Masyarakat Madura menempatkan sosok nyai sebagai ulama perempuan dalam berbagai konstruksi, yaitu konstruksi sejarah, agama, sosial, dan budaya. Dalam konstruksi budaya, nyai dipandang ajeg menjaga tradisi. Dalam konstruksi sosial, mereka ditempatkan sebagai sosok kharismatik dalam perekat kehidupan sosial. Dalam konstruksi agama, nyai menjadi juru selamat sekaligus motivator, dan dalam konstruksi produk sejarah, nyai merupakan pewaris lembaga keagamaan yang harus dijaga silsilahnya.
Masyarakat Madura sangat patuh terhadap ulama. Bagi mereka, ulama merupakan kepatuhan yang tulus tanpa syarat, dan berlangsung secara turun-temurun. Mereka memahami tentang arti pengharapan sehingga tidak perlu mempertanyakannya mengapa, kepada siapa, dan untuk apa kepatuhan tersebut dijalankan. Karena mencintai ulama dalah karakteristik masyarakat Madura. Di antara ulama perempuan yang sangat berpengaruh di Madura adalah Nyai Hj Fatmah Mawardi.
Nyai Hj Fatmah Mawardi lahir di Prenduan, Sumenep, Madura, pada tahun 1924 M. Ayahnya bernama H Mawardi dan seorang ibu bernama Nyai Muslihah. Nama kecil Nyai Fatmah Mawardi adalah Musarrah dan setelah naik haji berganti nama menjadi Fatmah. Ia belajar dari ayahnya, selanjutnya ia belajar dan banyak mendapatkan bimbingan pelajaran keagamaan (Islam) dari seorang pamannya, KH Djauhari Khotib, pendiri Pondok Pesantren Al-Amien dan guru tarekat (muqaddam) Tijaniyah terkemuka di Madura, Prenduan, Sumenep.
Di usia 21 tahun Nyai Fatmah menikah dengan sepupunya dari Sumberanyar, Pamekasan, Madura, yang bernama Kiai Mashduqi, yang oleh warga Madura di sana terkenal dengan wali dengan julukan "Rijalul Ghaib."
Dalam perjalanan hidupnya, Nyai Fatmah merupakan sosok yang gigih dan kreatif dan produktif dalam menciptakan syair atau syiiran Madura. Nyai Fatmah memiliki peran sebagai pemimpin Tarekat Tijaniyah untuk kalangan perempuan. Ia mendapatkan baiat tarekat ini dari pamannya, KH Djauhari Khatib pada tahun 1950-an bersama Nyai Hj Maryamah Abdullah Mandurah (istri Kiai Djauhari).
Sebagai muqaddamah atau pemimpin tarekat Tijani di kalangan perempuan, di antara nama-nama yang telah mendapatkan baiat tarekat ini dari Nyai Fatmah yaitu Nyai Farialah (sepupu), berikut yang aktif bersama Nyai Fatmah dalam kegiatan wirid Tijani, Nyai Makhtumah Musyhab, Nyai Zaifah (saudara Nyai Fatmah), Nyai Shiddiqah (saudara), Nyai Maisarah dan Nyai Su'udi dari Kapedi dan Nyai Annisa.
Kiprah dalam pendidikan
Nyai Fatmah mengelola dan mengurus Tarbiyatul Banat Diniyah (TBD) di Prenduan, yang diamanahkan oleh pamannya, Kiai Djauhari. Di antara santri-santrinya, sebagian menetap atau mondok dan sebagian lainnya berangkat dari rumah santri yang tidak jauh dari madrasah ini. Berikut santri-santrinya, Nyai Halimatus Sa'diyah (Pondok Pesantren Al-Amien Putri Prenduan), Nyai Hatimah (istri KH Jamaluddin Kafie, Prenduan), Nyai Aisiyah (Kapedi, Sumenep).
Sedangkan santri dari Palongan, Kapedi, Sumenep, seperti Bashirah dan Musarrah (keduanya adalah putri KH Jamaluddin Abdus Shomad, Muqaddam Tarekat Tijaniyah dari Palongan, Kapedi, Sumenep), Amriyah, Suryati, Listiyah, Masna, Sulaiha, Asma, Rusna, Rajiyah, dan Usmiah. Dari Garpanas, Sumenep, Sutrani dan Endang. Selain dari daerah Sumenep, santri-santri Nyai Fatmah juga dari Kabupaten Pamekasan, seperti dari Pakong dan Galis.
Kitab-kitab yang biasa diajarkan oleh Nyai Fatmah, di antaranya Daqaiqul Akhbar, Sullam, Safinah, Bidayah dan Tuhbatul Akhbar. Kitab-kitab inilah yang diajarkan oleh Nyai Fatmah pada sesudah dzuhur, asar dan sesudah shalat maghrib.
Kiprah di bidang ekonomi
Nyai Fatmah adalah sosok yang ulet dan kreatif dalam bidang ekonomi dan berjualan. Untuk mencari peluang usaha dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti berjualan rengginang, kerupuk, dan permen. Ia termasuk sosok perempuan yang sukses. Bahkan tidak kalah giatnya dibandingkan dengan usaha bapak-bapak, khususnya masyarakat Prenduan. Ia juga memiliki kemampuan menjahit pakaian dan dalam usaha di bidang perikanan juga pernah memiliki perahu sendiri dan bagan yaitu lumbung ikan di laut yang terbuat dari bambu, yang dipekerjakan pada orang lain. Dari hasil usaha inilah, Nyai Fatmah mampu naik haji dengan biaya sendiri pada tahun 1968 M.
Syiir Nyai Fatmah
Sebagai ulama perempuan Madura, Nyai Fatmah mencintai seni. Tentu saja seni yang ia senangi adalah seni yang memiliki misi dan bernilai Islami. Kesenian baginya merupakan alat bantu media untuk berdakwah.
Syair merupakan salah satu jenis dari karya sastra yang dikenal dari ciri bahasanya yang mengandung makna dan estetika. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan bahasa dalam penulisan syair seperti pengunaan simbol bahasa berupa majas-majas yang terdapat dalam suatu puisi. Karena, syair-syair lagu merupakan adaptasi dari sebuah puisi. Syair-syair yang terdapat dalam kumpulan lagu-lagu daerah Madura mengandung makna mendalam yang sangat berpengaruh dan memberikan dampak tersendiri terhadap kehidupan sosial masyarakat.
Nyai Fatmah sangat giat dan produktif dalam membuat karya syiiran. Dikisahkan oleh pembantu (haddamah) Nyai Fatmah bernama Nyai Tolhatun (2005), ketika usai shalat Dhuha dan sewaktu duduk sambil kelihatan bersantai tapi Nyai Fatmah tampak khusyuk dalam menulis syair. Bahkan sewaktu malam, ketika selesai melakukan shalat tahajud, Nyai Fatmah terbiasa menulis syair dan keesokan harinya diteruskan untuk dilakukan perbaikan kembali. Ia banyak menerbitkan buku-buku kecil atau dalam lembaran-lembaran sederhana dengan hasil tulisannya sendiri, umumnya dalam tulisan pegon.
Kecakapannya dalam melantunkan syiiran atau syair dengan bahasa Madura. Di sela-sela beliau beraktivitas, ia pun terbiasa membacakan karya syairnya. Bagi Nyai Fatmah tiada hari tanpa bersyair. Pada saat mengajar ilmu kepada para santrinya ia menyempatkan diri untuk membacakan karya syairnya. Demikian juga santri-santrinya dengan senang hati menirukan tembang-tembang syairnya. Ketika bepergian semobil ke Jakarta untuk mengikuti suatu acara, Nyai Fatmah tak henti-hentinya melantunkan syair selama berada dalam perjalanan.
Syair atau syiiran Nyai Fatmah yang dikumpulkan termasuk syiiran yang populer di kalangan masyarakat Madura. Umumnya syiiran Nyai Fatmah populer karena digunakan sebagai media dakwah, seperti pada saat mengisi acara-acara pengajian, Maulud-an, pertunangan dan perkawinan. Pada saat kedatangan tamu di kediamannya, selain Nyai Fatmah menyuguhkan hidangan berupa makanan, ia pun terbiasa menyuguhkan lembaran-lembaran kertas berisikan (tulisan) syiiran dengan dibacakan bersama para tamu tersebut.
Berikut judul-judul karya syiiran Nyai Hj. Fatmah Mawardi: Hiburan Parengedan Bersama Walimatul 'Arusyain, Riwayatta Rasulullah, Arkanul Islam, Tauhidullah (Aqaaidul Khamsiina), Oreng Ko'ong, Wajib Potra Ngabhakte dha' Ebu Bapa', Syiir Persatuan, Hiburan Dhatengnga Jamaah Haji Dhari Mekka, Bhattala Poasa, Belajar Qur'an, Riwayatta Sayyidina Umar Abendhem Potra Bine'na Dhi'-Odhi' sabelunna Maso' Agama Islam, Sango Kobur, Ngereng Bersatu Sama-Sama, dan lain-lain.
Ulama perempuan sang penyair Madura kini telah berpulang ke rahmatullah. Nyai Hj. Fatmah Mawardi wafat pada 11 Agustus 1994 M. atau dalam kalender Hijriyah pada 3 Rabi'ul Awal 1415 H karena penyakit yang dideritanya. Almarhumah wafat di pesantren putranya, KH Badri Mashduqi, pendiri Pondok Pesantren Badridduja Kraksaan Probolinggo. Nyai Fatmah dikebumikan di tanah Jawa, di Desa Patokan, Kraksaan, berada di lokasi Pondok Pesantren Badridduja Wilayah Al Mashduqiah, Patokan, Kraksaan, Probolinggo.
Penulis: Saifullah