• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 29 Maret 2024

Keislaman

Islam Agama Cinta dan Kasih Sayang

Islam Agama Cinta dan Kasih Sayang
Ilustrasi cinta dan kasih sayang. (Foto: NOJ/NU Online)
Ilustrasi cinta dan kasih sayang. (Foto: NOJ/NU Online)

Semakin lama, umat Islam semakin tidak memiliki rasa cinta dan kasih sayang, baik kepada keluarga maupun orang lain. Banyak dari kalangan umat Islam yang tak lagi punya waktu untuk anak-anak mereka. Mereka pergi bekerja sebelum anak-anak mereka bangun, kemudian pulang ke rumah di saat anak-anak mereka sudah pulas tertidur. Bahkan untuk akhir pekan, mereka juga tak punya waktu untuk memanjakan anak-anak mereka karena tugas kantor atau acara bersama teman-teman. Sibuk bekerja atau semacamnya membuat mereka tak sempat mencium dan memeluk anak meskipun hanya beberapa detik saja. Realita semacam ini tidak lagi menjadi pemandangan yang asing bagi kita saat ini. Sebagian orang tua kehilangan kesempatan terbaik mereka bersama anak-anak. Kasus seperti ini pernah terjadi di masa Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam.

 

Di tengah kesibukan yang amat banyak, Rasulullah masih menyempatkan untuk bermain bersama cucu-cucunya. Hasan dan Husain menjadi buruan Rasulullah untuk ditangkap, dipeluk, dan cium. Ketika Rasulullah bermanja-manja dengan cucu-cucunya itu, salah seorang Sahabat Nabi bernama Aqra’ bin Habis melihatnya dan berkata, “Rasulullah, engkau mencium anak kecil? Aku punya sepuluh anak, namun tak ada satupun yang pernah aku cium.” Saat mendengar ucapan Aqra’ bin Habis tersebut, Rasulullah  shallahu ‘alaihi wa sallam geleng-geleng kepala sembari bersabda, “Siapa yang tidak memberikan kasih sayang, maka ia tidak tidak pantas mendapatkan kasih sayang,” (HR. Bukhari [5997], Muslim [65] dari Abu Hurairah RA).

 

Selain itu, setiap tanggal 14 Febuari, sebagian anak-anak muda selalu merayakan agenda tahunan yang mereka sebut “Hari Kasih Sayang” atau Valentine Day. Perayaan Hari Kasih Sayang ini diperingati tiap tahun dengan cara-cara yang jauh dari norma-norma agama seperti pesta minuman keras, narkoba, seks, dan berfoya-foya. Sayangnya, mereka hanya mengartikan cinta dan kasih sayang sebagai pelampiasan nafsu. Padahal dalam Islam makna cinta dan kasih sayang begitu luas. Cinta dan kasih sayang tidak hanya ditujukan untuk pasangan saja, namun untuk seluruh manusia dan makhluk seperti yang disabdakan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam.

 

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

 

Artinya: “Tidak sempurna keimanan seseorang sampai ia mampu mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri,” (HR. Bukhari [13] dari Anas bin Malik RA).

 

Syekh Muhammad Ratib An-Nalbusi dalam website resminya menjelaskan dengan rinci hadis tersebut. Dia menulis bahwa, kata “saudara” dalam hadis tersebut bisa diartikan saudara seiman atau sesama muslim, namun ada sebagian ulama yang menafsirkan kata tersebut tidak hanya saudara seagama saja, melainkan saudara sesama manusia termasuk orang-orang yang berada di luar agama Islam.

 

Keterangan tersebut menegaskan, Islam tidak memaknai cinta dan kasih sayang hanya untuk pasangan saja, namun ke sesama manusia, baik keluarga, tetangga, teman, juga orang yang tidak dikenal pun, Rasulullah memerintahkan kita untuk mencintai dan menebarkan kasih sayang kepada mereka, bahkan ke semua ciptaan Allah termasuk binatang. Suatu saat Aisyah r.a. menaiki hewan tunggangannya hendak bepergian. Namun “alat transportasi” kuno tersebut malas berjalan. Karena ingin segera sampai pada tujuan, istri Nabi yang paling cerdas itu memukulnya. Rasulullah Saw. mengetahui perbuatan Aisyah r.a. tersebut lalu bersabda, “Berlemahlembutlah engkau wahai Aisyah. Sungguh segala sesuatu yang dihiasi kelembutan akan tampak indah, dan sebaliknya, tanpa kelembutan segala sesuatu akan terlihat tidak cacat,” (HR. Ahmad [25578]). Jika kita diperintahkan memperlakukan binatang dengan kelembutan, tentu manusia lebih berhak kita muliakan dengan cinta dan kasih sayang sebab manusia adalah makhluk paling mulia di hadapan Allah Swt.

 

Di lain waktu, Rasulullah berjalan menyusuri jalanan kota Madinah. Tiba-tiba terdengar suara unta yang merengek. Air mata unta itu tumpah dan mengalir deras karena ia selalu menjadi bulanbulanan majikannya dan mengalami rasa sakit yang tidak tertahankan. Rasulullah menghampirinya dengan penuh iba dan kasih sayang seperti seorang ibu yang sedang melihat anaknya merengek membutuhkan uluran tangan. Unta itu pun mengadu ke Rasulullah, setiap hari ia dicambuk majikannya dan diberi beban yang tak sanggup dipikulnya. Sontak Rasulullah bertanya kepada para Sahabat, siapa pemilik unta itu? Seorang lelaki dengan rasa takut dan malu mengaku bahwa, dialah pemilik unta malang tersebut.“Tidakkah engkau takut kepada Allah dengan (menyiksa) hewanmu ini? Ia mengadu kepadaku bahwa engkau mencambuknya tiap hari dan memberinya beban yang tak sanggup ia bawa.” Pesan-pesan Rasulullah SAW Inilah yang menunukkan keluasan makna cinta dan kasih sayang menurut Islam.

 

Dan tulisan ini ditulis sebagai bentuk pembelaan terhadap agama kita, Islam. Di negara-negara minoritas muslim, masih ada sebagian dari orang-orang non muslim atau kafir yang meneriakkan, Islam agama anarkis, Islam agama teroris, dan lain sebagainya. Mereka tidak tahu dan tidak sadar bahwa, ayat pertama dalam kitab suci Alquran justru berbunyi:

 

بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ

 

Artinya: “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.”

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala memperkenalkan diri-Nya pertama kali dengan dua sifat “pengasih” dan “penyayang”. Syekh Jum’ah Amin dalam buku Ad-Dakwah Qawaid wa Ushul menegaskan, tidak ada kekerasan dalam syariat dan ajaran Islam kecuali dalam dua hal yaitu saat perang di tengah-tengah musuh (jihad), dan ketika melaksanakan hukuman syar’i bagi pelaku kejahatan (hudud). Bahkan terdapat dua kitab yang menjelaskan tentang kasih sayang Islam dalam peperangan/jihad dan hukuman/hudud; Nabiyur Rahmah karya Muhammad Ali al-Mathori dan Ar-rahmah wal Hudud karangan Nasir Abdul Karim.

 

Hadis yang telah disebutkan di atas tentang cinta sebagai penyempuna iman juga menjadi bukti kuat bahwa Islam bukan agama seperti yang mereka tuduhkan.

 

“Tidak sempurna keimanan seseorang sampai ia mampu mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri,” (HR. Bukhari [13] dari Anas bin Malik RA).

 

Jika kedudukan cinta dan kasih sayang dijunjung sedemikian rupa, lalu masihkah mereka menganggap Islam agama anarkis, Islam agama teroris? Jawabannya tentu tidak. Salah satu guru penulis yang bernama Habib Ali Zainal Abidin al-Jufri menulis sebuah buku yang berjudul “Al-Insaniyah Qabla at-Tadayun” (Meneguhkan Nilai-nilai Kemanusiaan Sebelum Aktivitas Beragama). Dalam karyanya tersebut, Habib Ali memaparkan bahwa, Islam agama yang menempatkan sikap humanisme di posisi atas. Banyak hadis-hadis ketauhidan yang disertai dengan perintah memuliakan dan mencintai antar sesama manusia tanpa melihat status sosial dan latar belakang. Contoh hadis yang dicatat Bukhari dan Muslim dari Anas bin malik r.a di atas. Terdapat juga hadis-hadis lain yang berbicara tentang memuliakan tamu, menghormati tetangga, dan berkata baik yang diawali dengan redaksi keyakinan kepada Allah Swt.

 

Rasulullah Saw. sering mencontohkan kepada kita bagaimana sikap dan ucap yang patut disandang oleh seorang duta Islam.Suatu saat, Rasulullah Saw. duduk bersama para sahabat di masjid. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh seorang Badui yang memasuki masjid dengan untanya. Umar bin Khattab langsung berdiri hendak menebas kepala orang yang tidak mengenal tata karma tersebut. Si Badui itu lalu berteriak dengan jumawa, “Siapa di antara kalian yang bernama Muhammad?” Umar semakin geram dan hampir melemparkan pedangnya. Para sahabat lain saling tatap dan mengisyaratkan untuk meringkus Badui itu, namun Rasulullah Saw. melarangnya, bahkan dengan penuh kelembutan, beliau mendekati orang yang dikelilingi para sahabat itu dan menjawab dengan santun, “Saya yang bernama Muhammad.”

 

Penunggang unta yang tak beradab itu bertanya lagi dengan tangan bersendekap, “Apa benar engkau yang mengajak umat manusia supaya bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan engkau utusan Allah?” “Ya, betul,” jawab Rasulullah Saw. “Apa benar kau memerintahkan salat lima kali sehari semalam? Apa engkau yang menyuruh berpuasa, zakat, dan haji?” celotehnya dengan suara melangit. “Ya, betul saya,” jawab Rasulullah Saw. dengan kesabaran yang sempurna. Si Badui tersebut lalu membalikkan untanya sembari berkata, “Kalau begitu aku ikut memeluk agamamu dan aku akan mengajak seluruh wargaku untuk beriman kepadamu.” Tatkala para sahabat terganggu dengan ulah seseorang dari pegunungan tersebut, justru Rasulullah Saw. meresponnya dengan kelembutan dan kasih sayang. Sikap Rasulullah Saw. inilah yang meyakinkan si Badui bahwa Muhammad benar-benar utusan Allah Swt.

 

Di lain kesempatan, Rasulullah sebagai manusia terbaik sepanjang zaman telah menanamkan cinta dan kasih sayang kepada seluruh sahabat dan pengikutnya. Anas bin Malik r.a. pernah bercerita, suatu ketika ada salah seorang bapak yang sudah beruban. Ia mendatangi majlis Rasulullah Saw. dengan langkah yang lunglai. Lelaki tua tersebut berusaha mendekat ke arah Rasulullah Saw. namun para sahabat tidak memberikan jalan kepadanya. Rasulullah Saw. pun marah dan bersabda, “Orang yang tidak bisa menyayangi generasi muda dan tidak pula menghormati yang lebih tua, maka ia bukan termasuk dari golonganku,” (HR. Tirmidhi [1919]).

 

Teladan yang telah diberikan Rasulullah Saw. tersebut rupanya kurang diperhatikan oleh sebagian umat Islam. Beberapa orang yang mengaku sebagai Muslim terbaik itu justru mencoreng nama Islam dengan tindakan teror dan aksi bom bunuh diri. Pada tahun 2016 saja, tercatat beberapa negara telah menjadi korban kebodohan oknum yang mengatasnamakan Islam tersebut, di antaranya Prancis, Turki, Bangladesh, Afganistan, bahkan Indonesia. Para pelaku teror dan bom itu tidak mempelajari Islam dengan metode dan buku refrensi yang tepat, atau mereka berguru kepada orang-orang yang keliru memahami esensi Islam sehingga paradigma mereka terhadap Islam berbalik 180 derajat dari makna Islam yang sesungguhnya. Pemahaman radikal dengan menampilkan wajah Islam yang keras dan anarkis ini bukanlah ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw.

 

Hakikat Islam yang sesuai dengan ajaran Rasulullah Saw. mulai pudar pada abad 20. Sebagian kelompok yang mengaku Islam tak lagi mementingkan kasih sayang dan rasa kemanusiaan. Beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim mereka hancurkan. Dengan semena-mena mereka tebas kepala orang-orang dewasa, mereka bunuh anak-anak kecil tak berdosa, dan kaum wanita mereka jadikan budak seksual yang nista. Anehnya saat melakukan perbuatan hina tersebut mereka berteriak “Allahu Akbar”.

 

Dari berbagai kisah dan hadis di atas, dapat kita simpulkan bahwa Rasulullah Saw. beragama dengan cinta dan kasih sayang. Rasa welas asih yang dimiliki pemimpin para Nabi itu jauh melampaui kasih sayang yang dimiliki para aktivis humanisme, karena Rasulullah Saw. mampu mendudukkan rasa kasih sayang sesuai dengan porsi yang tepat sehingga sikap beliau tidak berlebihan dan tidak terkesan meremehkan. Kekasih Allah itu mengajarkan kepada umat manusia melalui sikap dan ucapnya, bahwa Islam adalah agama cinta dan kasih sayang. Wallahu A’lam.

 

Penulis adalah Achmad Ainul Yaqin, Pengasuh Pondok Pesantren Tafsir Hadis Shohihuddin 2 Prapen Surabaya.


Keislaman Terbaru