• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Keislaman

Hukum Melindungi Pengungsi Imigran dalam Syariat Islam

Hukum Melindungi Pengungsi Imigran dalam Syariat Islam
Tampak pengungsi Rohingya yang akan berlabuh (Foto:NOJ/mediaindonesia)
Tampak pengungsi Rohingya yang akan berlabuh (Foto:NOJ/mediaindonesia)

Oleh: Zainun Hisyam*


Belakangan ini, wacana publik Indonesia diramaikan oleh kontroversi imigran dari Rohingya yang mencari suaka di Aceh. Merebaknya isu ini sampai menimbulkan konflik pengusiran 137 pengungsi Rohingya oleh mahasiswa pada penghujung 2023 lalu.


Berpijak pada kasus tersebut, bagaimana sebenarnya syariat Islam memandang para pengungsi imigran? Secara garis besar, agama Islam secara tegas melindungi hak-hak para imigran sekalipun mereka bukan bagian dari umat Islam.


Dalam terminologi fiqih, pengungsi imigran yang berbeda agama dikenal dengan istilah al-mustajir المستجير atau al-musta’min المستأمن, yaitu orang-orang yang mencari keamanan di negara lain, baik orang Islam memasuki negara non-Muslim atau non-Muslim memasuki negara Islam (Abdurrahman Syaikhi Zaadah, Majma’ul Anhur Fii Syarhi Multaqal Abhur, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1998], juz 4 halaman 333).


Islam menjamin perlindungan keamaan bagi para al-musta’min yang berasal dari kelompok kafir harbi. Hal ini sebagaimana tafsir para ulama atas surat At-Taubah ayat 6, salah satunya seperti yang disampaikan oleh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya


قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ﴾ أَيْ مِنَ الَّذِينَ أَمَرْتُكَ بِقِتَالِهِمْ. "اسْتَجارَكَ" أَيْ سَأَلَ جِوَارَكَ، أَيْ أَمَانَكَ وَذِمَامَكَ، فَأَعْطِهِ إِيَّاهُ ليسمع القرآن، أي يفهم أَحْكَامَهُ وَأَوَامِرَهُ وَنَوَاهِيَهِ. فَإِنْ قَبِلَ أَمْرًا فَحَسَنٌ، وَإِنْ أَبَى فَرُدَّهُ إِلَى مَأْمَنِهِ


Artinya: Firman Allah Ta’alaa: ‘dan apabila salah seorang dari orang-orang musyrik’, maksudnya dari orang-orang yang Aku perintahkan kepadamu untuk memerangi mereka, meminta keamanan dan jaminan kepadamu, maka berikanlah itu supaya dia mendengarkan Al-Quran, yaitu memahami hukum-hukumnya, perintah serta larangannya. Jika dia menerima, maka itu sesuatu yang baik. Jika tidak kembalikanlah dia ke tempat asalnya secara aman. (Al-Qurthubi, Al-Jaami’ Liahkaamil Qur’an, [Beirut: Al-Resalah Publishers, 2006], juz 10 halaman 114).


Tafsir tersebut secara gamblang menyebutkan bahwa perlindungan keamanan wajib diberikan oleh pemerintah negara Islam kepada seorang kafir harbi yang memintanya agar dia bisa memahami ajaran Islam. Namun demikian, jaminan ini memang hanya berlaku sementara.


Berbeda halnya dengan non-muslim dari kalangan dzimmi yang bisa mendapatkan perlindungan selamanya selama dia membayar jizyah. Selain itu para al-musta’min dari kalangan dzimmi ini berhak mendapatkan tempat tinggal yang layak, dan tak boleh diganggu oleh siapapun:


أَمَّا حُرْمَةُ الْمَسْكَنِ فَهِيَ مَكْفُوْلَةٌ لِلْمُسْتَأْمِن لِأَنَّهَا مِن مُسْتَلْزِمَاتِ الحُرِّيَّةِ الشَّخْصِيَّة, وَحِمَايَةِ شَخْصِهِ مِن أَيِّ اعْتِدَاءٍ رِعَايَةً لِحَقِّ الأَمَان


Artinya: Adapun kehormantan tempang tinggal itu dijamin bagi al-musta’min, karena hal tersebut merupakan bagian integral dari kebebasan personal dan penjagaan individu dari perlawanan apapun, sebagai bentuk dari merawat hak keamanan. (Dr. Abdul Karim Zidan, Ahkaamudz Dzimmiyyiin wal Musta’miniin, [Baghdad: Maktabatul Quds, 1982], halaman 125)


Pemaparan di atas menunjukkan kepada kita betapa pedulinya Islam terhadap keamanan sesama manusia, termasuk kepada kafir harbi sekalipun. Lantas, bagaimana kiranya penjaminan Islam terhadap imigran yang berasal dari umat Nabi Muhammad ﷺ sendiri


Tentunya, kewajiban memberikan jaminan keamanan kepada imigran Muslim lebih besar dan lebih utama. Istilah yang diberikan kepada imigran Muslim pun bukan lagi al-mustajiir atau al-musta’min, melainkan al-muhajir.


Sejarah peneriman sahabat dari kaum al-anshor terhadap sahabat dari kaum al-muhajiriin sekiranya sudah cukup sebagai dalil wajibnya menerima imigran sesama Muslim. Apalagi Allah Ta’alaa dalam surat Al-Anfal ayat 72 menyebut dua kelompok ini sebagai wali satu sama lain (اُولٰۤىِٕكَ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍ).


Meskipun kata wali di ayat tersebut banyak ditafsirkan sebagai pewaris yang hukumnya sudah diganti (mansukh), tetapi Imam Ar-Razi menyebutkan bahwa kata wali bisa juga dimaknai sebagai kedekatan yang sangat dan sikap saling tolong-menolong:


وهو كَوْنُ بَعْضِهِمْ مُعَظِّمًا لِلْبَعْضِ مُهْتَمًّا بِشَأْنِهِ مَخْصُوصًا بِمُعاوَنَتِهِ ومُناصَرَتِهِ، والمَقْصُودُ أنْ يَكُونُوا يَدًا واحِدَةً عَلى الأعْداءِ، وأنْ يَكُونَ حُبُّ كُلِّ واحِدٍ لِغَيْرِهِ جارِيًا مَجْرى حَبْسِهِ لِنَفْسِهِ
 

Artinya: (Makna wali) yaitu keadaan sebagian mereka mengagungkan sebagian yang lain, peduli terhadap kondisinya, siap sedia saling menolong dan membantunya. Maksudnya adalah mereka sebagai satu barisan melawan musuh bersama, dan cinta setiap orang bagi yang lain berlaku sebagaimana cintanya pada diri sendiri. [Imam Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghoib, [Beirut: Darul Fikr, 1981], juz 15 halaman 216]


Dengan demikian, sudah jelas bahwa dalam syariat Islam menerima pengungsi imigran yang mencari perlindungan adalah kewajiban. Kewajiban memberi perlindungan ini bahkan berlaku bagi pengungsi dari kalangan kafir harbi, hanya dengan batas waktu tertentu.


Adapun imigran dari kalangan dzimmi, apalagi sesama Muslim, maka memberikan perlindungan penuh kepada mereka adalah keharusan tanpa batas waktu. Setidaknya dalam hukum syariat Islam.


Namun tentu saja, hukum perlindungan terhadap imigran tersebut perlu disesuaikan dengan hukum nasional yang berlaku. Indonesia sendiri sudah memiliki Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.


Dalam pasal 3 Perpres 125/2016 tersebut disebutkan bahwa, “penanganan Pengungsi memperhatikan ketentuan internasional yang berlaku umum dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”


Artinya meskipun Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 terkait status pengungsi, adanya perpres tersebut menjamin perlindungan bagi para pencari suaka sesuai dengan standar minimial UNHCR.


Dilansir dari situs unhcr.org, perlindungan yang diberikan UNHCR, dimulai dengan memastikan bahwa pengungsi dan pencari suaka terlindung dari refoulement (perlindungan dari pemulangan kembali secara paksa ke tempat asal mereka di mana hidup atau kebebasan mereka terancam bahaya atau penganiayaan).


Dari sini dapat disimpulkan bahwa perlindungan terhadap para pengungsi imigran adalah kewajiban yang harus diterapkan baik dalam sudut pandang syariat Islam ataupun hukum nasional dan internasional.
 

*Pengajar Pondok Pesantren Attaujieh Al-Islamiy


Keislaman Terbaru