• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Rabu, 8 Mei 2024

Rehat

UMRAH RAMADHAN 2023

Umrah Ramadhan, Ujian Keteguhan Menjaga Puasa di Pesawat

Umrah Ramadhan, Ujian Keteguhan Menjaga Puasa di Pesawat
Suasana bandara Soekarno Hatta Tengerang, Banten saat awal Ramadhan. (Foto: NOJ/ Syaifullah)
Suasana bandara Soekarno Hatta Tengerang, Banten saat awal Ramadhan. (Foto: NOJ/ Syaifullah)

Jakarta, NU Online Jatim

Ini pengalaman pertama melakukan ibadah umrah di bulan Ramadhan. Mungkin dapat menjadi referensi bagi kalangan yang ingin mencobanya. Atau kepada yang pernah mengalami, dapat berbagi pengalaman.


Penulis mengikuti paket umrah dari travel di Jakarta. Dengan demikian, masih harus melakukan perjalanan dari Bandara Juanda Surabaya menuju Soekarno Hatta, Tangerang, Banten. Singgah di salah satu rumah teman di Jakarta untuk keberangkatan pukul 07.00 WIB.


Usai sahur dan shalat Subuh, perjalanan dilanjutkan ke Bandara Soekarno Hatta di Tangerang, Banten. Beruntung tidak macet, sehingga dapat menjangkau bandara sesuai perkiraan.


Proses berikutnya memastikan barang bawaan. Sejumlah cairan tidak diperkenankan untuk dibawa penumpang. Dari mulai kopi, madu, dan lainnya. Termasuk barang tajam seperti gunting yang sebenarnya akan digunakan untuk mencukur sebagian rambut usai miqat, tawaf, dan sai. Pihak bandara tidak mau berspekulasi terjadi hal yang tidak diinginkan. Sejumlah barang yang dianggap berbahaya tersebut dimasukkan keranjang. Jadi, lebih baik tidak membawa barang-barang tersebut, termasuk korek api. Dijamin akan nelangsa karena sudah capek-capek menyiapkan barang, ternyata malah harus ditinggal di bandara.


Setelah menunggu hampir dua jam, jamaah umrah dan penumpang lain diperkenankan masuk pesawat. Sebelumnya sudah disampaikan bahwa perjalanan akan menempuh waktu hampir 9 jam. Demikian pula selisih waktu antara Jakarta dengan Jeddah adalah 4 jam.


"Nanti kita akan berbuka pukul 10 malam," kata pemandu rombongan.


Bisa dibayangkan, puasa harus menahan lapar dan haus dari waktu subuh Jakarta yakni sekitar pukul 5 pagi dan baru berbuka jam 10 malam? Silakan dibayangkan saja.


Sebagian jamaah termasuk saya membayangkan betapa panjang waktu yang dibutuhkan untuk mempertahankan ibadah puasa kali ini. Bertahan hingga waktu magrib di jam normal antara pukul 6 petang saja kadang berat, apalagi hingga sepanjang ini.


"Piye iki, musafir atau lanjut?" tanya jamaah lain.


Kalau sejak awal sudah menentukan akan lanjut puasa, maka harus siap dengan berbuka pada pukul 10 malam. Dengan demikian harus siap berkompromi lewat melilitnya perut hingga waktu tersebut. Beda kasusnya kalau sejak awal sudah memproklamirkan diri sebagai musafir. Jadwal makan siang telah disediakan pihak maskapai, akan tetapi harus siap mengganti di luar Ramadhan nanti.


Soal shalat juga demikian. Yang bisa dilakukan adalah shalat dhuhur dan ashar di atas pesawat dengan mencoba menahan hadats. Shalat dilakukan dengan posisi di atas kursi, sekalian jamak taqdim. Sehingga saat tiba di Jeddah, maka tinggal melaksanakan shalat magrib dan isya sekaligus tarawih.


Dalam kondisi ini penulis jadi teringat cerita KH Afifuddin Muhajir yang melakukan perjalanan kala Ramadhan beberapa tahun berselang. Rais Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini bisa mengerjakan shalat tarawih saat waktu magrib. Ya, karena yang dilakukan adalah dengan mengerjakan jamak taqdim untuk shalat magrib dan isya. Dengan begitu, usai shalat isya dilaksanakan, maka dilanjut dengan shalat tarawih.


Sebagian besar jamaah memang lebih memilih untuk puasa. Selama di pesawat diisi dengan tidur dan nonton film. Ada beberapa film dengan pilihan bahasa asing yang menemani penumpang selama 9 jam perjalanan. Penulis sendiri sudah menonton beberapa film dan membuka murattal.


Mereka berkeyakinan bahwa berpuasa akan jauh lebih baik. Itu juga dengan beragam alasan, termasuk ogah menggantinya di bulan lain. "Kemarin saja baru bisa bayar utang puasa Ramadhan di bulan Sya'ban," ungkap salah seorang jamaah perempuan.


Penulis jadi membayangkan betapa berat yang harus diemban sejumlah muslimin dan muslimat di beberapa negara. Mereka harus rela menghabiskan kebanyakan waktunya dalam sehari untuk berpuasa. Demikian pula alangkah ringan bagi negara yang waktu puasanya tidak terlalu lama. Bahkan ada yang hanya 5 jam saja. Seperti puasa anak2, alias puasa setengah hari.


Karena berada pas di samping jendela pesawat, penulis kadang mengisi kejenuhan dengan melihat ke luar. Yang ada hanya awan putih dan langit berwarna biru. Lewat monitor yang ada di depan kursi, jadi tahu bahwa pesawat masih melintasi sejumlah lautan luas. Dan sekali lagi, waktu yang dibutuhkan masih demikian panjang dan lama.


Bila anda berkesempatan melaksanakan ibadah umrah di Makkah dan Madinah, dapat segera menentukan pilihan. Menjadikan diri sebagai musafir lantaran sudah dibenarkan syariat, atau menikmati perjalanan yang demikian lama dengan tetap berpuasa.


Rehat Terbaru