• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Keislaman

Kesalahpahaman Perihal Nafkah Pra Nikah

Kesalahpahaman Perihal Nafkah Pra Nikah
Banyak salah kaprah yang terjadi perihal naskah pra nikah. (Foto: NOJ/teknokrat.ac.id)
Banyak salah kaprah yang terjadi perihal naskah pra nikah. (Foto: NOJ/teknokrat.ac.id)

Perbincangan tentang pernikahan selalu menarik untuk dibahas. Namun, bilamana tidak diimbangi dengan wawasan ilmu pernikahan yang mendalam, maka akan memunculkan kejadian-kejadian aneh yang menyimpang dari syariat.


Salah satu fenomena nyata yang terjadi dan tergolong salah kaprah adalah pemberian nafkah oleh calon suami kepada calon istri yang secara fakta belum ada keabsahan dalam akad nikah, baik secara agama maupun aturan negara. Biasanya hanya bermodalkan cinta, pada akhirnya calon suami dengan suka rela merogoh saku untuk memberikan uang kepada calon istrinya sebagaimana yang dilakukan oleh suami yang telah sah. Ini menjadi problem, pasalnya fenomena ini sering dilakukan, bahkan di kalangan para artis serta marak di kalangan awam demi menjaga kecintaan pasangan.


Lantas, benarkah ada kewajiban nafkah yang harus diberikan kepada calon istri, padahal belum ada ikatan yang sah dalam pernikahan? Bagaimana fikih menyikapi hal tersebut?

 

Kapan Diwajibkan Nafkah?

Nafkah adalah pemenuhan segala kebutuhan yang menjadi tanggungan seseorang, baik berupa sandang, pangan, maupun papan. Sebenarnya, nafkah tidak hanya berlaku pada pasangan suami istri, melainkan ada pula bentuk nafkah dari orang tua kepada anak, nafkah anak kepada orang tua, nafkah kerabat, hingga nafkah budak.


Berdasar konsensus fukaha, kewajiban memberi nafkah ini telah termaktub di dalam al-Qur’an. Di antaranya pada surat Al-Nisa’ ayat 34: 


الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ


Artinya: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) memberikan nafkah dari sebagian harta mereka. (QS. Al-Nisa’: 34)


Ketika nafkah menjadi sebuah kewajiban bagi kaum laki-laki, maka sebenarnya apa saja yang dapat menyebabkan mereka harus memberi nafkah? Al-Khathib al-Syirbini menjelaskan bahwa ada tiga penyebab diwajibkannya nafkah sebagai berikut: 


وَأَسْبَاب وُجُوبِهَا ثَلَاثَةٌ: النِّكَاحُ، وَالْقَرَابَةُ، وَالْمِلْكُ


Artinya: Sebab-sebab diwajibkannya nafkah ada tiga: sebab pernikahan, kekerabatan, dan perbudakan. (Al-Khathib al-Syirbini, Al-Iqna’ fi Hall Alfazh Abi Syuja’, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th], juz 2, halaman:  483)


Jika merujuk pada fenomena yang terjadi, di mana para pasangan telah melangsungkan khitbah, namun pihak laki-laki mengeluarkan biaya sebagai bentuk nafkah pra nikah, maka hal demikian bukan termasuk kewajiban. Bahkan, untuk dapat mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istrinya, ia berada pada posisi tertahan di bawah pengampuan suaminya, sebab yang asalnya masih di bawah pengampuan wali beralih ke pengampuan suami pasca akad nikah. Oleh karena itu, ia berhak atas nafkah dari suami, sebagaimana dinyatakan al-Mawardi berikut: 


وَأَمَّا الْمَعْقُولُ مِنْ مَعَانِي الْأُصُولِ، فَهُوَ أَنَّ الزَّوْجَةَ مَحْبُوسَةُ الْمَنَافِعِ عَلَيْهِ وَمَمْنُوعَةٌ مِنَ التَّصَرُّفِ لِحَقِّهِ فِي الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا، فَوَجَبَ لَهَا مُؤْنَتُهَا وَنَفَقَتُهَا.


Artinya: Adapun dalil rasio dari intisari berbagai dalil adalah bahwasanya seorang istri menjadi tertahan kemanfaatannya (di bawah pengampuan suami) dan menjadi tercegah untuk membelanjakan sesuatu yang menjadi hak suaminya hanya untuk kepentingan dirinya, maka wajib baginya biaya dan nafkah. (Al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, [Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999], juz 11, halaman: 417)


Dari sekian referensi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa calon suami yang belum melangsungkan akad nikah dan dinyatakan sah, maka belum berkewajiban memberi nafkah kepada calon istrinya.


Bagaimana dengan komitmen dalam khitbah, apakah tidak bersifat mengikat? Lantas, apa konsekuensi dari khitbah? Pada dasarnya, khitbah itu sebatas permintaan dari seorang lelaki yang bertujuan untuk menikahi perempuan yang didambakan kepada walinya. Ketika disetujui, maka dapat melanjutkan ke jenjang akad nikah. Dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah Zuhaili menjelaskan tentang konsekuensi khitbah sebagai berikut: 


خَامِسًا: مَا يَتَرَتَّبُ عَلَى الْخِطْبَةِ: الخِطْبَةُ مُجَرَّدُ وَعْدٍ بِالزَّوَاجِ، وَلَيْسَتْ زَوَاجًا، فَإِنَّ الزَّوَاجَ لَا يَتِمُّ إِلاَّ بِانْعِقَادِ اْلعَقْدِ الْمَعْرُوفِ، فَيَظِلُّ كُلٌّ مِنَ الْخَاطِبَيْنِ أَجْنَبِيًّا عَنِ الآخَرِ

 

Artinya: Kelima: Konsekuensi khitbah. Khitbah sendiri hanyalah sebuah janji akan pernikahan, bukan pernikahan itu sendiri, sebab pernikahan tidak akan sempurna tanpa melalui akad yang sah. Oleh karenanya, status dari kedua calon pengantin ini masih berstatus ajnabi (non mahram). (Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Damaskus: Dar al-Fikr, t.th], juz 4, halaman: 9).


Sehingga dari sini jelas sekali bahwa tidak ada ikatan apapun yang berdampak pada pembebanan salah satu pihak, melainkan masih menjadi tanggungan masing-masing individu.

 

Status Barang yang Diberikan kepada Calon Pengantin Wanita

Ketika belum terikat pernikahan secara sah dan resmi, maka barang seserahan tidak dapat distatuskan sebagai nafkah, melainkan sebatas hadiah atau hibah.


Dalam hal ini, bolehkah bagi pihak laki-laki untuk mengambilnya kembali, bilamana hubungan keduanya kandas di tengah jalan? Mengingat bahwa barang tersebut tidak berstatus sebagai nafkah, maka pada dasarnya diperbolehkan bagi pihak laki-laki untuk mengambilnya kembali dengan syarat memang barang tersebut diperuntukkan kepada pihak perempuan untuk kebutuhan pernikahan (li ajli al-nikah). Tetapi, bilamana tidak dimaksudkan demikian atau pihak laki-laki secara tegas menyatakan barang tersebut adalah hadiah, maka hukumnya sama seperti hibah, yakni tidak dapat ditarik kembali. Mari kita simak keterangan dari Sulaiman al-Jamal berikut: 


(فَرْعٌ) سُئِلَ عَمَّنْ خَطَبَ امْرَأَةً ثُمَّ أَنْفَقَ عَلَيْهَا نَفَقَةً لِيَتَزَوَّجَهَا فَهَلْ لَهُ الرُّجُوعُ بِمَا أَنْفَقَهُ أَوْ لَا؟ فَأَجَابَ بِأَنَّ لَهُ الرُّجُوعَ بِمَا أَنْفَقَهُ عَلَى مَنْ دَفَعَهُ لَهُ سَوَاءٌ أَكَانَ مَأْكَلًا أَمْ مَشْرَبًا أَمْ مَلْبَسًا أَمْ حَلْوَى أَمْ حُلِيًّا وَسَوَاءٌ رَجَعَ هُوَ أَمْ مُجِيبُهُ أَمْ مَاتَ أَحَدُهُمَا؛ لِأَنَّهُ إنَّمَا أَنْفَقَهُ لِأَجْلِ تَزَوُّجِهَا فَيَرْجِعُ بِهِ إنْ بَقِيَ وَبِبَدَلِهِ إنْ تَلِفَ وَظَاهِرٌ أَنَّهُ لَا حَاجَةَ إلَى التَّعَرُّضِ لِعَدَمِ قَصْدِهِ الْهَدِيَّةَ لَا لِأَجْلِ تَزَوُّجِهِ بِهَا؛ لِأَنَّهُ صُورَةُ الْمَسْأَلَةِ إذْ لَوْ قَصَدَ ذَلِكَ لَمْ يُخْتَلَفْ فِي عَدَمِ الرُّجُوعِ. اهـ..

 

Artinya: (Cabang masalah): Syekh ditanya tentang seseorang yang melamar perempuan, lalu memberi harta dengan tujuan untuk menikahinya, maka bolehkah baginya untuk menarik kembali barang tersebut? Beliau menjawab: Dia berhak menarik kembali, baik berupa makanan, minuman, pakaian, manisan, atau emas, baik dia sendiri yang menarik, wakilnya, atau memang salah satu dari keduanya telah wafat. Hal ini dikarenakan bahwa barang tersebut diberikan atas dasar keinginan menikahinya, maka boleh menarik kembali bilamana barang masih kondisi utuh. Bilamana dalam kondisi rusak, maka harus diganti. Namun, jelas sekali bahwa tidak ada kebutuhan untuk menjelaskan, karena memang tidak bertujuan sebagai hadiah. Jika bertujuan sebagai hadiah, maka tidak ada khilaf tentang ketidak bolehan menarik kembali barang tersebut. (Sulaiman al-Jamal, Futuhat al-Wahhab bi Taudhih Syarh Fath al-Wahhab, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th], juz 4, halaman: 129).


Dari berbagai keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa status calon pengantin yang belum sah dalam pernikahan, maka belum terbebani kewajiban memberi nafkah. Bilamana terlanjur memberi atas dasar ingin dinikahi, maka boleh bagi pihak laki-laki untuk menarik kembali. Namun, bilamana ditujukan sebagai hadiah, maka tidak boleh ditarik kembali. Wallahu a’lam...

 

*Muhammad Fashihuddin, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Kamal Blitar.


Editor:

Keislaman Terbaru