• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Rabu, 24 April 2024

Rehat

Gus Dur dan Sinta di Makam Tebuireng

Gus Dur dan Sinta di Makam Tebuireng
Gus Dur
Gus Dur

Oleh Aguk Irawan

 

Tebuireng, 24 Desember 2009 pukul 00.00 Wib.

 

Dua kursi roda itu saling berjajaran. Di atasnya masing-masing duduklah Gus Dur dan Sinta, berdampingan. Simfoni langit mendendangkan lagu tauhid, sementara angin seakan-akan menebarkan wewangian. Mengenakan peci berwarna coklat, baju batik lengan pendek juga berwana coklat, Gus Dur sesekali menjawab pertanyaan para wartawan, sementara sang istri tercinta berkali-kali melihat ke arahnya seakan-akan hatinya sama sekali tak ingin berpisah dari suaminya tercinta, dan seakan-akan jiwanya tengah mengingatkan sang suami betapa dirinya tengah berjuang melawan sakit yang dideritanya.

 

Para pengiring terus mengiringi sepasang suami-istri itu, yang kursi rodanya didorong oleh dua asisten pribadi. Di malam yang hening ini, Gus Dur dan Sinta hendak menziarahi makam kakeknya, Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari.

 

Ketika rombongan tiba di depan makam, Gus Dur meminta asistennya untuk membiarkannya bersama istri, berdoa di dekat makam sang kakek.
Orang-orang pun mundur dengan teratur, lalu duduk bersila di tempatnya masing-masing. Wajah-wajah mereka menunduk, dan tampak air mata mengalir di wajah-wajah itu.
Sementara, Gus Dur berucap pada sang istri tercinta, “Di sini, kakek dibaringkan. Di sini pula, raga ini akan diturunkan.”

 

Mendengar ucapan yang begitu pelan dan tenang itu, tangan kanan Sinta yang gemetaran menyentuh lengan kiri sang sang suami. Rasa pedih menyesak di hati. Hidup dan mati adalah rahasia Allah, tetapi bila yang sangat dicintai dan dikasihi telah berucap seperti itu, sebagian jiwa sang istri ikut melayang.

 

“Akankah ini menjadi ziarah terakhir, dari yang hidup kepada yang telah mati?”

 

Tangan kiri Sinta mengusap air matanya dengan ujung kerudung putihnya. Dadanya berguncang hebat. Ia pun menjawab dengan ucapan terbata-bata, “Jika ini ziarah terakhir, kan kuberikan semua pengabdianku kepadamu. Jika engkau berdoa agar Allah segera menjemputmu, aku akan berdoa agar Allah segera mengangkat penyakitmu.”

 

“Istriku,” tutur Gus Dur, “marilah jangan bersedih, sebab kesedihanmu adalah kesedihanku juga. Mari kita berdoa kepada Allah, dan mari kita berserah diri kepada-Nya...”

 

Di dekat makbarah KH Hasyim Asy’ari itu, Gus Dur dan Sinta saling bertatapan penuh cinta, tangannya saling memegang erat. Dari balik bola mata meraka yang sembab dan bulir-bulir air mata membasahi pipi, mereka saling memahami dengan bahasa hati, seakan-akan semuanya tersampaikan tanpa kata-kata. Sebab hati yang sudah menyatu pasti saling memahami dan mengerti. Terkadang dua hati yang saling mencinta memang berbahasa hanya melalui getar mata dan senyum.

 

Gus Dur dan Sinta sama-sama menoleh ke arah belakang mereka. Mata mereka sama-sama menangkap pemandangan orang-orang khusyu mengaji, berdzikir, bersalawat, dan sebagian menengadahkan tangan ke langit. Mereka paham sedang berada di makam seorang ulama besar Nusantara, KH Hasyim Asy’ari. Mereka tahu ada tata-krama yang harus dilakukan selama berziarah di makam seorang ulama, pejuang bangsa, pahlawan besar negara.

 

“Sinta, lihatlah mereka. Para pemuda dan orang-orang yang bersemangat dan penuh keyakinan, mungkin itu sepertiku dahulu ketika aku masih muda... aku juga sering berziarah ke makam para ulama, tapi kamu jahat, Sinta.. kamu jahat padaku?”

 

Gus Dur berusaha tersenyum dengan sisa-sisa tenaga.
“Ceritakanlah padaku, Mas. Bagaimana aku bisa sejahat itu?”

 

“Bagaimana tidak. Setiap kali aku berdzikir dan membaca al-Quran di makam ulama. Saat itulah, bayangan tentang dirimu sering datang dan mengejutkan aku. Bayanganmu, sering begitu, membuyarkan semua konsentrasiku...”

 

Sinta merasa tersanjung. “Sebegitu besarkah rindumu padaku waktu itu?”

 

“Jauh lebih besar lagi. Tapi aku seperti kehabisan kata-kata buat menjelaskannya padamu.”

 

Penulis adalah sastrawan kelahiran Lamongan, Jawa Timur.

 

Catatan; judul dari editor.


Editor:

Rehat Terbaru