• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 27 April 2024

Keislaman

Polemik Penggunaan Pengeras Suara di Bulan Ramadhan Menurut Hukum Islam

Polemik Penggunaan Pengeras Suara di Bulan Ramadhan Menurut Hukum Islam
Tampak petugas masjid memperbaiki pengeras suara (Foto:NOJ/majalahaula)
Tampak petugas masjid memperbaiki pengeras suara (Foto:NOJ/majalahaula)

Oleh: Muhammad Nurravi Alamsyah*


Syiar agama merupakan sebuah amaliyah yang harus disemarakkan oleh segenap umat Islam. Dalam praktiknya, tentu cara menyemarakkan syiar agama memiliki ketentuan-ketentuan tertentu, karena pada realitanya tidak hanya bertautan dengan hubungan vertikal saja, melainkan juga horizontal. 


Umat Islam, hampir pada setiap tahunnya akan dihadapkan dengan persoalan dilematis tentang regulasi yang bersinggungan dengan syiar agama, yaitu aturan tentang penggunaan pengeras suara. Tepatnya, aturan atau pedoman tentang pengeras suara di masjid dan musala telah di atur dalam Surat Edaran No. SE. 05 tahun 2022. Poin vital yang menjadi sorotan dan memantik reaksi sebagian umat Islam adalah pada poin C ayat 1 yang berbunyi: "penggunaan pengeras suara di bulan Ramadan baik dalam pelaksanaan Salat Tarawih, ceramah/kajian Ramadan, dan tadarrus Al-Qur’an menggunakan Pengeras Suara Dalam."


Sebelumnya, dalam surat edaran tersebut juga telah diklasifikasikan tentang pengeras suara dalam dan pengeras suara luar, tepatnya pada ketentuan umum nomor 1 yang berbunyi: "Pengeras suara dalam merupakan perangkat pengeras suara yang difungsikan/diarahkan ke dalam ruangan masjid/musala. Sedangkan pengeras suara luar difungsikan/diarahkan ke luar ruangan masjid/musala".


Tidak heran, jika kebijakan tersebut akan mempolarisasi masyarakat dalam tatanan sosial secara dikotomis. Sebagian kelompok yang antusias memilih untuk menolak kebijakan tersebut. Mereka berdalih, bahwa penggunaan pengeras suara di masjid atau musala dalam konteks spiritual merupakan bagian syiar agama yang perlu untuk dipupuksuburkan, terlebih di bulan Ramadhan; bulan yang datangnya satu tahun sekali, di mana seharusnya dapat menjadi momentum untuk proaktif dalam mengimplementasikan serumpun ibadah secara optimal.


Kelompok yang kontra terhadap kebijakan ini berpandangan, bahwa pemerintah telah mengintervensi secara eksesif. Mereka berasumsi, bahwa tadarus, ceramah/kajian ramadhan/shalat tarawih merupakan salah satu manifesto dari syiar agama, sehingga tidak seharusnya untuk dibatasi seperti demikian. Jika menggunakan pengeras suara dalam, maka syiar tersebut tidak akan terealisasi dengan maksimal.


Berbeda dengan sebagian kelompok moderat yang menerima kebijakan tersebut. Mereka beropini, bahwa kebijakan pemerintah pada dasarnya tidak hanya asbun "asal bunyi". Tentu sekelas lembaga otoritatif keagamaan pasti telah menggodok regulasi tersebut dengan matang dan akuntabel, baik dari sisi ontologis, epistemologis, maupun aksiologis.


Pemerintah juga tidak sepenuhnya melarang penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. Pemerintah hanya mengatur, bagaimana pemakaian pengeras suara itu lebih adaptable dan bijak untuk digunakan; kapan waktunya menggunakan pengeras suara luar dan kapan menggunakan pengeras suara dalam.


Berbicara tentang kajian hukum agama, sebetulnya Islam telah mengatur secara lugas bagaimana rangkaian ibadah umat Islam dapat berjalan secara simetris dan terkoneksi secara masif antara habl min Allah dan habl min al-nas. Sebab, Islam bukanlah agama yang egois dan apatis; yang hanya mementingkan relasi vertikal.


Secara tegas, Islam juga mengatur bagaimana cara membangun relasi sosial secara etis dengan baik antar sesama manusia. Bukti keramahan Islam telah tertuang dalam firman Allah dalam QS. Al-Nisa: 36;


وَاعْبُدُواْ اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا


Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu."


Menyoal tentang pedoman pengeras suara, sebetulnya misi akbar yang tersemat dalam surat edaran tersebut adalah "agar tidak menimbulkan potensi gangguan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga masyarakat". [Pendahuluan SE. 5 Tahun 2022] Dengan konstruk legal reasoning seperti itu, lahirlah dorongan inisiatif pemerintah untuk perlunya seperangkat regulasi tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. 


Secara epistemologis, dalam persoalan volume suara, Islam telah mengajarkan bagaimana cara bersimpati dan toleransi terhadap situasi dan kondisi orang lain, sekalipun dalam keadaan beribadah menghadap Tuhan. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Isra’:110;


وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وابتغ بَيْنَ ذلك سَبِيلاً


Artinya: “Janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam salat dan janganlah pula merendahkannya. Usahakan memilih jalan tengah di antara keduanya itu”


Ayat di atas menyematkan pesan berupa peringatan bagi qurra’ (para pembaca Alquran atau lainnya) agar dalam mengejawantahkan syiar agama tetap dalam proporsinya, yaitu tidak berlebihan dalam mengeraskan suara (sampai pada taraf sangat keras) sehingga berpotensi menggelisahkan dan mengganggu orang sekitar. Sebab pada prinsipnya, Allah tidak menginstruksikan semuanya agar dikeraskan suaranya, melainkan dengan cara yang proporsional. [Mutawalli al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi, 4550/8]


Selain Alquran, juga terdapat dalil transendental lain berupa hadis yang memiliki titik taut dalam pembahasan ini;


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَلَى النَّاسِ وَهُمْ يُصَلُّونَ. وَقَدْ عَلَتْ أَصْوَاتُهُمْ بِالْقِرَاءَةِ، فَقَالَ: «‌إِنَّ ‌الْمُصَلِّيَ ‌يُنَاجِي ‌رَبَّهُ، ‌فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيهِ بِهِ، وَلَا يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ 


Artinya: “Rasulullah Saw. pernah keluar menemui orang-orang yang sedang salat di mana pada saat itu mereka mengeraskan suaranya. Lantas Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya orang yang salat itu sedang bermunajat kepada Tuhannya. Maka perhatikanlah apa yang dimunajatkan. Dan janganlah sebagian kalian mengeraskan bacaan Alquran kepada sebagian yang lain”. [Malik bin Anas, al-Muwattha’, 80/1, No. 29]


Orientasi hadis di atas adalah larangan untuk mengeraskan suara, baik dalam salat maupun di luar salat. Rasionalisasi larangan tersebut adalah, karena saat mengeraskan suara (dengan keras), maka akan berpotensi mengganggu (tasywis) terhadap orang sekitar.


Dengan demikian, jika umat Islam dilarang menyakiti atau mengganggu orang lain (sebab mengeraskan suara), sekalipun dalam amal kebaikan dan ibadah, maka jelas aktivitas lain yang bukan bernuansa ibadah larangan tersebut lebih dikukuhkan. [Ibn Abd al-Barr, al-Tamhid, 319/23]


Dalam kaidah fikih yang popular, implisitas surat edaran tersebut juga sejalan dengan spirit adagium; "Dar al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-masalih", bahwa menolak kemudaratan harus diprioritaskan ketimbang menarik kemaslahatan. Artinya, menepis segala sesuatu yang bermuara pada mudarat terhadap orang lain sebab pengeras suara, misalnya, itu harus diutamakan.


Hal ini senada dengan argumentasi ulama kenamaan Sunni Arab, Sayyid Alawi al-Maliki:
 

والشرع مبني على درء المفاسد وجلب المصالح، ألا ترى أن مكبر الصوت هذا لو وقع فيه خلل وتشويش يجب إغلاقه لفوات المقصود منه


Artinya: “Syariat Islam dibangun atas dasar menolak mafsadat dan mendatangkan kemaslahatan. Ingatlah, bahwa penggunaan pengeras suara ini, andaikan dalam penggunaannya terdapat kerusakan dan gangguan terhadap orang lain, maka wajib dihentikan (dilarang), sebab tujuan utamanya justru terabaikan (dengan timbulnya mudarat).” [Alawi al-Maliki al-Hasani, Majmu’ Fatawa wa Rasail, 174].


Secara ontologis, pengeras suara merupakan bentuk anugerah yang kaya akan faidah dari Allah Swt. Hanya saja, bentuk aplikatif atas nikmat ini bukan saja tanpa patokan. Umat Islam harus bijak dalam pemanfaatan pengeras suara.  Secara eksplisit, persoalan ini telah disampaikan oleh Habib Zayn dalam karya akbarnya sebagai berikut;


ان الميكروفون من نعم الله تعالى علينا فان الوسائل لها حكم المقاصد وهو سلاح ذو حدين فقد يستخدم في الخير او في الشر لكن ينبغي استخدامه فيما شرع فيه رفع الصوت كالاذان فلا حرج في الاذان بالميكروفون و بسماعاته الداخلية و الخارجية اما ما عداه فيجب الاقتصار على السماعات الداخلية فقط


Artinya: "Mikrofon (Pengeras suara) merupakan salah satu nikmat Allah Swt. yang dilimpahkan kepada kita. Bahwa sarana mempunyai hukum sama dengan tujuannya. Pengeras suara itu ibarat pedang bermata dua; ia dapat digunakan untuk kebaikan dan juga keburukan. Hendaknya, pengeras suara digunakan sesuai dengan pedoman yang ada dalam mengeraskan suara, seperti azan. Maka tidak masalah jika mengumandangkan azan dengan pengeras suara dalam dan luar. Adapun selain azan, maka semestinya harus dibatasi pada pengeras suara dalam saja." [Habib Zayn bin Muhammad al-’Idrus, ‘Ilam al-Khas wa al-‘Am bi Anna Iz’aj al-Nas bi al-Mikrufun Haram, 31]


Seharusnya, penggunaan pengeras suara di masjid dan musala sebagai media syiar digunakan secara proporsional. Meskipun dalam rangka menyemarakkan bulan Ramadhan sebagai representasi syiar agama, yang tidak boleh dilupakan adalah komitmen dalam menjaga batasan norma dan moral terhadap masyarakat sekitar. 


Sejalan dengan orientasi surat edaran di atas, secara aksiologis, bahwa aksentuasi dari pedoman tentang pengeras suara adalah supaya menegasikan segala potensi timbulnya mudarat terhadap masyarakat sekitar. Pasalnya, yang marak terjadi di masyarakat adalah tadarus Alqur’an dengan pengeras suara luar hingga larut malam.


Hal ini tentu akan sangat berpotensi mengganggu istirahat dan menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi masyarakat. Sebab pada dasarnya, malam adalah masa yang diciptakan untuk relaksasi dan istirahat, selepas bekerja keras atau menuntut ilmu mulai pagi hingga siang atau sore, atau bahkan sampai malam.
 

Ditambah mereka yang muslim harus bangun lagi di sepertiga malam untuk sahur, dan paginya mereka memulai aktivitas lagi. Belum lagi dengan masyarakat non-muslim, yang bisa saja ritual ibadah mereka terinterupsi dengan suara yang keras dan lama di masjid atau musala.


Jika demikian, maka fungsi pengeras suara luar tidak lagi menjadi ajang amal positif, justru menimbulkan polemik yang serius. Sebab dalam praktiknya tidak dapat merefleksikan nilai kebaikan, namun menimbulkan mudarat. Merespon fakta demikian Habib Zayn menyadurkan hukum pengeras suara sebagai berikut:


ان استخدام الميكروفون بسماعاته الخارجية باستثناء الاذان ان حصل به ازعاج للمسلمين او اذيتهم او ضرر بهم حرام شرعا وان تأذى به قليل من المسلمين 


Artinya: "Menggunakan mikrofon dengan pengeras suara luar, kecuali untuk azan, jika menimbulkan ketidaknyamanan, kerugian, atau memperburuk keadaan bagi umat Islam maka hukumnya haram menurut hukum Islam, meskipun yang dirugikan adalah minoritas.” [Habib Zayn bin Muhammad al-’Idrus, ‘Ilam al-Khas wa al-‘Am bi Anna Iz’aj al-Nas bi al-Mikrufun Haram, 37]\


Dengan demikian, sebuah keharusan agar memahami substansi surat edaran secara holistik; baik aspek normatif maupun sosiologis. Surat edaran di atas harus dibaca dan dipahami secara moderat dan diterapkan sesuai pada konteksnya. Tentu terdapat distingsi situasi, antara masyarakat yang berdampingan dengan pondok pesantren dengan yang tidak berdampingan, misalnya.
 

Ihwal masyarakat yang berdampingan dengan pondok pesantren pada umumnya memang sudah terbiasa mendengarkan pengajian pada kesehariannya dengan pengeras suara luar. Pun dengan datangnya bulan Ramadhan. Sehingga, pengajian kitab atau tadarus Alquran dengan pengeras suara luar, asal tetap memperhatikan waktu; tidak sampai larut malam, salah satunya, maka boleh-boleh saja.


Artinya, potensi dharar sebetulnya dapat ditakar dengan skala probabilitas yang sifatnya repetitif. Demikian juga berlaku pada distrik yang bukan berdampingan dengan pesantren. Para pengurus masjid atau musala perlu memahami konteks sekitar; sejauh mana pengeras suara luar ini akan dapat mengganggu warga sekitar, sehingga dapat dialihkan dengan suara dalam. Dan tentunya mengubah suara luar menjadi suara dalam tidak akan mengurangi value ibadah tadarus Alquran, salah satunya.


Sementara problem krusial yang masih marak di lapangan adalah; di mana masih banyak masjid dan musala yang acapkali tidak memperhatikan waktu, tadarus Alquran yang berlangsung hingga larut malam dengan pengeras suara luar, haruslah diminimalisir secara gradual. Sebab faktor inilah yang menjadi pemicu terganggunya masyarakat sekitar. Selain itu, dampak buruk yang muncul adalah potensi lahirnya stigmatisasi terhadap agama Islam; syiar agama akan dipandang sebagai suatu yang profan.
 

Bisa jadi, fenomena seperti ini akan dianggap sebagai noise pollution, yang dapat mengganggu fisik maupun psikis, seperti hipertensi, gangguan tidur, dan masalah kardiovaskular.
 

Dengan demikian, maka sebuah keniscayaan bagi takmir atau pengguna pengeras suara masjid agar memperhatikan rambu-rambu secara intens sesuai dengan kondisi masyarakat sekitar, supaya syiar agama tetap terjaga dan tidak mereduksi marwah sakralitasnya. Hal ini sebagaimana Fatwa Dar al-Ifta';


وأما إن كان المقصود بالأماكن العامة الأماكن السكنية المزدحمة بالسكان والتي فيها معاش الناس ومنامهم وسكينتهم، فالأصل عدم جواز كل صوت جهوري ينافي مقصد الهدوء والسكينة فيها، ذكراً كان أو قراءة للقرآن أو أي شيء مما هو دونهما؛ لأن السكينة مطلوبة فيها، وقد يكون فيها النائم والمريض والمصلي، وقد أمرنا الشرع بالرأفة بالناس


Artinya: "Adapun apabila yang dimaksud (persoalan pengeras suara) dengan tempat umum adalah tempat pemukiman warga; yang terdapat rumah-rumah warga, tempat istirahat, dan tempat ketenangan, maka prinsip dasarnya adalah tidak diperbolehkan mengeraskan suara yang berakibat mencederai ketenangan dan ketentraman mereka, baik berupa zikir, membaca Alquran, atau yang lain. Sebab masyarakat butuh istirahat di kediaman mereka; kadang ada yang sedang tidur, sakit, dan beribadah. Dan pada dasarnya syariat telah memerintahkan kita untuk berbelas kasih (simpati) kepada sesama manusia." [Fatwa Dar al-Ifta al-Misriyyah, No. 3778]


Pada akhirnya, meskipun secara teori hukum, status surat edaran tergolong beschikking yang sifatnya adalah informatif, serta tidak dikategorikan sebagai peraturan atau norma hukum dan tidak berimplikasi pada sanksi, namun yang lebih penting daripada itu adalah bagaimana agar umat Islam dapat mengindahkan substansinya secara simultan dan kooperatif.
 

Jika pedoman itu digubris dan ditaati dengan baik, maka akan tercipta harmonisasi antara agama dengan sosial. Sehingga jangan sampai niat hati energik dalam menyemarakkan Ramadhan, namun yang dipetik adalah sebaliknya. Inilah wujud primordial dalam beragama; umat islam harus pandai dan jeli dalam membaca situasi dan menempatkan diri agar dapat menyeimbangkan antara ibadah spiritual dan sosial.
 

*Mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah, sekaligus Santri PP. Hidayatul Mubtadi-ien Ngunut Tulungagung


Keislaman Terbaru