• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 25 April 2024

Keislaman

Mencicipi Makanan saat Berpuasa, Bagaimana Hukumnya?

Mencicipi Makanan saat Berpuasa, Bagaimana Hukumnya?
Chef perempuan sedang mempersiapkan makanan (Foto: NOJ/Jabinhopkins)
Chef perempuan sedang mempersiapkan makanan (Foto: NOJ/Jabinhopkins)

Membicarakan puasa tentu tidak bisa dilepaskan dari buka dan sahur, sebab kedua aktivitas tersebut menjadi bagian tak terpisah selama melaksanakan ibadah puasa. Buka sebagai penanda rampungnya puasa, sahur sebagai penanda untuk memulai berpuasa.
 

Bagi mereka yang berpuasa ketika menjelang bedug maghrib biasanya tertantang mencoba aneka masakan untuk dijadikan santapan berbuka, bahkan kadang harus mencicipi terlebih dahulu. Khususnya kaum ibu yang berjibaku di dapur seolah wajib hukumnya mencicipi sebelum disuguhkan sebagai menu buka puasa.
 

Muncul pertanyaan, bagaimana hukumnya mencicipi makanan bagi mereka yang berpuasa? Apakah tidak membatalkan puasa? Sampai mana batasannya?
 

Jika mengacu pada perkataan Ibnu Abbas di bawah ini, maka boleh untuk mencicipi makanan dalam keadaan berpuasa:
 

عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ، قالَ: لا بَأْسَ أنْ يَذُوقَ الخَلَّ أوِ الشَّيْءَ، ما لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وهُوَ صائِمٌ
 

Artinya: Diriwayatkan dari Ibn Abbas, ia berkata, tidak masalah apabila seseorang yang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu selama tidak masuk kerongkongan/memakan. (Musannaf Ibn Abi Syaibah, juz 2, halaman: 304)
 

 

Syekh Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawi dalam kitabnya Hasyiyatusy Syarqawi ‘ala Tuhfatith Thullab menyebutkan:
 

وذوق طعام خوف الوصول إلى حلقه أى تعاطيه لغلبة شهوته ومحل الكراهة إن لم تكن له حاجة ، أما الطباخ رجلا كان أو امرأة ومن له صغير يعلله فلا يكره في حقهما ذلك قاله الزيادي 
 

 

Artinya: Di antara sejumlah makruh dalam berpuasa ialah mencicipi makanan karena dikhawatirkan akan mengantarkannya sampai ke tenggorokan. Dengan kata lain, khawatir terlanjur tertelan masuk, lantaran sangat dominannya syahwat (untuk makan). Kemakruhan itu sebenarnya terletak pada tidak adanya hajat tertentu dari orang yang mencicipi makanan itu. Beda hukumnya bila tukang masak dan orang yang masak untuk menyuapi anak kecilnya yang sedang sakit, maka mencicipi makanan tidaklah makruh. Demikian penuturan Az-Zayadi.
 

Tapi bagaimana caranya agar tidak terlanjur memakannya? Caranya bisa dengan meletakkan makanan di ujung lidahnya, dirasakan sebentar, kemudian dikeluarkan/diludahkan tanpa ada yang ditelan sedikit pun.
 

Dengan demikian, mencicipi makanan hukumnya makruh bagi mereka yang tidak memiliki kepentingan. Tidak makruh bagi tukang masak yang memiliki kepentingan untuk disuguhkan sebagai jamuan berbuka puasa, atau orang yang memasakkan anak kecilnya yang sedang sakit. Wallahu a'lam.


Editor:

Keislaman Terbaru