• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Selasa, 30 April 2024

Keislaman

Argumentasi Rukyatul Hilal untuk Menentukan Awal Ramadhan

Argumentasi Rukyatul Hilal untuk Menentukan Awal Ramadhan
NU menggunakan metode rukyatul hilal dalam menentukan awal Ramadhan. (Foto: NOJ)
NU menggunakan metode rukyatul hilal dalam menentukan awal Ramadhan. (Foto: NOJ)

Dalam beberapa hari terakhir, umat Islam masih mempersoalkan metode yang digunakan dalam menentukan awal bulan Ramadhan 1445 H. Ada organisasi sosial keagamaan yang dengan terbuka telah mengumumkan bahwa 1 Ramadhan akan jatuh pada 11 Maret 2024.

 

Sedangkan Nahdlatul Ulama (NU) dan ormas keagamaan lainnya tetap bersikukuh bahwa penentuan awal Ramadhan seperti tahun sebelumnya yakni dengan melihat posisi hilal. Apa saja yang menjadi argumentasi sehingga melihat hilal atau rukyatul hilal menjadi pilihan dalam menentukan bulan qamariyah, termasuk awal Ramadhan?

 

Metodologi penentuan awal bulan qamariah, baik untuk menandai permulaan Ramadhan, Syawal dan bulan lainnya harus didasarkan pada penglihatan bulan secara fisik atau rukyatul hilal bil fi'ly. Sedangkan metode perhitungan astronomi atau hisab dipakai untuk membantu prosesi rukyat.

 

Dasar Penggunaan Rukyatul Hilal

Jumhurul madzahib yakni mayoritas imam madzhab berpendapat bahwa pemerintah sebagai ulil amri diperbolehkan menjadikan rukyatul hilal sebagai dasar penetapan awal bulan qamariah, khususnya Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini.

 

Adapun dasar hukum bagi penggunaan rukyatul hilal bagi penentuan awal bulan qamariyah, khususnya 1 Ramadhan adalah sebagai berikut:

 

1. Hadits muttafaq alaihi (diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim) sebagai berikut:

 

حدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

 

Artinya: Berpuasalah kalian pada saat kalian telah melihatnya (bulan), dan berbukalah kalian juga di saat telah melihatnya (hilal bulan Syawal) Dan apabila tertutup mendung bagi kalian maka genapkanlah bulan Sya'ban menjadi 30 hari. (HR Bukhari: 1776 dan Imam Muslim 5/354)

 

Dari hadits di atas, jelas sekali bahwa Rasulullah SAW hanyalah menetapkan "melihat bulan" atau rukyatul hilal sebagai causa prima dari permulaan ibadah puasa dan permulaan Idul Fitri, dan bukan dengan sudah wujud tidaknya ataupun apalagi cara menghitungnya. Terbukti, dari penggalan kedua redaksi kalimat Rasulullah SAW di atas yang menyuruh menyempurnakan bulan Sya'ban sebanyak 30 hari apalagi tidak berhasil melihat walaupun secara perhitungan astronomis (hisab) mungkin sudah ada.

 

2. Kenyataan yang terjadi, bahwa Nabi Muhammad SAW memerintahkan puasa langsung setelah datang kepadanya persaksian seorang muslim tanpa menanyakan asal si saksi, apakah dia melihatnya di daerah mathla' yang sama dengan Rasulullah atau berjauhan.

 

Hal ini sebagaimana dalam hadits:

 

 جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رَمَضَانَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا

 

Artinya: Datang seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud sang Badui yaitu hilal Ramadhan). Rasulullah SAW bersabda: Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah? Dia berkata: Benar. Nabi meneruskan pertanyaannya seraya berkata: Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah? Dia berkata: Ya benar. Kemudian Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berpuasa besok. (HR Abu Daud 283/6)

 

3. Dalam kitab Fathul Qodir fiqh madzhab Hanafi pada jilid ke 4 hal 291 dijelaskan sebagai berikut:

 

 وَإِذَا ثَبَتَ فِي مِصْرَ لَزِمَ سَائِرَ النَّاسِ فَيَلْزَمُ أَهْلَ الْمَشْرِقِ بِرُؤْيَةِ أَهْلِ الْمَغْرِبِ فِي ظَاهِرِ الْمَذْهَبِ

 

Artinya: Apabila telah ditetapkan bahwa hilal telah terlihat di sebuah kota, maka wajib hukumnya penduduk yang tinggal di belahan bumi timur untuk mengikuti ketetapan rukyah yang telah diambil kaum muslimin yang berada di belahan bumi barat.

 

Dalam ta'bir di atas telah dijelaskan bahwa wajib hukumnya bagi umat Islam yang tinggal di daerah timur untuk mengikuti ketetapan rukyah yang telah diambil oleh kaum muslimin di wilayah barat. Dan sebaliknya, apabila mereka yang tinggal di wilayah timur terlebih dahulu telah melihat dan menetapkannya, maka kewajibannya lebih utama karena secara otomatis umat Islam bagian timur terlebih dahulu melihat hilal dari pada mereka yang tinggal di barat.

 

4. Dalam kitab Furu' Milik ibn Muflih fiqh madzhab Hambali juz 4 hal 426 disebutkan:

 

 َإِنْ ثَبَتَتْ رُؤْيَتُهُ بِمَكَانٍ قَرِيبٍ أَوْ بَعِيدٍ لَزِمَ جَمِيعَ الْبِلَادِ الصَّوْمُ ، وَحُكْمُ مَنْ لَمْ يَرَهُ كَمَنْ رَآهُ وَلَوْ اخْتَلَفَتْ الْمَطَالِعُ

 

Artinya: Apabila bulan telah terlihat dalam suatu tempat, baik jaraknya dekat atau jauh dari wilayah lain, maka wajib seluruh wilayah untuk berpuasa mengikuti rukyah wilayah tersebut. Hukum ini juga berlaku bagi mereka yang tidak melihatnya seperti halnya mereka yang melihatnya secara langsung, dan perbedaan wilayah terbit bukanlah penghalang dalam penerapan hukum ini.

 

5. Dalam kitab Mawahib Jalil fi Syarh Mukhtashor Syaikh Kholil juz 6 hal 396 dijelaskan seperti ini:

 

 أَمَّا سَبَبُهُ أَيْ الصَّوْمِ فَاثْنَانِ الْأَوَّلُ : رُؤْيَةُ الْهِلَالِ وَتَحْصُلُ بِالْخَبَرِ الْمُنْتَشِرِ

 

Artinya: Adapun sebab diwajibkannya puasa ada dua. Yang pertama, terlihatnya bulan dengan syarat rukyatnya melalui kabar yang sudah tersebar luas.

 

Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa penetapan bulan Ramadhan hanya ditetapkan dengan terlihatnya bulan tanpa disebutkan adanya syarat-syarat lain untuk diterimanya rukyat ini. Yaitu di antaranya tanpa dengan menyebutkan ketentuan perbedaan terbitnya bulan pada wilayah yang berjauhan atau ikhtilaf mathali'.

 

6. Penjelasan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin 


 لاَ يَثْبُتُ رَمَضَانُ كَغَيْرِهِ مِنَ الشُّهُوْرِ إِلاَّ بِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ أَوْ إِكْمَالِ الْعِدَّةِ ثَلاَثِيْنَ بِلاَ فَارِقٍ

 

Artinya: Bulan Ramadhan sama seperti bulan lainnya tidak tetap kecuali dengan melihat hilal, atau menyempurnakan bilangan menjadi tiga puluh hari.

 

7. Perhatikan keterangan Al-‘Ilm al-Manshur fi Itsbat al-Syuhur

 

 قَالَ سَنَدُ الْمَالِكِيَّةِ لَوْ كَانَ اْلإِمَامُ يَرَى الْحِسَابَ فِي الْهِلاَلِ فَأَثْبَتَ بِهِ لَمْ يُتْبَعْ لإِجْمَاعِ السَّلَفِ عَلَى خِلاَفِهِ

 

Artinya: Para tokoh madzhab Malikiyah berpendapat: Bila seorang penguasa mengetahui hisab tentang (masuknya) suatu bulan, lalu ia menetapkan bulan tersebut dengan hisab, maka ia tidak boleh diikuti, karena ijma’ ulama salaf bertentangan dengannya.

  

Dengan beragam argumentasi di atas sangat jelas mengapa NU dan beberapa ormas keagamaan lain di Tanah Air lebih memilih metode rukyatul hilal dalam menentukan awal Ramadhan. Hal yang sama juga diberlakukan bagi awal bulan qamariyah lainnya, seperti penentuan 1 Syawal dan seterusnya. Wallahu a’lam.


Editor:

Keislaman Terbaru