Tapal Kuda HARI SANTRI 2024

Makna Santri Nasional menurut Ketua Asnuter Jember

Kamis, 24 Oktober 2024 | 09:00 WIB

Makna Santri Nasional menurut Ketua Asnuter Jember

Ketua Aswaja NU Center Jember, KH Badrud Tamam. (Foto: NOJ/Wildan Miftahussurur) 

Jember, NU Online Jatim

Ketua Aswaja NU Center (Asnuter) Jember, KH Badrud Tamam memberikan amanah dalam upacara peringatan Hari Santri 2024 di Pondok Pesantren Nurul Qarnain memaparkan tentang esensi ‘Santri Nasional’, Selasa (22/10/2024).


Upacara ini diadakan dengan penuh khidmat di depan Auditorium KH Yazid Karimullah, diikuti oleh para santri, dewan guru, serta pengurus pesantren, yang semuanya mengenakan pakaian putih, bersarung hijau, dan bersongkok Nasional.


Dalam pidatonya, pihaknya menegaskan, hari santri yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober merupakan bentuk penghargaan dari pemerintah Indonesia terhadap kontribusi besar kiai dan santri dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.


“22 Oktober ini adalah hadiah dari pemerintah negara Indonesia kepada kaum bersarung, dari kiai hingga para santri yang dulu telah berjuang untuk memerdekakan dan menjaga kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga saat ini,” ujar Ketua Majelis Fatwa MUI Jember ini.


Menurutnya, dahulu pahlawan sebagai santri kerap kali dipandang sebelah mata, akan tetapi pemerintah mulai memberikan perhatian, salah satunya adalah lahirnya hari santri yang dilaksanakan setiap tahun.


Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Qarnain ini mengulas peristiwa resolusi jihad yang dicetuskan oleh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, yang memobilisasi para santri untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, terutama dalam perang melawan tentara sekutu di Surabaya. 


“Hakikat seorang santri Nasional yaitu individu yang tidak hanya teguh dalam menjalankan ajaran Islam, tetapi juga menjaga budaya tradisional Indonesia,” terangnya.


Pihaknya menyebut, inilah santri Nasional itu, mereka bersarung dan bersongkok. Santri Nasional adalah mereka yang mempertahankan Islam, namun tetap menjaga budaya tradisional yang ada di Indonesia, dan tidak membenturkannya dengan agama.


“Ciri utama santri Nasional adalah penggunaan sarung dan songkok Nasional, yang menjadi simbol perpaduan agama dan budaya lokal tanpa menggerus nilai utama di dalam agama Islam,” jelasnya.


Pihaknya juga mengkritik fenomena di mana beberapa pihak yang mengaku sebagai santri justru mencoba menghapus budaya tradisional dengan alasan agama. Santri tidak harus semuanya menjadi ulama, namun harus memiliki jiwa nasionalisme yang kuat.


“Santri yang baik adalah yang mampu mempertahankan budaya Indonesia sambil menguatkan agama Islam, tanpa membenturkannya,” pungkasnya.