Oleh: Saifullah*
Kedudukan ulama dengan umara menurut pemikiran konsep Islam senafas dengan yang terkandung dalam Al Qur'an, yakni "Athi'u Allah wa athi'u al Rasula wa uli al-amri minkum (Taatilah Allah, taatilah Rasul dan para pemimpin di antara kamu)." Jadi, disebut senapas dalam Al Qur'an karena kita harus mematuhi Allah, Rasul, ulama dan ulil al-amri (pemerintah)-nya.
Di antara para ulama dan pemerintah itu ada semacam kerja sama atau hubungan harmonis. Hubungan harmonis di sini bukan berarti harus saling menjinakkan, atau umara membeli ulama, melainkan ulama harus menjadi partner, mitra pemerintah. Makna mitra adalah teman yang tidak saja sekadar memberitahukan hal-hal yang baik, tetapi sekaligus memberi kritik.
Jadi, ulama itu, harus menyampaikan hal-hal yang benar dan mencegah yang mungkar. Pada saat yang sama harus menjadi kekuatan check and balance. Dalam konteks itulah sebenarnya ulama menjadi mitra penguasa.
Dalam kacamata keumatan, posisi ulama adalah sebagai pembimbing umat. Mereka adalah waratsah al-anbiya', ahli waris para nabi. Sebagai ahli waris para nabi, mereka mempunyai kewajiban menyampaikan ajaran-ajaran Tuhan yang disampaikan kepada nabi adalah menyuruh kaum muslimin menegakkan amar ma'ruf nahi munkar serta untuk saling menjaga persatuan dan kesatuan umat. Kalau ajaran itu tidak diingatkan para ulama kepada umatnya atau yang merasa orang Islam, berarti para ulama tersebut telah menyembunyikan kebenaran, tidak menyampaikan pesan-pesan yang terkandung dalam Al Qur'an.
Sebagai sesama pemimpin umat, selayaknya kiai dan pemerintah bekerja sama dan saling mendukung dalam mewujudkan stabilitas nasional dan pembangunan bangsa. Sebab apabila antarkedua pemimpin ini tidak saling mendukung dan bersinergi yang akan terjadi adalah ketimpangan, kesenjangan dan tidak menutup kemungkinan kekacauan akan merajalela.
Menurut almarhum KH. Badri Mashduqi, pendiri Pondok Pesantren Badridduja, Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur, "Bila pemerintah menghendaki masyarakat lebih tenang tanpa ada gejolak, gampang saja yaitu harus ada keseimbangan antara ulama dan umara sebagai partner atau mitra yang baik."
Betapa pentingnya saling pengertian dan menjalin hubungan mesra antara komponen ulama dengan umara. "Ulama dan kiai, boleh-boleh saja tunduk kepada umara (pemerintah), sepanjang hanya berkaitan dengan masalah-masalah lahiriah atau pembangunan secara fisik. Tapi, bila sudah menyangkut pada pembangunan mental, umara harus tunduk pada ulama. Aturan main antara umara dan ulama ini, sudah jelas garisnya dan tersirat dalam kitab suci Qur'an dan Sunnah Rasul," tegas KH. Badri Mashduqi.
Dalam menyikapi program pemerintah seperti kesuksesan tentang Keluarga Berencana (KB) yang melibatkan kiai dalam mensosialisasikan pada masyarakat. Menurut KH. Badri Mashduqi, soal kesehatan dan Keluarga Berencana atau KB dan agama tidak bisa dipisahkan.
Ketiganya merupakan "tri tunggal". Kepadatan penduduk terkait erat dengan lingkungan, baik lingkungan rumah tangga maupun ekonominya. Punya anak banyak tetapi tidak bisa mendidik dan tidak mendapatkan pendidikan dengan baik sebab himpitan ekonomi menjadikan anak terlantar. Padahal ini tidak hanya dipertanggungjawabkan di dunia saja tapi juga di akhirat.
KH. Badri Mashduqi mengatakan, "Program kesehatan dan Keluarga Berencana akan sukses jika para kiai diikutsertakan dalam program tersebut karena pendekatan lewat agama merupakan salah satu sarana paling ampuh. Tidakkah mayoritas penduduk kita beragama Islam?".
Seperti contoh lain, tidak adanya komunikasi antara pemerintah dengan kiai adalah adanya Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) yang dikelola SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) yang menuai banyak protes dari para kiai dan umat Islam karena dianggap judi. "Saya heran, saat umara ingin berbicara pembangunan secara fisik, kok berlagak seperti ulama. Ini kan salah alamat. Seperti masalah SDSB yang banyak ditentang oleh kiai," kata KH. Badri Mashduqi.
KH. Badri Mashduqi terus mendesak pemerintah untuk segera mencabut izin dan membubarkan SDSB tersebut. Desakan itu tidak hanya melalui pejabat dan menteri seperti Menristek Habibie yang juga pada waktu itu sebagai Ketua ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), tetapi juga diungkapkan langsung kepada Presiden Soeharto.
Presiden Soeharto pun menjawab usulah KH. Badri Mashduqi dengan mengatakan, "Ya itu betul. Ulama memang harus amar ma'ruf nahi munkar. Sudah seharusnya begitu. Misalnya kalau ada restoran babi, di situ banyak umat Islam, ya harus dilarang. Tapi saya tak bisa memberantas semua babi-babi itu. Begitu juga SDSB. Saya hanya mengurangi." Dengan upaya itulah pada akhirnya SDSB dibubarkan.
Selain itu, rencana pemerintah melalui Menteri Pendidikan (Menpen) TB Silalahi, berencana menarik guru-guru Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebanyak 68 kiai di Jawa Timur, termasuk KH. Badri Mashduqi, mendatangi Presiden Soeharto menyatakan keberatan rencana tersebut yang pada akhirnya pemerintah juga membatalkan rencana tersebut.
*Saifullah, Ketua Syaikh Badri Institute (SBI)