• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Keislaman

Menjadi Baper Pada Rasulullah

Menjadi Baper Pada Rasulullah
Mencintai Rasulullah adalah bagian dari keimanan (Foto:NOJ/pinterest)
Mencintai Rasulullah adalah bagian dari keimanan (Foto:NOJ/pinterest)

Saat Nabi Muhammad SAW memilih gua Tsur sebagai tempat persembunyian dari kejaran orang-orang Kafir Mekkah, Abu Bakar As-Shiddiq melarang Nabi memasuki gua tersebut terlebih dahulu. Ayah Aisyah itu ingin memastikan tidak ada yang membahayakan keselamatan Nabi di dalam gua. Ia masuk ke gua sempit itu, membersihkannya, dan menutup seluruh lubang yang ada di dalamnya, lalu mempersilahkan Nabi untuk masuk dan beristirahat di dalam gua.


Abu Bakar menyerahkan pahanya untuk dijadikan bantal tidur Nabi Muhammad SAW malam itu. Nabi pun tertidur dengan rasa kantuk dan lelah yang mendera. Sewaktu keduanya terlelap, tiba-tiba Abu Bakar dikagetkan dengan keluarnya seekor binatang buas dari lubang gua yang belum ditutupnya. Dengan sigap dan tanpa pikir panjang, Sahabat sekaligus mertua Nabi itu menutup lubang bahaya tersebut dengan kakinya. Bukan keselamatan yang ia dapat, justru patokan hewan berbisa menjadi konsekuensi baginya.


Wajah Abu Bakar membiru. Ia mencoba menahan rasa sakit yang maha dasyat itu sekuat mungkin. Tangan kirinya mencekeram batu di dekatnya dengan erat, sedang tangan kirinya mencakar dinding gua. Kakinya tak bergeser sedikit pun, takut mengganggu istirahat Nabi yang sedang dalam puncaknya. Meski demikian, nafas Abu Bakar terengah-engah, air matanya tak mampu dibendung, menetes, membasahi pipi indah Nabi Muhammad SAW.


Nabi pun terbangun, melihat air membanjiri mata sahabatnya.


Mengapa engkau menangis, Wahai Abu Bakar?” tanya Nabi.
Maafkan hamba, Wahai Rasul. Hamba telah mengusik istirahat anda,” jawab Abu Bakar dengan suara yang memberat.
Abu Bakar, ada apa dengan kakimu?,”
Kaki hamba tersengat saat anda sedang terlelap. Hamba tak kuasa menahan rasa sakit itu,”


Tanpa diminta, Nabi segera mengusap kaki Abu Bakar dan mendoakan kesembuhan. Allahu Akbar, dengan izin Allah kaki Abu Bakar seketika seperti sediakala, tidak lagi sakit dan tidak menyisakan bekas luka apapun.


Pengorbanan Abu Bakar di dalam gua Tsur di atas adalah bukti cinta yang sesungguhnya. Kecintaan Abu Bakar yang begitu membuncah dan tanpa alasan kepada Nabi Muhammad SAW, mendorongnya memastikan gua dalam keadaan aman.
 

Tak cukup di situ, ia bahkan menahan rasa perih yang hebat meskipun tak mampu mengalahkannya. Abu Bakar telah mengajarkan generasi setelahnya, bagaimana semestinya membuktikan cinta Rasul bukan hanya dengan kata-kata.


Perasaan Abu Bakar kepada Nabi ini juga dimiliki oleh Tsauban, pelayan Nabi, hingga sebuah ayat Al-Quran turun menjawab kegelisahan hatinya, yang artinya:


“Orang-orang yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka akan bersama golongan yang diberi kenikmatan Allah, yaitu para Nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang mati syahid, dan orang-orang salih. Mereka adalah teman-teman yang terbaik di akhirat,” (QS. An-Nisa: 69)


Ahli tafsir terkemuka, Al-Zamakhsyari mengungkapkan dalam kitab tafsirnya Al-Kasysyaf, ayat di atas menghapus air mata Tsauban. Suatu saat ia mendatangi Nabi dengan kepala membungkuk dan wajah mendung. Badannya semakin tipis, kurus tak terurus.


Setelah ditanya Nabi, Tsauban menjawab dengan suara parau, “Wahai Rasul, aku tidak sedang sakit ataupun kelaparan. Hanya saja beberapa hari ini aku tidak memandang wajah Paduka, rasa rinduku ini memberontak, lari ingin bertemu Paduka. Lalu aku berpikir, kelak di akhirat mana mungkin bisa bersama Paduka, sedangkan hamba manusia biasa sedang Paduka seorang Nabi. Meskipun kelak di surga, hamba tak bisa menikmati hidangan surga bersama Paduka sebab Paduka sedang asyik menikmatinya bersama para Nabi lainnya.” Tak lama berselang, ayat 69 surat An-Nisa turun merespon kekhawatiran Tsauban.


Di dunia, tubuh Tsauban mengering layu dalam hitungan hari setelah tak menatap wajah indah Nabi. Kesusahannya semakin bertumpuk saat ia sadar siapa dirinya dan bagaimana kedudukan Nabi di akhirat. Meskipun Tsauban sosok yang tak begitu terpandang di bumi, namun hatinya seakan mengalahkan malaikat langit dalam urusan rindu dan cinta Rasul. Allahu Akbar, Allahumma Sholli wa Sallim ‘Ala Nabiyina Muhammad wa ala alihi.


Ayat di atas tidak hanya menjadi penyeka air mata Tsauban saja, namun juga menjadi kabar gembira bagi orang-orang yang tidak pernah bertemu Nabi, menatap wajahnya, duduk bersamanya. Mereka tak perlu berkecil hati karena kelak mereka bisa menikmati hidangan surga dengan Nabi dan para nabi, para pegiat kebenaran, orang-orang yang meninggal di jalan Allah, dan kelompok orang saleh. 


Tentu kesempatan emas berkumpul dengan orang-orang pilihan Allah itu dapat diraih dengan mematuhi perintah Allah dan Nabi, serta menjauhi larangan keduanya. Meskipun tidak semua penduduk surga berada dalam satu tingkatan atau level surga, namun mereka bisa saling mengunjungi dan bertemu satu sama lain. Empat golongan dalam ayat tersebut akan menjadi teman terbaik orang-orang yang sungguh-sungguh tunduk dan mencintai Allah dan Nabi.


Malaikat Jibril AS juga memiliki kecintaan yang luar biasa kepada Nabi. Seolah tak mau kalah dengan para Sahabat yang setiap hari bertemu Nabi, Malaikat Jibril pernah berhari-hari menahan rindunya kepada Nabi. Dalam Tafsir Mafatihul Ghaib, dikisahkan suatu ketika Nabi Muhammad SAW tidak mendapatkan wahyu beberapa hari.


Tentu kesedihan yang begitu mendalam menerpa wajah Nabi. Setelah cukup lama tidak datang, akhirnya Malaikat Jibril menjejakkan kakinya di rumah Nabi.


Sungguh, aku merindukanmu, wahai Jibril, lama sekali kau tak mendatangiku,” ungkap Nabi.
Mohon maaf, Nabi. Aku hanyalah hamba yang harus patuh terhadap perintah Allah. Sungguh, rinduku pada paduka lebih besar dari rindu paduka kepadaku. Andaikan perintah Allah boleh dilanggar, tentu aku akan memilih bersamamu setiap saat,” balas Malaikat Jibril.


Ucapan Malaikat Jibril tersebut merupakan sebuah ungkapan rasa cinta yang sangat dalam. Ia rela menahan cinta dan rindu kepada Nabi dalam rangka mematuhi perintah Allah. Momentum yang paling indah Malaikat Jibril adalah membawa wahyu dan bertemu Nabi Muhammad SAW. Sudahkah Abu Bakar As-Shiddiq, Tsauban, dan Malaikat Jibril membuat kita cemburu? Atau hati kita tidak tersentuh dengan kisah mereka sama sekali? Jika benar hati kita tidak tersentuh, masihkah kita pantas mengharap surga? 


Cinta Allah dan Nabi Muhammad dapat memuluskan jalan seseorang menuju surga seperti kisah seorang Arab pedesaan yang memberanikan diri bertanya,


" Wahai Rasulullah kapan hari kiamat datang?
“Apa yang sudah kamu siapkan jika hari kiamat terjadi saat ini?,
” tanya Nabi kepadanya.
Tidak ada yang bisa aku siapkan untuk menjemput hari kiamat selain cintaku kepada Allah dan Rasul-Nya,” jawab lelaki itu.
Jika begitu, kamu akan bersama orang yang kamu cintai,” ucap Nabi mengapresiasi jawaban brilian Sahabat itu.


Anas bin Malik yang menceritakan kisah tersebut merasakan kegembiraan yang luar biasa. Ia mengatakan, “Kami sangat bahagia mendengar kalimat terakhir Rasulullah itu, “Kamu bersama orang yang kamu cintai”. Aku cinta Rasulullah, Abu Bakar, Umar. Dengan cintaku ini, aku berharap kelak bersama mereka di surga, meskipun perbuatanku jauh tidak seperti kebaikan mereka.”


Cerita orang Arab badui tersebut juga tertulis dalam Sahih Muslim. Oleh karenanya Al-Nawawi memberikan kesimpulan cantik dan pelajaran menarik yang bisa dipetik dari hadis di atas. Ia menjelaskan, hadis yang diceritakan Anas bin Malik itu menunjukkan betapa istimewa dan luar biasa seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dengan syarat tetap melaksanakan perintah dan menjauhi larangan keduanya.


Cinta kepada Rasulullah akan mengantarkan cinta kepada Allah. Cinta kepada Allah dan Rasulullah akan menjadikan pemiliknya benar-benar mentaati perintah dan meninggalkan larangan keduanya. Semoga dengan kisah-kisah di atas, penulis dan pembaca menjadi BAPER; yang tidak hanya terbawa perasaan cinta tapi juga menjadi Barisan Pecinta Rasulullah.


Referensi:
[1] Muhammad bin Abdillah Al-Khatib Al-Umari, Misyhatu Al-Mashabih (Beirut: Maktabah Al-Islami, 1985), vol. 3, hlm. 1700. [2] Mahmud bin Amr Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamidh Al-Tanzil (Beirut: Darul Kitab Al-Arabi, 1407 H), vol.1, hlm. 531. [3] Wahbah bin Mustafa Al-Zuhaili, Tafsir Al-Munir fi Al-Aqidah wa Al-Syariah wa Al-Manhaj (Damaskus: Darul Fikr Al-Muashir, 1418 H), vol.5, hlm. 147. [4] Muhammad bin Umar bin Hasan Fakhrurozi, Mafatihul Ghaib (Beirut: Dar Ihya At-Turast Al-Arabi, 1420 H), vol. 31, hlm. 193. [5] Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari (t.t: Dar Thuq Al-Naja, 1422 H), vol. 5, hlm. 12. [5] Yahya bin Syarof Al-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Sahih Muslim bin Al-Hajjaj (Beirut: Dar Ihya At-Turast, 1392), vol. 16, hlm. 186.


Keislaman Terbaru