M Rufait Balya B
Kontributor
Haid bagi wanita merupakan hal yang wajar, hal ini merupakan kodrat yang harus diterima seorang wanita. Namun, tidak dipungkiri bahwa terkadang dianggap sebagai penghalang seperti halnya dalam pelaksanaan ibadah haji.
Meskipun niat ihram haji tidak diharuskan dalam kondisi suci, sebagai mana hadits Nabi SAW:
الحائِضُ و النُّفَساءُ إذا أتَتَا على الوقتِ تغْتَسِلانِ و تُحْرِمانِ و تَقضيانِ المناسِكَ كلَّها غيرَ الطوافِ بالبيتِ
Artinya: “Orang yang haid dan nifas bila telah sampai waktu (yang sah untuk ihram) maka mereka mandi, berihram, dan melakukan semua amalan haji umrah selain tawaf mengelilingi Baitullah” (HR.Tirmidzi dan Abu Dawud dari Abdullah bin Abbas ra. Imam Suyuthi dalam Jamius Shaghir memberi status hadits ini dengan hadits Hasan).
Akan tetapi dari hadits di atas, terdapat salah satu amalan haji atau umrah yang harus dalam kondisi suci yakni tawaaf. Lantas bagaimana hukumnya bila seorang wanita melakukan usaha menangguhkan haid dengan maksud agar dapat menyelesaikan ibadah haji dengan sempurna dan bagaimana pula hukum hajinya?
Jadi, usaha menangguhkan haid hukumnya boleh, asal tidak membahayakan, dan hukum hajinya tetap sah. Akan tetapi jika sampai mengurangi atau terputusnya kehamilan maka hukumnya makruh, sebagaimana penjelasan Abdurrahman bin Ziyad dalam kitabnya Ghayah Talkhish al-Murad min Fatawa Ibn Ziyad:
وَفِي فَتَاوَى الْقَمَاطِ مَا حَاصِلُهُ جَوَازُ اسْتِعْمَالِ الدَّوَاءِ لِمَنْعِ الْحَيْضِ، وَأَمَّا الْعَزْلُ فَمَكْرُوهٌ مُطْلَقًا إِنْ فَعَلَهُ تَحَرُّزًا عَنِ الْوَلَدِ
Artinya: “Dalam fatawa al-Qamath disebutkan kesimpulannya, bahwa diperbolehkan menggunakan obat untuk mencegah haid. Adapun ‘azl (mengeluarkan sperma di luar rahim) hukumnya makruh secara mutlak jika dilakukan untuk menghindari kehamilan." (Abdurrahman bin Ziyad, Ghayah Talkhish al-Murad min Fatawa Ibn Ziyad:, [Maktabah Syamilah: Jami’ul Kutub Al-Islamiyyah, tanpa tahun], halaman 220).
Senada dengan pendapat di atas, Syekh Sulaiman Al-Kurdi, berpendapat dalam Kitab Qurrah al-‘Ain fi Fatawa al-Haramain:
مَسْأَلَةٌ: إِذَا اسْتَعْمَلَتِ الْمَرْأَةُ دَوَاءً لِرفْعِ دَمِ الْحَيْضِ أَوْ تَقْلِيْلِهِ فَإِنَّهُ يُكْرَهُ مَا لَمْ يَلْزَمْ عَلَيْهِ قَطْعُ النَّسْلِ أَوْ قِلَّتُهِ
Artinya: "Jika wanita memakai obat untuk mengangkat (mencegah) haid atau menguranginya, maka hukumnya makruh bila tidak menyebabkan terputus atau berkurangnya keturunan." (Muhammad Sulaiman Al-Kurdi, Qurratul ‘Ain bi Fatawa Ulama’il Haramain, [Mesir: Musthofa Muhammad, 1937 M], halaman 30).
Dari penjelasan di atas, dapat kita ketahui bersama bahwasaanya hukum mengkonsumsi obat penunda haid adalah diperbolehkan, asalkan tidak membahayakan bagi dirinya, juga sebagai sarana agar ibadah hajinya lancar tanpa halangan dan hukum hajinya tetap sah. Wallahu a’lam.
Terpopuler
1
Innalillahi, KH Taufik Ketua PCNU Pamekasan Wafat
2
Kronologi Kecelakaan yang Menimpa KH Taufik Hasyim Ketua PCNU Pamekasan
3
Yusak, Kader GP Ansor Trenggalek Istiqamah Berkhidmat 25 Tahun Berpulang
4
Bacaan Doa Sambut Kepulangan Jamaah Haji ke Tanah Air
5
5 Tanda Haji Mabrur Menurut Al-Qur'an dan Hadits
6
PBNU Cetak 100 Ribu Kader, Siapkan Akademi Kepemimpinan Nasional NU
Terkini
Lihat Semua