• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 18 April 2024

Keislaman

Pandangan Ulama Fiqih terhadap Hukum Membunuh Serangga

Pandangan Ulama Fiqih terhadap Hukum Membunuh Serangga
Serangga. (Foto: NOJ/kompas)
Serangga. (Foto: NOJ/kompas)

Di dunia ini manusia hidup berdampingan dengan seluruh makhluk hidup, salah satunya hewan kecil seperti semut, kumbang, belalang, dan sejenisnya. Terkadang hewan ini mengganggu manusia. Di saat manusia tersakiti, tentunya akan reflek menggebuk salah satu anggota tubuh yang digigit, sehingga hewan itu mati.

 

Lalu, pernah kah seseorang memikirkan hukum membunuh serangga? Ulama fiqih Wazzaratu Al-Auqaf menjelaskan dalam kitab Al-Mausuu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah 17/283.

 

مَا يُكْرَهُ قَتْلُهُ مِنَ الْحَشَرَاتِ :

كَرِهَ الشَّارِعُ قَتْل بَعْضِ الْحَشَرَاتِ كَالضُّفْدَعِ لِمَا رَوَى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عُثْمَانَ قَال : ذَكَرَ طَبِيبٌ عِنْدَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَوَاءً ، وَذَكَرَ الضُّفْدَعَ يُجْعَل فِيهِ ، فَنَهَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْل الضُّفْدَعِ.وَقَال صَاحِبُ الآْدَابِ الشَّرْعِيَّةِ ظَاهِرُهُ التَّحْرِيمُ.

 

Artinya: Syariat agama melarang membunuh sebagian jenis binatang seperti katak. Berdasarkan riwayat dari Abdur Rahman bin Utsman yang menyebutkan, seorang tabib menjelaskan obat di sisi Rasulullah SAW adalah katak. Kemudian Rasulullah melarang membunuh katak. Bahkan pengarang kitab ‘Adaab Asy-Syar’iyyah’ cendurung memilih hukum haram.

وَكَرِهَ قَتْل النَّمْل وَالنَّحْل ، لِمَا رَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَال : نَهَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْل أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ : النَّمْلَةُ ، وَالنَّحْلَةُ ، وَالْهُدْهُدُ ، وَالصُّرَدُ.

 

Artinya: Makruh hukumnya membunuh semut dan lebah berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbas RA. “Rasulullah SAW melarang membunuh empat binatang, semut, lebah, burung hudhud dan burung shurrod.” (HR. Abu Daud Vol. 418-419)

وَاسْتَثْنَى الْفُقَهَاءُ النَّمْل فِي حَالَةِ الأَْذِيَّةِ ، فَإِِنَّهُ حِينَئِذٍ يَجُوزُ قَتْلُهُ 

 

Artinya: Para ulama fiqih membatasi pelarangan hukum membunuh binatang semut di atas terhadap semut yang menyakiti. Mereka menyatakan dalam kondisi semacam ini semut boleh dibunuh.

وَفَصَّل الْمَالِكِيَّةُ ، فَأَجَازُوا قَتْل النَّمْل بِشَرْطَيْنِ : أَنْ تُؤْذِيَ ، وَأَنْ لاَ يَقْدِرَ عَلَى تَرْكِهَا ، وَكَرِهُوهُ عِنْدَ الإِِْذَايَةِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى تَرْكِهَا ، وَمَنَعُوهُ عِنْدَ عَدَمِ الإِِْذَايَةِ ، وَلاَ فَرْقَ عِنْدَهُمْ فِي ذَلِكَ بَيْنَ أَنْ تَكُونَ الإِِْذَايَةِ فِي الْبَدَنِ أَوِ الْمَال .

Artinya: Kalangan mazhab Malikiyah merinci bolehnya membunuh semut dengan dua ketentuan, yaitu saat ia menyakiti dan tidak mampu dihindari. Mereka memakruhkan membunuhnya bila masih mampu dihindari dan mengharamkan membunuhnya saat semutnya tidak menyakiti baik menyakiti pada tubuh atau harta.

 

Pandangan ulama fiqih di atas memberikan penjelasan pada umat Islam bahwa Rasulullah menghindari membunuh semut. Berbeda dengan pandangan ulama fiqih yang memperbolehkan seseorang membunuh semut jika benar-benar tersakiti. 

 

Anjuran nabi ini dipraktikkan oleh masyayikh pesantren Sidogiri Pasuruan. Di mana salah satu kebiasaannya adalah menaruh tadah gelas yang berisi gula. Beliau lakukan untuk memberi makan semut. Bahkan ulama-ulama alim di zaman dulu, ketika seekor semut ada di pakaiannya, pasti kembalikan lagi ke tempat tinggalnya atau tempat semula semut hinggap di pakaiannya.

 

Berangkat dari kisah ini, Syekh Sulaiman Al-Jamal memperinci lagi hukum ini di dalam kitab Hasyiyah Al-Jamal 5/273.

 وَقَسَمَ الشَّافِعِيَّةُ الْحَشَرَاتِ إِِلَى ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ :

الأَْوَّل : مَا هُوَ مُؤْذٍ مِنْهَا طَبْعًا ، فَيُنْدَبُ قَتْلُهُ كَالْفَوَاسِقِ الْخَمْسِ ، لِحَدِيثِ عَائِشَةَ قَالَتْ : أَمَرَ الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَتْل خَمْسِ فَوَاسِقَ فِي الْحَرَمِ : الْحِدَأَةُ ، وَالْغُرَابُ ، وَالْفَأْرَةُ ، وَالْعَقْرَبُ ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ وَأُلْحِقَ بِهَا الْبُرْغُوثُ وَالْبَقُّ وَالزُّنْبُورُ ، وَكُل مُؤْذٍ .

الثَّانِي : مَا يَنْفَعُ وَيَضُرُّ فَلاَ يُسَنُّ قَتْلُهُ وَلاَ يُكْرَهُ .

الثَّالِثُ : مَا لاَ يَظْهَرُ فِيهِ نَفْعٌ وَلاَ ضَرَرَ كَالْخَنَافِسِ ، وَالْجُعْلاَنِ ، وَالسَّرَطَانِ فَيُكْرَهُ قَتْلُهُ .

 

Artinya: Kalangan Syafi’iyah membagi binatang serangga menjadi tiga bagian.

1. Binatang yang perangainya memang menyakiti, maka sunnah membunuhnya seperti binatang fawaasiq yang lima. Sebagaimana berdasarkan hadits yang diriwayatkan Sayyidah ‘Aisyah RA. "Rasulullah SAW memerintahkan membunuh binatang ‘fawaasiq’ yang lima di tanah haram, yaitu burung rajawali, burung gagak, tikus, kalajengking dan anjing buas." Disamakan hukumnya, nyamuk, kutu, kumbang besar dan setiap binatang yang menyakiti.

 

2. Binatang yang bermanfaat tapi membahayakan maka membunuhnya tidak sunnah dan tidak makruh (boleh).

 

3. Binatang yang tidak tampak manfaat dan bahayanya seperti kumbang besar dan kepiting hitam maka makruh membunuhnya.

وَيَحْرُمُ عِنْدَهُمْ قَتْل النَّمْل السُّلَيْمَانِيِّ ، وَالنَّحْل وَالضُّفْدَعِ ، أَمَّا غَيْرُ السُّلَيْمَانِيِّ ، وَهُوَ الصَّغِيرُ الْمُسَمَّى بِالذَّرِّ ، فَيَجُوزُ قَتْلُهُ بِغَيْرِ الإِِْحْرَاقِ ، وَكَذَا بِالإِِْحْرَاقِ إِنْ تَعَيَّنَ طَرِيقًا لِدَفْعِهِ .

 

Artinya: Menurut kalangan Syafiiyyah haram hukumnya membunuh semut Sulaimany, lebah dan katak, sedangkan selain semut ‘Sulamany’ boleh dibunuh dengan cara tidak membakarnya. Namun bila membakar adalah jalan satu-satunya hukumnya juga boleh.

 

Pada dasarnya seseorang boleh membunuh serangga, asalkan menggunakan cara yang baik. Membunuh dengan cara yang baik menandakan bahwa cara yang dilakukan tidak mengandung unsur penyiksaan.


Keislaman Terbaru