Oleh: Muhammad Abror S*
Istilah ‘vegan’ tidak hanya disandangkan kepada orang-orang yang tidak mengonsumsi hewan. Istilah tersebut ini juga diadopsi dalam hal konsumsi produk mode. Vegan fashion, pada dasarnya adalah produk pakaian dan aksesori yang bahan utamanya berasal dari hewan.
Sebagaimana maklum, banyak industri fashion yang menggunakan kulit dan bulu hewan sebagai bahan baku industri. Tingginya peminat dan harga jual melatari pembuatan produk dengan bahan baku kulit atau bulu hewan.
Namun, pernahkah kita sebagai muslim, terlebih sebagai santri mempertanyakan hukum produksi kulit hewan sebagai barang fashion? Ternyata, hal yang demikian sudah pernah menjadi pembahasan ulama-ulama salaf.
Empat Mazhab sepakat bahwa kulit hewan boleh dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan dompet, ikat pinggang, sepatu dan lain sebagainya. Hanya saja Imam Hambali membatasi legalisasi pemakaiannya sebagai pelana.
Status Kesucian Kulit Hewan Pasca Samak
Menurut konsensus ulama, kulit hewan yang belum disamak hukumnya najis. Akan tetapi, status kesucian kulit hewan pasca samak masih diperselisihkan. Berikut ini beberapa pendapat para ulama madzhab.
Imam Maliki dan Imam Hambali mengatakan Najis. Pendapat ini mengacu pada hadits An-Nasai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُكَيْمٍ قَالَ قُرِئَ عَلَينَا كِتَابُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِن أرْضِ جُهَيْنَة: أَنْ لَا تَنْتَفِعُوا مِنْ الْمَيْتَةِ بِشَيءٍ بِإِهَابٍ وَلَا عَصَبٍ
Artinya: Dari Abdurrahman bin Abu Laila dari Abdullah bin ‘Ukaim, ia berkata; Surat Rasulullah dibacakan kepada kami: Janganlah kalian menikmati dari bangkai baik kulit atau uratnya.
Hadis ini menunjukkan adanya larangan dari Rasulullah untuk memanfaatkan bagian apapun dari bangkai hewan, dan itu termasuk kulit.
Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa hukum kulit hewan sama dengan hukum bagian tubuh lainnya. Ketika hewannya tidak bisa dimakan, maka bangkainya najis begitupun semua bagian yang terpisah darinya.
Imam Malik mengarahkan makna lafaz طهر dalam hadis أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ (Kulit apapun jika disamak hukumnya suci) pada makna ath-thaharah secara bahasa yang bermakna ‘bersih’ bukan ‘suci’.
Imam Syafi'i dan Imam Hanafi menyampaikan pendapat yang berbeda. Imam Hanafi mengatakan suci. Imam Syafi'i juga demikian, tetapi Imam Syafii masih mengecualikan kulit anjing, babi dan peranakannya. Hadis yang diriwayatkan Imam Muslim berikut melandasi pendapat ini:
إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ، فَقَدْ طَهُرَ
Artinya: Jika kulit hewan telah disamak, maka ia menjadi suci. (HR. Muslim)
Jika dipahami secara dzahir hadits, maka menunjukkan bahwa semua kulit hewan yang disamak hukumnya suci.
Dari dua pendapat di atas, ulama yang mengatakan kulit hewan pasca samak statusnya suci lebih kuat dan yang menghukumi najis pendapatnya amat lemah. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain; haditsnya tidak sahih binafsihi atau bighairihi. Seandainya haditsnya sahih mungkin hanya sebatas bighairihi, sedangkan lawannya shahih binafsihi. Selain itu, masih umumnya dalil yang ada juga kian melemahkan pendapat tersebut.
Untuk kulit babi, anjing dan peranakannya, Imam Syafii mengatakan najis meskipun pasca samak dan tidak boleh dimanfaatkan, karena termasuk نجس العين (benda najis). Sedangkan, Imam Hanafi mengatakan sebaliknya karena keumuman hadis أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ (Kulit apapun jika disamak hukumnya suci). Hadis tersebut menunjukkan, kulit hewan apapun akan suci jika disamak, maka kulit anjing, babi, dan peranakannya juga suci.
Untuk kulit anjing, dalam mazhab Hanafi sepakat bahwa hukumnya suci karena masih bisa memberikan manfaat kepada pemburu, dan penjaga. Bahkan, Imam Malik memperbolehkan pemeliharaan anjing, karena ketiadaan dalil yang melarang hal tersebut. Akan tetapi, menurut beliau air liur anjing tetap najis, seperti yang disepakati ulama.
Namun, agar lebih aman sebaiknya tidak memanfaatkan kulit babi, anjing dan peranakannya. Jika ada yang mengindustrikannya dan dia taklid kepada ulama yang memperbolehkannya, kita tidak boleh antipati kepadanya, karena ini masalah ijtihadiyah. Sebagaimana kaidah fikih yang disampaikan oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nadha’ir,
لا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Artinya: Masalah yang masih diperselisihkan (keharamannya) tidak boleh diingkari, tapi harus mengingkari masalah yang (keharamannya) telah disepakati. (Imam Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Asybâh wa al-Nadhâ’ir). Wallahu a'lam
Referensi: Ahkam al-Tasni’ fi al-Fiqh al-Islami, karya Ahmad bin Shalih bin Ali Bafadhol
*Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo, Malang