• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Senin, 29 April 2024

Keislaman

Prosedur Taubat Menurut Para Ulama

Prosedur Taubat Menurut Para Ulama
Ilustrasi seseorang sedang bertaubat (Foto:NOJ/nuonline)
Ilustrasi seseorang sedang bertaubat (Foto:NOJ/nuonline)

Oleh: Moch Vicky Shahrul H.
 

Manusia adalah makhluk yang dikaruniai oleh Allah akal pikiran dan hati. Meski demikian mereka tidak luput dari kesalahan dan alpa. Dalam salah satu adagium disebutkan:
 

الإِنْسَانُ مَحَلُّ الخَطَأِ وَالنِّسْيَانِ
 

Artinya: Manusia adalah sumber kesalahan dan kelalaian.
 

 

Pernyataan ini, bila diperhatikan dengan seksama, maka menimbulkan sebuah pemahaman bahwa sebagai manusia biasa, tentu tidak akan pernah lepas dari melakukan kesalahan. Malahan, sangat tidak normal bila tidak pernah melakukan kesalahan. Sebab manusia bukan malaikat yang selalu melakukan kebaikan, juga bukan  setan yang senantiasa melakukan kesalahan. Posisi manusia berada di antara keduanya.

Namun, meskipun sering melakukan kesalahan, akan lebih baik dan memang semestinya seseorang yang melakukan kesalahan agar juga sering bertobat dari kesalahan tersebut. Jangan sampai kesalahan kian hari kian bertambah, tanpa diimbangi dengan kuantitas tobat yang juga kian bertambah. 
 

Dalam hal ini, sebagian ulama pernah berkata,
 

تَجِبُ التَوْبَةُ مِنَ الذُّنُوْبِ فَوْرًا عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ
 

Artinya: Bagi mukallaf, wajib sesegara mungkin untuk bertobat setelah bermaksiat.
 

 

Pernyataan di atas berasal dari ucapan salah satu ulama ternama, yaitu Imam Abdullah bin Husain Thahir bin Muhammad bin Hasyim Ba’alawi, pengarang kitab Sullam al-Taufiq. Menurut beliau, memang sudah semestinya (wajib), seseorang itu segera bertobat setelah melakukan suatu kesalahan. 
 

Lantas apa dan bagaimana prosedur bertobat yang sesuai arahan para ulama? Sebelumnya harus kita pahami terlebih dahulu apa arti dosa yang membelenggu manusia. Secara definitif, dosa berarti:
 

مَا يُحْجِبُكَ عَنِ اللِه تَعَالَي

 

Artinya: Dosa adalah sesuatu yang menghalangi antara kamu dengan Allah.
 

Jadi, apapun itu, ketika hal tersebut bisa menghalangimu dari Allah, itu bisa dikatakan sebagai dosa. Misalnya, sebab sering minum minuman keras, engkau malah menjauh dari Allah. Tidak lagi melaksanakan salat misalnya, atau hubungan dengan Allah lainnya. Intinya, apapun itu yang bisa menjauhkan hubunganmu dengan Allah, maka itu dosa.
 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tobat diartikan sebagaimana berikut; sadar dan menyesal akan dosa (perbuatan yang salah atau jahat) dan berniat akan memperbaiki tingkah laku dan perbuatan: kembali kepada agama (jalan, hal) yang benar: merasa tidak sanggup lagi: menyatakan rasa heran, kesal, atau sebal: jera (tidak akan berbuat lagi).
 

Selanjutnya, dalam bertobat, ulama salaf sudah memberikan prosedur yang kiranya aplikatif. Penjelasan prosedur tersebut sebagaimana di bawah ini:
 

Pertama, menyesal. 
 

الأَوَّلُ النَدْمُ
 

Artinya: Prosedur pertama adalah menyesali diri sendiri.
 

Bagaimana memahami prosedur pertama di atas? Masih melansir penjelasan Imam Abdullah, menyesali diri sendiri berarti merasa bersedih telah bermaksiat dan berandai-andai seharusnya dia tidak melakukan maksiat tersebut. 
 

Kedua, meninggalkan perbuatan maksiat.
 

وَالثَّانيِ الإِقْلَاعُ
 

Artinya: Prosedur kedua adalah meninggalkan kegiatan maksiat tersebut.
 

Kiranya dapat dipahami bahwa prosedur ini maksudnya tidak lagi bermaksiat, sudah meninggalkan kegiatan maksiat tersebut. Misalnya, kita baru saja meminum minuman keras, maka prosedur kedua ini dengan berhenti meminum minuman keras tersebut. 
 

Ketiga, berjanji tidak akan mengulangi kembali
 

وَالثَّالِثُ العَزْمُ عَلَى أَنْ يَعُوْدَ إِلَى الذُّنُوْبِ
 

Artinya: Prosedur ketiga, berkeinginan keras untuk tidak bermaksiat lagi.”
 

Arahan dari Imam Abdullah, sebisa mungkin memiliki keinginan untuk berhenti bermaksiat selamanya. Sampai mati tiba. Dengan dasar, takut kepada Allah. 
 

Keempat, meminta ampunan kepada Allah
 

وَالرَّابِعُ الإِسْتِغْفَارُ
 

Artinya: Prosedur keempat, minta ampun kepada Allah.
 

Hal ini sebagaimana dalam firman Allah berikut,
 

وَالَّذِيْنَ اِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً اَوْ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللّٰهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْ وَمَنْ يَّغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اللهُ 
 

Artinya: Demikian (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka (segera) mengingat Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya. Siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah?” (QS. Ali Imran: 135).
 

Dan juga, keterangan senada dari Nabi Muhammad kepada Siti Aisyah sebagaimana di bawah ini,
 

إِنْ كُنْتِ أَلَمَمْتِ بِذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرِيْ اللهَ وَتُوْبِي إِلَيْهِ
 

Artinya: Jika engkau teringat sepintas mengenai dosa, maka segeralah minta ampun dan bertobat kepada Allah.
 

Kelima, mengqada’ kewajiban yang ditinggalkan
 

إِنْ كَانَ الذَنْبُ تَرْكَ فَرْضٍ قَضَاهُ أَوْ تَبِعَةً لِأَدَمِي قَضَاهُ أَوْ اسْتَرْضَاهُ
 

Artinya: Jika dosa berupa meninggalkan kewajiban, maka harus meng-qada. Jika dosa berupa akibat dari suatu hal (misalnya menzalimi orang lain), maka harus meng-qada atau mencari kerelaan dari orang tersebut.
 

Jadi, untuk prosedur terakhir ini perlu adanya perincian terlebih dahulu. Dalam hal ini, dosa itu ada dua; yang berkaitan dengan Allah dan berkaitan dengan sesama manusia. Secara prosedur keduanya berbeda.
 

Untuk dosa yang berkaitan dengan Allah, misalnya tidak melaksanakan salat Dhuhur, maka prosedur bertobatnya adalah setelah melewati empat prosedur di atas, maka dia harus mengqada salat tersebut.
 

Sedangkan dosa yang berkaitan dengan sesama manusia, maka kita juga harus memperinci terlebih dahulu. Dalam hal ini, dosa yang berkaitan dengan sesama manusia dibagi menjadi dua; bersifat materi dan bukan.
 

Kemudian  yang bersifat materi, misalnya mencuri sepeda motor. Maka prosedur bertobatnya adalah setelah melewati empat prosedur di atas, maka dia harus mengembalikan sepeda motor tersebut. Itu jika sepeda motor masih ada. Ketika hilang, maka harus mengganti rugi berupa uang senilai harga sepeda motor tersebut.
 

Sedang untuk yang bersifat bukan materi, misalnya menyakiti hati orang lain, maka sebisa mungkin untuk mencari kerelaan dari korban tersebut. Hal ini jika dimungkinkan. Ketika tidak, maka memelas kepada Allah seraya meminta ampun dan bersedekah dengan harapan nanti di hari kiamat, si korban bisa memaafkan.


*Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang
 


Keislaman Terbaru