• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 19 April 2024

Keislaman

Makna di Balik Perintah Mendirikan Shalat

Makna di Balik Perintah Mendirikan Shalat
Mendirikan shalat berbeda dengan hanya mengerjakannya. (Foto: NOJ/UYt)
Mendirikan shalat berbeda dengan hanya mengerjakannya. (Foto: NOJ/UYt)

Banyak yang mempersoalkan. Bagaimana mungkin kaum muslimin diperintah menegakkan shalat, namun dalam kesehariannya ternyata tidak memiliki pengaruh. Perbuatan keji dan munkar masih dilakukan, padahal dalam sehari minimal lima kali mengerjakan shalat. Lantas, apakah ada yang salah dari perintah ini?

 

Seluruh muslim di dunia sepakat tanpa ada perbedaan mengenai kewajiban shalat. Sejak kecil orang tua telah mengajarkan anak-anaknya untuk mendirikan shalat. ‘Wa aqîmus shalata, dan dirikanlah shalat’ sudah lekat di otak kita masing-masing, lantas mengapa Allah SWT menggunakan lafaz aqîmû (dirikanlah) bukan shallû (shalatlah)?

 

Imam Al-Muhasibi mengingatkan dalam kitabnya Risalatul Mustarsyidin sebagai berikut:

 

وَقُمْ بَيْنَ يَدَيْه فِي صَلَاتِكَ جُمْلَةً

 

Artinya: Dirikanlah shalat di hadapan Allah SWT dengan seluruhnya. (Lihat Al-Harits Al-Muhasibi, Risâlatul Mustarsyidin, [Darus Salam], halaman 132).

 

Artikel diambil dariMemahami Shalat Lahir dan Batin

 

Abdul Fattah Abu Guddah memberi penjabaran mengenai nasihat Al-Harits al-Muhasibi di atas. Bahwa yang dimaksud dengan mendirikan shalat seluruhnya adalah, engkau mendirikan shalat dengan seluruh jiwa raga yang terdiri dari jiwa, hati dan akal. Seraya menyempurnakan bentuk dan adab dalam shalat. Maka makna inilah yang dimaksud dari mendirikan shalat.

 

Abdul Fattah Abu Guddah menyebutkan dalam komentarnya atas kitab Al-Muhasibi di atas:

 

 وإقامة الصلاة معناها أداؤها كاملة الأركان والشروط الظاهرة والباطنة

 

Artinya: Mendirikan shalat maknanya adalah melaksanakan secara sempurna rukun-rukun dan syarat-syarat yang lahir dan batin. (Lihat Al-Harits Al-Muhasibi, Risâlatul Mustarsyidin, [Darul Salam], halaman 132).

 

Jika seseorang telah mendirikan shalat dengan makna seperti yang disebutkan di atas, maka shalatnya akan membuahkan hasil. Untuk mendapatkan hasil tersebut, seorang yang mendirikan shalat mesti melengkapi rukun dan syarat yang lahir dan yang batin. Maka perkara lahir yang mesti disempurnakan adalah berupa ketenangan diri dan khusyu di dalam sujud dan ruku. Juga berusaha memahami dan memperhatikan bacaan shalat yang berupa zikir, doa dan yang lainnya.

 

Adapun perkara batin yang harus disempurnakan yaitu menghadirkan rasa takut kepada Allah, dan menghadirkan sifat ihsan ketika shalat. Artinya ia beribadah seakan-akan Allah melihatnya, jika tak bisa juga, maka sesungguhnya Allah melihatnya. Tatkala ia dapat menghadirkan rasa ini, kesibukan apapun takkan terlintas di benaknya, sebab keagungan Allah telah menyelimutinya.

 

Makna shalat inilah yang dimohon pertama kali oleh Nabi Ibrahim dari Allah SWT bagi keluarganya. Bahwa Nabi Ibrahim berdoa:

 

 رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ

 

Artinya: Ya Tuhanku, Jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan Kami, terimalah doaku. (Surat Ibrahim ayat 40).

 

Begitu pula Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengajak keluarganya mendirikan shalat dengan makna seperti di atas, serta sabar menghadapi kesulitan dalam melaksanakannya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:

 

 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى

 

Artinya: Perintahkanlah keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa. (Surat Thaha ayat 132).

 

Sebagaimana disebutkan di atas, shalat yang sempurna akan membuahkan hasil. Di antara hasil shalat yang baik adalah tercegahnya seseorang dari kelakuan maksiat dan buruk. Allah menyebutkan dalam Al-Qur`an:

 

 وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

 

Artinya: Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadah-ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Surat Al-Ankabut ayat 45).

 

Begitu pula, ia akan tahan dari cobaan yang menerpanya, serta menghalau segala masalah dengan hati yang tenang. Disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 153:

 

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

 

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Surat Al-Baqarah ayat 153).

 

Dan masih banyak nilai berharga yang didapatkan dari shalat yang sempurna. Maka jangan heran jika banyak orang bertanya: Mengapa orang Islam shalat lima waktu namun tidak semua dari mereka baik perangai dan perbuatannya? Jawabannya karena mereka melaksanakan shalat masih berupa amalan lahirnya, belum mendirikan shalat yang sesungguhnya sebagaimana yang dijelaskan di atas.

 

Semoga kita dapat mengamalkan shalat di setiap detik kehidupan. Agar ibadah lima waktu yang dikerjakan setiap hari memiliki buah yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain, di dunia maupun akhirat, amin.


Editor:

Keislaman Terbaru