• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Tokoh

Mengenang Peninggalan Muassis NU Sumenep KH Abi Sudjak

Mengenang Peninggalan Muassis NU Sumenep KH Abi Sudjak
Makbarah KH Abi Sudjak, salah satu muassis NU Sumenep. (Foto: NOJ/ Firdausi)
Makbarah KH Abi Sudjak, salah satu muassis NU Sumenep. (Foto: NOJ/ Firdausi)

KH Abi Sudjak sebagai salah satu muassis NU di Sumenep meninggalkan banyak peninggalan yang layak dirawat dan dilestarikan. Di antaranya, Kiai Abi Sudjak meninggalkan sebuah buku, bangunan, dan benda-benda klasik yang membersamainya saat berdakwah serta berperang melawan penjajah.

 

Sebagai salah satu muassis NU di Sumenep, Kiai Abi Sudjak merupakan sosok alim dan aktif dalam literasi. Kiai Abi Sudjak kala itu menulis kitab Sirajul Bayan li Nawaziliz Zaman, yang menjelaskan tentang akidah, syariat dan muamalah yang seharusnya diamalkan oleh masyarakat yang notabenenya bermazhab Syafi’i. Penulisannya berbentuk dialog. Ada pertanyaan dan jawaban yang berdasarkan dalil naqli dan aqli.

 

Menurut penuturan KHR Suharto Winata, cucu menantu Kiai Abi Sudjak atau suami dari Ny Hj Sri Kurnia binti Kiai Aziz Arif Tarate, buku ini ditulis untuk menjawab problem masyarakat yang tak bisa dipecahkan kala itu.

 

Pada bab I, membahas tentang hukum maulid nabi yang dihelat setiap bulan Rabiul Awal. Bab II membahas fungsi doa, padahal sudah ada qadha dan qadar. Bab III membahas hukum bertasawul dan memohon syafaat. Bab IV membahas hukum ziarah kubur, membaca Al-Qur’an di kuburan dan mengucapkan salam pada ahli kubur.

 

Kemudian, di bab V membahas hukum tabaruk atau ngalap barakah pada para ulama. Bab VI membahas hukum rukyah dan azimat. Bab VII membahas tentang bersedekah atau menghadiahkan makanan pada jamaah serta menghadiahkan tahlil dan doa pada ahli kubur.

 

Kitab Sirajul Bayan li Nawazili Zaman itu sudah lama ditulis oleh Kiai Abi Sudjak. Tampak jelas dalam sampul, buku itu dicetak oleh NU di Surabaya tahun 1187 H. Kini kitab tersebut diampu oleh KH Hafidzi Syarbini, Rais PCNU Sumenep sekaligus Pengasuh Pesantren Darul Istiqamah Batuan, untuk diajarkan kembali kepada alumni dan masyarakat. Pengajian dilaksanakan setiap malam Jum’at Legi di Pesantren Asta Tinggi Banasokon, Desa Kebunagung, Kecamatan Kota, Sumenep, yang tak lain kediaman Kiai Abi Sudjak.

 

Sebagaimana cerita yang beredar dari khadim dan alumni Pesantren Asta Tinggi, serta alumni Pesantren Darul Istiqamah, saat terlelap tidur Kiai Hafidzi bermimpi. Kemudian, ketika terbangun tiba-tiba ada kitab di dekatnya.

 

Kiai Hafidzi pun bertanya-bertanya, karena ia merasa tidak memiliki, membeli dan meminjam pada seseorang kitab tersebut. Bahkan, ia merefleksikan ulang soal kitab ini yang kemungkinan pernah ia pelajari saat menuntut ilmu di Pesantren Al-Anwar Sarang, Jawa Tengah.

 

Santri KH Maimun Zubair itu mencari keberadaan penulis. Hingga akhirnya, kitab yang ia temukan secara ghaib itu memiliki kesamaannya dengan kitab yang ada di Pesantren Asta Tinggi. Sejak itulah Kiai Hafidzi memutuskan membuka pengajian kitab setiap malam Jum’at Legi di Pesantren Asta Tinggi.

 

Selain kitab, Langgar Banasokon merupakan peninggalannya yang didirikan sekitar tahun 1900 an. Selain dijadikan tempat beribadah oleh santri dan para laskar, juga dijadikan tempat mengajar ilmu Al-Qur’an.

 

Pasca wafatnya Kiai Abi Sudjak, estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh Nyai Hj Zainah, istri kedua Kiai Abi Sudjak. Ia memimpin pesantren bersama KH Moh Munir yang merupakan putra sulung Kiai Abi Sudjak dengan istri pertamanya (Nyai Hj Siti Fatimah binti KH Zainal Arifin). Kala itu, Nyai Zainah dan Kiai Munir hanya menerima santri yang ingin belajar Al-Qur’an. Bagi santri yang ingin belajar kitab kuning, ia arahkan pada pesantren yang memiliki program baca kitab kuning, seperti Pesantren Tarate.

 

Pasca wafatnya Kiai Munir, langgar itu dilanjutkan oleh Kiai Sattar. Kemudian diteruskan oleh Kiai Ghani dan Kiai Buna’i yang melanjutkan perjuangan gurunya. Semuanya adalah santri, kecuali Kiai Munir yang pertama kali meneruskan tongkat estafet Kiai Abi Sudjak. Saat ini pesantren itu dilanjutkan oleh cucu menantu KHR Suharto Winata, suami dari Nyai Hj Sri Kurnia (cucu Kiai Abi Sudjak).

 

Dalam dasawarsanya, kegiatan ubudiyah yang biasa dilakukan oleh Kiai Abi Sudjak bersama santri dan para laskar tetap dipertahankan oleh generasi muda. Yakni, khatmil Qur’an, tahlil dan shalawat Diba'i setiap malam Jumat, pembacaan shalawat Burdah setiap malam Selasa, pembacaan shalawat Nariyah setiap malam Rabu, pengajian kitab Sirajul Bayan li Nawaziliz Zaman yang diikuti oleh alumni dan masyarakat sekitar.

 

Selain langgar di Pesantren Banasokon, Kiai Abi Sudjak mendirikan langgar yang bersebelahan dengan Masjid Abdurrahman bin Auf Kebunagung. Masyarakat mengenalnya dengan sebutan Langgar As-Sudjaiyah. Didirikannya langgar tersebut agar pedagang sapi bisa shalat. Setiap malam Kamis, Kiai Abi Sudjak memimpin sarwah bersama masyarakat di Kebunagung guna membangkitkan semangat juang masyarakat untuk melawan penjajah.

 

Ada pula peninggalan lainnya yang sampai detik ini dirawat oleh dzurriyah. Salah satunya adalah tongkat Musa, Andarun, pisau bulan sabit, keris, hingga kitab seratan. Salah satu nasihat yang disampaikan oleh Kiai Abi Sudjak pada anak-anaknya adalah pesantren tidak menerima pemberian atau bantuan dari pemerintah. Hingga saat ini pesantren tersebut bersikukuh menjalankan amanah itu.

 

Pesantren yang pernah menampung ratusan santri itu sudah tak seramai dulu. Namun, Pesantren Asta Tinggi tetap menerima santri yang hanya ingin belajar Al-Qur’an, sebagaimana wasiat yang disampaikan oleh Almarhumah Ny Zainah. "Siapapun itu, baik keturunan, ustadz, dan santri yang tidak mengikuti ajaran yang diberikan oleh Kiai Abi Sudjak, maka tidak akan betah di Pesantren Banasokon."

 

Diketahui, banyak keturunannya tidak berdomisili di pesantren. Yang tampak hanya bekas madrasah, kediaman guru, dan asrama santri. Kini pesantren itu dirawat oleh KHR Suharto Winata bersama istrinya Ny Hj Sri Kurnia serta para alumni yang istiqamah merawat pesantren, maqbarah, dan mengaktifkan kegiatan keagamaan di Pesantren Asta Tinggi.


Tokoh Terbaru