesantren tahfidh, mendirikan rumah Al-Qur’an, menjadi juri dalam beberapa event lomba menghafal Al-Qur’an. Bahkan, dipercaya menjadi imam di beberapa negara di luar negeri. Salah satu contohnya ialah seperti Kiai Abdullah A Zaini.

 

Ada juga muhafidh di Sumenep yang berkontribusi dalam bidang pengkaderan, sehingga penghafal Al-Qur’an di Sumenep masih ada. Mereka adalah Ustadz Moh Fajar, Ustadz Achmad Syarif Fathoni, Ustadz Akh Habibi Walidil Kutub, Ustadz Yantoso Rema, Ustadz Ahmad Fawaid, Ustadz Hidayatul Fawaid, Ustadz Abdul Qodirm Ustadz Fauzir Rahman, Ustadz Nasrullah Amin, dan Nyai Virzannida Busyro.

 

Selain itu, ada pula ulama Sumenep yang dibilang ahli qari’ atau memiliki kemampuan melantunkan Al-Qur’an dengan suara merdu, yaitu: Kiai Zarkasyi Rahiem (Rais MWCNU Pragaan 2019-2024), Ustadz Dasuki Yahya, Ustadz Dasuki, Ustadz Abdul Jalil, Ustadz Anton, Ustadz Moh Naufal RZ, Ustadz Hairul Anam, Ustadz Bambang Sutrisno, Ustadz Khairur Rofiqi, Ustadzah Aisiyah, Ustadzah Latifah, hingga Ustadzah Sunniyah.

 

Nama-nama ulama dan asatidz wal asatidzah yang dikisahkan di buku ini, tentunya memberi motivasi dan inspirasi bagi pecinta Al-Qur’an, baik yang sedang menempuh studi di perguruan tinggi, penghafal Al-Qur’an, pecinta kaligrafi, pecinta ilmu qira’ah, dan sejenisnya.

 

Identitas Buku:

Judul Buku: Ulama Tarbawi Penjaga Al-Qur’an, Mengenal Mufassir, Muhafidh, Khottot, dan Akademisi Al-Qur’an di Sumenep
Penulis: Iwan Kuswandi
Penerbit: Mata Kata Inspirasi
Tahun Terbit: 2024
Tebal: 130 halaman
ISBN: 978-623-8735-39-6
Peresensi: Firdausi, Ketua Lembaga Ta’lif wan-Nasyar Nahdlatul Ulama (LTNNU) Sumenep