Nabi Ibrahim adalah nabi yang menjadi kekasih Allah (Khalilullah). Allah telah memilihnya di dunia dengan menjadikannya bapak para nabi. Sedangkan di akhirat, Allah menjadikannya sebagai orang yang diakui kesalehannya, memiliki kebaikan yang istiqamah, dan telah memberi petunjuk kepada umat manusia agar berlaku baik sebagaimana dirinya.
Setelah Allah swt dalam ayat sebelumnya (ayat 130) memberikan kedudukan mulia kepada Nabi Ibrahim, baik di dunia maupun di akhirat, selanjutnya pada ayat 131 surat al-Baqarah, Allah swt menguraikan faktor yang menjadikan beliau memperoleh kedudukan tersebut.
Berikut adalah teks, transliterasi, terjemah dan kutipan beberapa tafsir ulama terhadap Surat Al-Baqarah ayat 131:
اِذْ قَالَ لَهٗ رَبُّهٗٓ اَسْلِمْۙ قَالَ اَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ١٣١
idz qâla lahû rabbuhû aslim qâla aslamtu lirabbil-‘âlamîn
Artinya: “(Ingatlah) ketika Tuhan berfirman kepadanya (Ibrahim), “Berserah dirilah!” Dia menjawab, “Aku berserah diri kepada Tuhan seluruh alam.” (QS. Al-Baqarah [2]: 131)
Ragam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 131
Secara garis besar, surat al-Baqarah ayat 131 ini mengandung bahasan utama perihal faktor-faktor yang menjadikan Nabi Ibrahim memperoleh kedudukan mulia dari Allah swt, baik di dunia maupun di akhirat.
Tafsir Qurthubi
Menurut Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya, ayat ini turun Ketika Allah swt menguji Nabi Ibrahim dengan bintang, bulan, dan matahari. Ayat tersebut adalah:
وَكَانَ هَذَا الْقَوْلُ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى حِينَ ابْتَلَاهُ بِالْكَوْكَبِ وَالْقَمَرِ وَالشَّمْسِ.
Artinya, “Ayat ini difirmankan oleh Allah swt ketika Dia menguji Nabi Ibrahim dengan bintang, bulan, dan matahari.” (Kairo, Darul Kutub Al-Mishriyyah: 1964, jilid II, hal. 134).
Lebih detail lagi, Imam Qurthubi mengurai maksud dari firman ini melalui kutipan dari Ibnu Kaisan dan Al-Kalabi, yaitu “Ikhlaskanlah agamamu untuk Allah dengan tauhid.” Menurut satu pendapat, maksudnya adalah, “Tunduk dan khusyuklah engkau.”
Sementara lain, menurut Ibnu Abbas, Firman Allah swt di atas diturunkan Ketika Nabi Ibrahim keluar dari lubang di bawah tanah, atau dalam keterangan lain keluar dari rumah di bawah tanah, sebagaimana yang akan dijelaskan pada surat al-An’am.
Selanjutnya, Imam Qurthubi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘Islam’ dalam ayat ini mencakup banyak aspek, karena kata ‘Islam’ dalam Bahasa Arab bermakna tunduk dan patuh terhadap orang yang menundukkan.
Kendati demikian, Imam Qurthubi berpendapat tidak setiap pemeluk agama Islam sudah tentu beriman, namun setiap yang beriman maka sudah tentu beragama Islam. Alasannya, setiap orang yang beriman kepada Allah swt. adalah orang yang tunduk dan patuh kepada-Nya.
Tapi, tidak setiap orang yang Islam (orang yang tunduk) adalah orang yang beriman kepada Allah swt. Hal ini dikarenakan adakalanya seseorang yang mengatakan ‘Aku muslim’ karena takut dengan dibunuh saat masa peperangan Islam dahulu kala, dan tentu saja kondisi yang seperti ini tidak meniscayakan pengucapnya beriman kepada Allah.
Dalil pendapat Imam Qurthubi di atas adalah firman Allah swt pada surat al-Hujurat ayat 14 yang berbunyi:
۞ قَالَتِ الْاَعْرَابُ اٰمَنَّاۗ قُلْ لَّمْ تُؤْمِنُوْا وَلٰكِنْ قُوْلُوْٓا اَسْلَمْنَا
qâlatil-a‘râbu âmannâ, qul lam tu'minû wa lâking qûlû aslamnâ
Artinya: “Orang-orang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami baru berislam’." (QS. al-Hujurat: 14)
Menurut Imam Qurthubi, dalam ayat di atas Allah memberitahukan bahwa tidak setiap orang yang Islam adalah orang yang beriman. Dengan demikian, tidak setiap orang yang Islam itu adalah orang yang beriman.
Kendati demikian, lanjut Imam Qurthubi, kata ‘iman’ menggabungkan dua makna sekaligus, yaitu Islam dan iman. Alasannya, kedua kata ini saling terkait secara integral, layaknya Islam yang merupakan buah dari keimanan dan lambang dari keabsahannya. (jilid II, hal. 134).
Tafsirul Munir
Syekh Wahbah Zuhaili dalam Tafsirul Munir-nya mengatakan bahwa dalam ayat ini tampak faktor yang menjadikan-Nya memilih Nabi Ibrahim dalam penggalan ayat sebelumnya (ayat 130).
Allah swt memilih Nabi Ibrahim tatkala menyerunya kepada Islam dengan dalil-dalil keesaan Allah yang diperlihatkan kepadanya. Seketika itu Nabi Ibrahim langsung tunduk dan memenuhi seruan tersebut. Beliau berkata, "Aku memurnikan agamaku kepada Allah yang telah menciptakan makhluk.”
Mengenai keterangan di atas, menurut Syekh Wahbah, Allah berfirman dalam surat al-An’am ayat 79, yang berbunyi:
اِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ حَنِيْفًا وَّمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۚ ٧٩
innî wajjahtu waj-hiya lilladzî fatharas-samâwâti wal-ardla ḫanîfaw wa mâ ana minal-musyrikîn
Artinya: “Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku (hanya) kepada Yang menciptakan langit dan bumi dengan (mengikuti) agama yang lurus dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Al-An’am: 79)
Lebih detail lagi, Syekh Wahbah juga mengatakan bahwa dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa tidak setiap orang yang memeluk Islam itu beriman. Sehingga, hal ini menunjukkan bahwa tidak setiap muslim itu mukmin, sebab ‘iman’ itu ada dalam hati, sedangkan ‘Islam’ bersifat lahiriah.
Namun meski demikian, kata ‘iman’ terkadang dipakai dengan makna ‘Islam’, sebaliknya, kata ‘Islam’ terkadang juga dipakai dengan makna ‘iman’, sebab masing-masing dari kedua kata tersebut berkaitan erat satu sama lain. (Damaskus, Darul Fikr: 1991 M), jilid II, hal. 318).
Tafsir At-Tahrir wat Tanwir
Syekh Ibnu 'Asyur dalam kitab tafsirnya, At-Tahrir wat Tanwir, mengatakan bahwa ketika Allah berfirman dalam frasa, إِذْ قالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ itu adalah waktu dipilihnya Nabi Ibrahim oleh Allah swt, sebagaimana telah dijelaskan dalam ayat 131. Alasannya, pada frasa tersebut Allah memerintahkannya untuk mengesakan Allah, menyerahkan semua urusan kepada-Nya, ikhlas, serta taat kepada-Nya.
Selain itu, frasa itu juga menunjukkan waktu di mana Allah menginginkan kebaikan di akhirat untuk Nabi Ibrahim seperti yang telah diisyaratkan oleh ayat sebelumnya. Keterangan tersebut menurut Ibnu ‘Asyur sesuai dengan ungkapan berikut:
إِذْ كُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ.
Artinya: “Semua akan dimudahkan terhadap hal yang memang telah diciptakan/digariskan untuknya.” (Tunisia, Ad-Daru At-Tunisia: 1984, jilid I, hal. 726).
Dari paparan di atas, dapat kita mengerti bahwa urgensi ayat 131 ini menjelaskan salah satu faktor yang menjadikan Nabi Ibrahim mendapatkan kedudukan mulia di sisi Allah, baik ketika di dunia maupun kelak nanti di akhirat. Kemuliaan tersebut lahir karena beliau tunduk seketika pada perintah Allah untuk tunduk.
Demikianlah paparan singkat tafsir ayat 131 surah al-Baqarah yang mengandung bahasan utama mengenai faktor yang menjadikan Nabi Ibrahim mendapatkan kedudukan mulia dari Allah swt, baik di dunia maupun di akhirat. Wallahu a’lam.
Ustadz M Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus Purworejo, Jawa Tengah
Terpopuler
1
Niat dan Keutamaan Puasa Dzulhijjah, Tarwiyah dan Arafah
2
Ketua PCNU Sidoarjo Apresiasi Berdirinya Asosiasi Modin Republik Indonesia Abdi Nusantara
3
LP Ma’arif NU Blitar Kuatkan Tata Kelola Aset dan Lembaga Bersama PBNU
4
Prof Mas’ud Said Ungkap KH Tholchah Hasan Tokoh Inovatif dan Pemersatu Umat
5
Berikut 5 Hal Penting Dipahami tentang Kurban Wajib
6
Yayasan Al Ma’arif Singosari Gelar Haul ke-6 KH Tholchah Hasan
Terkini
Lihat Semua