Perjuangkan Hak Pekerja, Pria Asal Jember Raih Penghargaan Kemenlu RI
Sabtu, 18 Desember 2021 | 16:30 WIB

Muhammad Kholili (berkopyah) bersama anak-anak PMI yang ditinggal orang tuanya. (Foto: NOJ/Aryudi AR)
Syaifullah
Penulis
Jember, NU Online Jatim
Kegigihan Mohammad Kholili dalam melindungi dan memperjuangkan hak-hak Pekerja Migran Indonesia (PMI) akhirnya berbuah penghargaan. Sekretaris Aswaja NU Center Jember itu menerima penghargaan ‘Hasan Wirajuda Perlindungan WNI Awards (HWPA) Tahun 2021 untuk Kategori Masyarakat Madani’.
Penghargaan bergengsi itu disampaikan secara daring oleh Kementerian Luar Negeri RI dalam acara Malam Penganugerahan HWPA tahun 2021, Jumat (17/12/2021).
Dalam surat eletronik yang diterima Ustadz Kholili, sapaan akrabnya, disebutkan bahwa penghargaan merupakan wujud apresiasi pemerintah terhadap individu/lembaga pegiat isu perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri. Dari 90 kandidat yang diusulkan oleh pemangku kepentingan, dewan juri telah menetapkan 26 pemenang yang terdiri atas individu dan institusi di dalam dan luar negeri.
“Penetapan (penghargaan) tersebut antara lain didasarkan pada kontribusi Sdr Mohammad Kholili dalam mendukung pelaksanaan tugas perlindungan WNI di luar negeri,” demikian bunyi surat itu.
Ustadz Kholili sendiri cukup lama berkecimpung di dunia ketenagakerjaan, khususnya di bidang perlindungan PMI. Katanya, PMI yang dulu dikenal dengan nama Tenaga Kerja Indonesia (TKI) itu mengalami banyak masalah, mulai dari tindak pidana perdagangan orang, gaji tidak dibayar, beban biaya melampaui yang ditetapkan pemerintah (over charging). termasuk deportasi musiman, kekerasan, penyiksaan, hingga yang terjelek mengalami kematian.
Ia berjuang untuk PMI melaui jalur kebijakan dan aksi lapangan. Terkait kebijakan, Ustadz Kholili menggagas lahirnya Perda Pelindungan PMI di Kabupaten Jember (2008). Demikian juga di level provinsi (Jawa Timur), ia menginisiasi dan menjadi tim pembuat Perda Perlindungan PMI (2021).
“Karena mamang banyak sekali persoalan yang menimpa PMI, dan itu tidak cukup hanya diserahkan kepada pemerintah,” jelasnya.
Di luar itu, alumnus Pondok Pesantren Miftahul Ulum, Kalisat Kabupaten Jember itu juga memberikan perlindungan kepada PMI dengan pendekatan agama. Hal ini dilakukan dengan harapan agar bisa mempengaruhi para PMI dan pihak-pihak yang terkait dengan kerja para penyumbang devisa non migas tersebut. Misalnya, ia membawa dalam forum bahtsul masail tentang beban biaya yang berlipat (over charging) pada PMI, yang diselenggarakan oleh PWNU Jatim di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Persoalan biaya berlipat dan beberapa persoalan lainnya juga dibahas forum bahtsul masail di Pengrus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jember. Sebagai Sekretaris Aswaja NU Center, ia cukup aktif di mengikuti aneka forum bahtsul masail di lingkungan PCNU Jember.
“Memang yang kerap menjadi sorotan adalah soal over charging, ini sangat memberatkan. PMI sering kali masih dipungut biaya ini dan itu. Awalnya dibilang gratis, tanpa biaya, tapi setelah sampai di negara tujuan, gajinya dipotong untuk melunasi utang yang tidak diketahuinya,” jelas Ustadz Kholili.
Selain bergerak di level kebijakan, Direktur Migrant AID Indonesia itu, juga turun langsung memberikan advokasi kepada mereka yang menjadi korban akibat kesewenang-wenangan majikan maupun pihak terkait.
“Intinya siapa pun PMI yang mempunyai masalah, apakah tidak dibayar, manjadi korban kekerasan, tidak bisa pulang, dan sebagainya kita bantu,” ujarnya usai menerima acara daring di kediamannya, Kelurahan Sempusari, Kaliwates, Jember.
Apa yang diungkapkan Kholili bukan pepesan kosong. Di daerah-daerah yang warganya kerap bermasalah terkait dengan PMI, nama Ustadz Kholili cukup populer. Beberapa bulan lalu, di Jember terdapat seorang PMI di Malaysia yang telah empat tahun hanya bisa tidur di rumah seorang majikan. Namanya Misnati, awalnya dia jatuh, namun tidak mendapatkan pengobatan yang memadai sehingga strtoke, dan hanya diam di tempat tidur. Majikannya kurang bertanggungjawab. Alih-alih membayar gajnya sebagai pembantu rumah tangga, sang majikan malah membebaninya utang selama hidup tanpa kerja akibat stroke.
“Ibu saya bisa pulang asalkan membayar Rp35 juta,” ujar anaknya, Fathurrahman di Jember.
Tentu saja Fathurrahman sangat kesulitan untuk memenuhi tuntutan itu. Namun akhirnya, ia dipertemukan dengan Ustadz Kholili. Dan atas usahanya, 4 bulan kemudian sang ibu boleh pulang tanpa biaya sedikit pun.
“Memang menjelang kepulangan ibu, ada beberapa telepon yang masih ngotot minta 15 juta, 10 juta, tapi begitu saya sebut nama Ustadz Kholili, eh dia langsung menutup teleponnya,” kisahnya.
Penulis: Aryudi AR
Terpopuler
1
PCNU Nganjuk Apresiasi 7 Kader Lolos Beasiswa Keagamaan PWNU Jatim
2
Paradoks Palestina: Dukungan Muslim yang Pincang
3
Resmi Dilantik, Fatayat NU Magetan Miliki Program Unggulan Mahabah
4
Tidak Menghadiri Undangan Pernikahan Sebab Tak Punya Uang, Bolehkah?
5
Peduli Lingkungan, MWCNU dan Banser di Bangkalan Bersih-bersih Pelabuhan
6
Kedung Cinet, Merasakan Eksotisme Miniatur Grand Canyon di Jombang
Terkini
Lihat Semua