Salah satu yang sangat dianjurkan dalam Islam adalah silaturahim. Dan pada momentum hari raya Idul Fitri, tradisi tersebut dikemas dengan halal bihalal. Tujuannya antara lain menyelesaikan sejumlah persoalan pelik yang dihadapi. Harapannya, problem yang tengah melilit dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah.
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas dari berinterkasi satu sama lain. Dalam interaksi tersebut tidak jarang terjadi gesekan antara satu dengan lainnya di mana ada pihak yang dirugikan. Keadaan inilah yang melatar belakangi perlunya hahal bihahal untuk menyelesaikan hak-hak adami di masyarakat. Namun demikian perlu diingatkan bahwa halal bi halal baru menyelesaikan aspek moral saja dan tidak sekaligus aspek hukumnya. Rasulullah telah memberikan keteladanannya bahwa persoalan hukum terhadap seseorang sebaiknya diselesaikan secara hukum dan bukan sekadar meminta maaf.
Jadi, memang beberapa kasus gesekan di masyarakat sering kali memiliki dua aspek, yakni aspek hukum dan aspek moral. Sebagai contoh, jika seseorang meminjam buku kepada seseorang dan telah berjanji waktu itu untuk segera mengembalikannya, namun hingga kini belum mengembalikan buku itu, maka ada dua masalah dalam hal ini. Masalah pertama adalah peminjam telah melakukan kesalahan moral karena tidak menepati janji untuk segera mengembalikan buku itu. Pada tingkat tertentu kesalahan secara moral ini bisa berkembang menjadi kesalahan secara hukum ketika telah berkembang menjadi kasus penipuan.
Masalah kedua adalah, peminjam telah melakukan kesalahan secara hukum karena bagaimanapun buku itu adalah milik orang lain dan tidak akan pernah menjadi miliknya sekalipun ia telah lupa akan buku tersebut, misalnya. Jadi persoalan buku ini adalah masalah hak milik dan peminjam tidak memiliki hak sedikitpun atas buku itu. Perpindahan hak milik seseorang kepada pihak lain harus melalui prosedur hukum yang sah, misalnya melalui jual-beli atau lainnya, seperti hibah, yang disepakati kedua belah pihak.
Halal bi halal yang diikrarkan secara tertulis atau lisan dengan menyatakan, misalnya: Mohon maaf lahir batin atas seluruh kesalahan saya, pernyataan tersebut sangat umum, dalam arti tidak menyebut kesalahan tertentu secara jelas. Jika kemudian permintaan maaf tersebut dijawab dengan pernyataan umum pula, misalnya: Ya sama-sama saling memaafkan, maka kedua belah pihak telah saling memaafkan dan tuntaslah persoalan mereka. Sampai di sini persoalan moral sudah bisa dianggap selesai.
Tetapi hal tersebut tidak secara otomatis telah menyelesaikan masalahnya secara hukum seperti dalam kasus pinjam-meminjam buku sebagaimana disinggung di atas. Hal ini disebabkan pinjam-meminjam buku merupakan masalah spesifik hukum yang terjadi melalui prosedur hukum atau akad yang telah disepakati kedua belah pihak sebelumnya.
Kisah Rasulullah Selesaikan Urusannya
Dalam sebuah buku berjudul Kisah Teladan Rasulullah Menghadirkan Jiwa Muraqabah Lewat Puasa sebagaimana diceritakan ulang dalam situs republika.co.id pada edisi 30 Juni 2015, dikisahkan bahwa ketika menjelang ajal tiba beliau menanyakan kepada para sahabat adakah berhutang kepada mereka? Pertanyaan ini diajukan kepada para sahabat karena Nabi tidak mau jika bertemu dengan Allah dalam keadaan berutang dengan manusia.
Mendengar pertanyaan itu para sahabat pada awalnya diam semuanya karena berpikir mana ada Rasullullah berutang kepada mereka. Namun kemudian salah seorang dari mereka bernama Akasyah berkata: Ya Rasulullah! Aku ingin sampaikan masalah ini. Seandainya ini dianggap hutang, maka aku minta kau selesaikan. Seandainya bukan hutang, maka tidak perlulah engkau berbuat apa-apa.
Akasyah kemudian mulai bercerita: Aku masih ingat ketika perang Uhud dulu, satu ketika engkau menunggang kuda, lalu Engkau pukulkan cemeti ke belakang kuda. Tetapi, cemeti tersebut tidak kena pada belakang kuda, sebenarnya cemeti itu terkena pada dadaku karena ketika itu aku berdiri di sebelah belakang kuda yang engkau tunggangi wahai Rasulullah.
Mendengar hal itu, Rasulullah berkata: Sesungguhnya itu adalah hutang wahai Akasyah. Kalau dulu aku pukul engkau, maka hari ini aku akan terima hal yang sama.
Dengan suara yang agak tinggi, Akasyah berkata: Kalau begitu aku ingin segera melakukannya wahai Rasulullah.
Mendengar suaranya yang lantang, Rasulullah segera membuka bajunya untuk memberi kesempatan kepada Akasyah mengambil haknya memukul tubuh Rasulullah untuk menyelesaikan masalah hukum dengan sesama manusia.
Meski Akasyah pada akhirnya tidak jadi memukul tubuh Rasulullah dengan membuang cemeti yang sudah ada di tangannya, dan bahkan meminta maaf dan menangis karena Nabi sebetulnya sedang sakit, tetapi cara bagaimana Nabi menyelesaikan masalahnya dengan Akasyah haruslah menjadi catatan penting bagi umatnya.
Catatan penting itu adalah tidak sebaiknya dalam menyelesaikan masalah dengan orang lain kita mencukupkan diri dengan hanya meminta maaf dan kemudian minta dihalalkan atau diikhlaskan begitu saja, sementara kita masih mampu menyelesaikannya secara hukum sebagaimana sebuah utang harus dibayar atau diganti secara sepadan. Prinsip ini agar tidak merugikan pihak lain.
Artikel diambil dari: Halal bi Halal dan Kisah Rasulullah Selesaikan Urusannya pada Akasyah
Oleh karena itu dalam berhalal bihalal haruslah selalu diingat bahwa telah meminta maaf tidak berarti telah menyelesaikannya secara hukum. Jika kita memiliki kesanggupan tertentu kepada orang lain, kesanggupan itu harus dilaksanakan sebagaimana telah disepakati. Jika kita telah menghilangkan atau membuat rusak barang milik orang lain, maka barang itu harus diganti yang sepadan. Kesadaran ini penting agar halal bi halal bukan sekadar ritual belaka tanpa mengamalkan maknanya yang hakiki.