• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Tokoh

KH Syarfuddin Abdus Shomad, Kiai Kampung Berjuluk Hamba Ilmu

KH Syarfuddin Abdus Shomad, Kiai Kampung Berjuluk Hamba Ilmu
KH Syarfuddin Abdus Shomad. Foto: Istimewa
KH Syarfuddin Abdus Shomad. Foto: Istimewa

Baju berwarna putih tak pernah lepas dari tubuhnya. Kepiawaian dan kedalaman ilmu di bidang agama tak diragukan. Hari-harinya diwarnai dengan aktivitas bermanfaat untuk umat, seperti mengajar dan membimbing para santri-santrinya. Juga mengayomi umat.

 

Dialah KH Syarfuddin Abdus Shomad. Lahir di Kangean Sumenep Madura pada 23 Jumadil Akhir 1346 Hijriyah bertepatan dengan 14 Juni 1925 M. Beliau berasal dari keluarga kiai kampung.

 

Dari silsilahnya, KH Syarfuddin ibn KH Abdus Shomad ibn Kiai Dawud ibn Kiai Damsyiah ibn Kiai Abdul Bari (Ju’aji). Dari silsilah ini, Kiai Syarfuddin merupakan keturunan kiai atau ulama yang cukup berpengaruh, terutama di Arjasa Lao’ dan Duko Lao’ (Dusun Kiai Syarfuddin tinggal).

 

Bagi masyarakat Arjasa Lao’-Duko Lao’, Kiai Syarfuddin dikenal sosok kiai, ulama, dan pendidik yang toleran sekaligus panutan dalam segala aspek. Juga dikenal sebagai bagian penting dalam penyebaran agama Islam di awal tahun 1960-an.

 

Kontribusinya begitu besar terhadap tegaknya Islam Ahlussunnah wal Jamaah, terutama di pulau-pulau terpencil di Kabupaten Sumenep, Madura. Beliau juga inisiator berdirinya Pondok Pesantren Zainul Huda, Arjasa, Sumenep, Madura. Pesantren ini terpisah dari surau yang didirikan ayahandanya, KH Abdus Shomad.

 

Kini, pesantren yang diinisiasi oleh Kiai Syarfuddin tersebut telah berdiri sejumlah lembaga pendidikan. Mulai dari Raudhatul Athfal (TK), Madrasah Diniyah Takmiliyah mulai dari tingkat bawah hingga atas, Madrasah Ibtida’iyah (MI), Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) Zainul Huda, dan Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI) Zainul Huda.

 

Karena usia Kiai Syarfuddin sudah 97 tahun, maka pengelolaan lembaga pendidikan pesantren sudah dipasrahkan kepada anak, menantu, cucu, dan para alumnus Pondok Pesantren Zainul Huda yang sudah kembali dari studi di Jawa.

 

Pembelajar sepanjang masa

Di antara yang menarik dari Kiai Syarfuddin yaitu walaupun usianya sudah sepuh, bahkan mungkin tidak ada yang lebih sepuh dari beliau di desanya. Adalah ghirah Kiai Syarfuddin akan ilmu pengetahuan tak pernah surut. Semangat ini tampaknya merupakan warisan dari ayahandanya.

 

Konon, masyarakat Arjasa Lao’ dan Duko Lao’ mengenal Kiai Abdus Shomad sebagai kiai yang istiqamah dalam belajar. Bahkan hingga akhir hayatnya. Kitab-kitab yang dipelajari meliputi kitab fiqh, hadis, tasawuf, dan lain sebagainya. Begitu pula dengan Kiai Syarfuddin.

 

Sebagai putra kiai, adalah wajar jika Kiai Syarfuddin mewarisi kebiasaan-kebiasaan keluarganya. Masa kecil Kiai Syarfuddin dihabiskan untuk belajar kepada ayahandanya, selain mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (dulu disebut Sekolah Rakyat). Di bawah bimbingan ayahnya, Syarfuddin kecil belajar Al-Quran, ilmu Tajwid, kitab al-Jurumiyah, Safinah al-Najah, dan Sullam al-Taufiq. Di samping belajar ilmu-ilmu umum.

 

Meski begitu, Syarfuddin merasa tidak puas hanya belajar di desa. Menginjak usia dewasa, ia melanjutkan studinya ke Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Madura. Di pesantren inilah, Syarfuddin muda banyak belajar tentang ilmu-ilmu keislaman pada kiai-kiai Guluk-Guluk.

 

Karena kondisi perekonomian tidak stabil seperti sekarang sehingga mengganggu suasana belajar di pesantren. Maka akhir tahun 1943 Syarfuddin memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Meski terbilang sebentar berada di pesantren ini, tetapi kedalaman ilmu agama yang dimilikinya tak bisa diragukan.

 

Kealimannya sudah masyhur di kalangan masyarakat, terutama di Kangean Sumenep sendiri. Tak heran jika beliau dijadikan rujukan masyarakat di kampungnya dalam segala aspek. Baik menyangkut persoalan agama, persengketaan maupun urusan remeh-temeh masyarakat; pertanian dan lain-lain.

 

Dari saking alimnya, konon Kiai Syarfuddin pernah diskusi seputar persoalan fiqh selama kurang lebih tiga hari tiga malam dengan KH Abdul Adhim-seorang kiai asal Gowa-Gowa Raas Sumenep, lulusan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur. Kemudian menetap di pulau Kangean Sumenep, yang kealimannya juga tidak diragukan. Alhasil, Kiai Abdul Adhim mengakui akan kealiman Kiai Syarfuddin.

 

Sementara itu, yang tak kalah menariknya adalah konsistensi Kiai Syarfuddin dalam menuntut ilmu melekat hingga usianya sudah sepuh (97 tahun). Hari-harinya beliau selalu habiskan untuk belajar.

 

Kiai Syarfuddin, tampaknya mengamalkan betul hadis Nabi, yaitu “Tuntutlah ilmu mulai dari sejak lahir hingga akhir hayat (ajal menjemput)”. Karena itu, tidak berlebihan jika Kiai Syarfuddin dijuluki sebagai “hamba ilmu” (orang yang selalu haus akan ilmu). Mengingat, hampir seluruh waktunya tersita untuk belajar.

  

Juga, kitab-kitab yang dipelajari (baca) beragam judul. Mulai dari kitab fiqh seperti, Safinah al-Najah, Sullam al-Taufiq, Fathul Qorib, Bidayatul Hidayah, Fathul Mu’in, I’anah al-Thalibin, Kifayatul Akhyar, dan lainnya. Hingga kitab-kitab Hadits dan tasawuf seperti, Riyadhus Shalihin, Shahih Bukhari, Irsyadul Ibad, Kifayatul Atqiya, Ihya Ulumuddin, dan lain-lain, tak lepas dari bahan bacaan sehari-harinya, tentu selain bacaan amalan-amalan.

 

Penulis: Saidun Fiddaraini, alumnus Ma'had Aly Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Kini mengajar di Pesantren Zainul Huda, Arjasa Sumenep.


Editor:

Tokoh Terbaru