• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Keislaman

Safar Bulan Sial? Berikut Pandangan Islam

Safar Bulan Sial? Berikut Pandangan Islam
Safar diyakini sebagian kalangan sebagai bulan sial. (Foto: NOJ/Koloni Gigs)
Safar diyakini sebagian kalangan sebagai bulan sial. (Foto: NOJ/Koloni Gigs)

Tidak sedikit yang hingga kini beranggapan bahwa Safar adalah bulan sial. Hal tersebut ternyata berdasarkan kepercayaan zaman jahiliah. Bagaimana pandangan Islam terkait bulan Safar ini? Berikut penjelasannya.


Dikemukakan bahwa pada zaman jahiliah, berkembang anggapan bahwa bulan Safar adalah bulan sial atau dikenal dengan istilah tasyâ-um. Bulan yang tidak memiliki kehendak apa-apa ini diyakini mengandung aneka keburukan sehingga ada ketakutan bagi mereka untuk melakukan hal tertentu. Pikiran semacam ini juga masih menjalar di zaman sekarang. Sebagian orang menganggap bahwa hari tertentu membawa hoki alias keberuntungan, sementara hari lainnya mengandung sebaliknya.  
 

Padahal, seperti bulan-bulan lain, Safar netral dari kesialan atau ketentuan nasib buruk. Jika pun ada kejadian buruk di dalamnya, maka itu semata karena faktor lain, bukan karena bulan Safar itu sendiri.  


Perhatikan hadits dari Abu Hurairah, yang mana Rasulullah bersabda:


 
  لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ وَفِرَّ مِنْ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنْ الْأَسَدِ  
 

Artinya: Tidak ada 'adwa, thiyarah, hamah, shafar, dan menjauhlah dari orang yang kena penyakit kusta (lepra) sebagaimana kamu menjauh dari singa. (HR Bukhari dan Muslim)  

 

 

Untuk diketahui bahwa 'Adwa adalah keyakinan tentang adanya wabah penyakit yang menular dengan sendirinya, tanpa sebuah proses sebelumnya dan tanpa seizin Allah. Thiyarah merupakan keyakinan tentang nasib baik dan buruk setelah melihat burung. Dalam masyarakat jahiliah ada mitos yang mengatakan, bila seorang keluar rumah dan menyaksikan burung terbang di sebelah kanannya, maka tanda nasib mujur bakal datang. Sementara bila melihat burung terbang di sebelah kirinya maka tanda kesialan akan tiba sehingga sebaiknya pulang.   

 
Sedangkan hamah adalah semacam anggapan bahwa ketika terdapat burung hantu hinggap di atas rumah maka pertanda nasib sial akan tiba kepada pemilik rumah tersebut. Tak beda jauh dengan Safar yang diyakini sebagai waktu khusus yang bisa mendatangkan malapetaka.  
 
 
Safar dalam Pandangan Islam
Islam tidak mengenal hari, bulan, atau tahun sial. Sebagaimana seluruh keberadaan di alam raya ini, waktu adalah makhluk Allah. Waktu tidak bisa berdiri sendiri. Ia berada dalam kekuasaan dan kendali penuh Rabb-nya. 

 

Setiap umat Islam wajib berkeyakinan bahwa pengaruh baik maupun buruk tidak ada tanpa seizin Allah SWT. Begitu juga dengan bulan Safar. Ia adalah bagian dari dua belas bulan dalam satu tahun hijriah. Safar merupakan bulan kedua dalam kalender qamariyah, terletak sesudah Muharram dan sebelum bulan Rabiul Awwal.  
 

Ibnu Katsir ketika menafsirkan Surat at-Taubah ayat 36 yang membicarakan tentang bilangan bulan dalam satu tahun, menjelaskan bawah nama Safar terkait dengan aktivitas masyarakat Arab terdahulu. Safar berarti kosong. Dinamakan demikian karena di bulan tersebut masyarakat berbondong-bondong keluar mengosongkan daerahnya, baik untuk berperang ataupun menjadi musafir.  

 

 

Rasulullah sendiri menampik anggapan negatif masyarakat jahiliah tentang bulan Safar dengan sejumlah praktik positif. Habib Abu Bakar al-‘Adni dalam Mandhûmah Syarh al-Atsar fî Mâ Warada 'an Syahri Shafar memaparkan bahwa beberapa peristiwa penting yang dialami Nabi terjadi pada bulan Safar, di antaranya pernikahan Nabi dengan Sayyidah Khadijah, menikahkah putrinya Sayyidah Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib, hingga mulai berhijrah dari Makkah ke Madinah. 

 

Artinya, Rasulullah membantah keyakinan masyarakat jahiliah bukan hanya dengan argumentasi, tapi juga pembuktian bagi diri sendiri. Dengan melaksanakan hal sakral dan penting di bulan Safar, Nabi seolah berpesan bahwa bulan itu tidak berbeda dari bulan lain.  
 

Manusia diperintahkan senantiasa melakukan proses dan tahapan wajar. Islam adalah agama yang sangat menghargai fungsi akal sehat. Karena itu, tiap pekerjaan amat dianjurkan melalui satu perencanaan yang matang dan ikhtiar maksimal. Selebihnya adalah doa dan kepasrahan total kepada Allah.   
 

Sial atau beruntung merupakan kelanjutan dari proses dan tahap tersebut, bukan pada mitos khayal yang tak masuk akal. Untuk terbebas dari penyakit, manusia diperintahkan untuk hidup bersih dan menghindari pengidap penyakit menular. Agar selamat dari bangkrut, pedagang disarankan untuk membuat perhitungan yang teliti dan hati-hati. Agar lulus ujian, pelajar mesti melewati belajar secara serius, dan seterusnya.   
 
Menolak adanya ‘bulan sial’ dan ‘bulan beruntung’ akan mengantarkan manusia menjadi pribadi wajar. Tidak malas ikhtiar karena merasa hari-harinya pasti diliputi keberuntungan. Juga tidak dicekam kecemasan karena dihantui hari penuh sial. Sebagai hamba, manusia didorong berencana, berjuang, dan berdoa; sementara ketentuan hasil dipasrahkan kepada Allah. Dengan demikian, saat menuai hasil, tetap bersyukur; dan tatkala mengalami kegagalan, tidak lantas putus asa.  


Editor:

Keislaman Terbaru