• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Senin, 29 April 2024

Keislaman

Ritus Rejeban dalam Islam

Ritus Rejeban dalam Islam
Rejeban yang dipungkasi dengan ambengan khas nusantara (Foto:NOJ/nugres)
Rejeban yang dipungkasi dengan ambengan khas nusantara (Foto:NOJ/nugres)

Oleh: Muhammad Nurravi Alamsyah*


Asyhur al-hurum merupakan  bulan-bulan sakral yang telah dirumuskan dalam nas Alquran. Pasalnya, nominasi bulan ini memiliki karakteristik dan keistimewaan yang berbeda dengan bulan-bulan lain. Allah berfirman dalam QS. al-Taubah ayat 36: 


اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرعِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ 


Artinya: Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah ketetapan agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.


Berdasar dalil di atas, Allah telah menetapkan bulan dalam hitungan tahun dengan jumlah 12 bulan; Muharram, Shafar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Rajab, Syaban, Ramadhan, Dzulqadah, dan Dzulhijjah. Adapun yang dimaksud Asyhur al-Hurum telah secara definitif disabdakan oleh Nabi Saw.:


إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبٌ شَهْرُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
 

Artinya: Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 3197 dan Muslim No. 1679)


Tentang sakralitas empat bulan yang telah disebut, Allah menciptakan bilangan bulan selama kurun satu tahun sebanyak dua belas bulan yang di dalamnya terformulasi segala aspek wujud qadha’ yang telah diputuskan-Nya secara definitif dan masif. Sakralitas bulan-bulan tersebut tentu saja meyiratkan pesan ilahiyah bahwa Islam tidak saja mengajarkan kepercayaan hanya pada dimensi teks, namun lebih dari itu, dimensi rasional dan transendental juga turut mewarnai khazanah pemikiran dalam Islam. (Al-Thabary, Jami’ Al-bayan Tafsir At-Thabary, 14/235). 


Secara implisit, pemaknaan “hurum” dalam analisisnya memiliki relasi kuat dengan nilai historis dan sosial masyarakat arab terdahulu. Pertama, hurum mengarah pada hukum pengharaman atas pembunuhan yang dilakukan dalam bulan-bulan tersebut. Kedua, makna hurum ditekankan pada aspek kemuliaanya dibandingkan bulan yang kain (Abu ya’la, Zad al-Ma’arif Fi Ilmi al-Tafsir, 2/257) 


Sejarah Suci dalam Rajabiyyah 


Rajab adalah salah satu bulan dalam kalender hijriyah yang masuk dalam deretan asyhur al-hurum (bulan-bulan mulia). Secara analogis, bulan rajab merupakan momentum yang tepat menanam dan Sya’ban untuk memupuk yang bermuara pada bulan Ramadhan untuk memanen. (Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, 121).
 

Artinya, secara implisit, bahwa manusia tidak diciptakan hanya sebagai mahluk konsumtif. Namun lebih dari itu. Manusia juga harus mengeksalasi semangat ibadah dalam rangka “menanam” di Bulan Rajab. Sebab, proses menanam hingga memanen secara sunnatullah bersifat kontinu, maka tidaklah mungkin seseorang dapat “memanen” kelak di bulan Ramadhan tanpa “menanam” dan “merawat” di bulan sebelumnya yaitu Rajab dan Sya’ban.


Kesucian Rajab diwarnai momen penting yang tergores dalam sejarah besar Islam yaitu Isra’ Mi’raj. Ritual suci tersebut adalah sebuah ekspedisi kudus dalam rangka menghadap Tuhan dalam masa semalam. Mengenai kapan tepat terjadinya Isra’ Mi’raj, sudah menjadi debatable di antara Ulama.


Merujuk pada salah satu pakar hadis ‘Abd al-Haq ibn Saif ad-din al-Hanafy, bahwa hadis yang populer tentang terjadinya ritual suci Isra’ Mi’raj adalah jatuh pada 27 Rajab. Hal ini juga diafirmasi dengan ‘amal ahl al madinah (tradisi masyarakat Madinah) dalam melaksanakan ritual “rajabiyyah”.  (Abd al-Haq al-Dahlawi, Luma’at al-Tanqih Fi Syarh Misykah al-Masabih, 9/376)


Berbicara soal peringatan insiden Isra’ Mi’raj, pada realitanya, setiap lingkup daerah dalam suatu bangsa memiliki khazanah tradisi budaya dan entitas adat istiadat yang berbeda-beda. Sebab hal ini tidak terlepas dari pengaruh topografi, historis dan juga hierarki daerah tersebut. Perbedaan tradisi setiap daerah merupakan sebuah anugerah rahmat dari Allah Swt. Tidak penting seberapa banyak perbedaan yang telah wujud, yang terpenting adalah bagaimana cara mempertahankan kelestarian tradisi budaya tersebut agar tidak musnah, sebab hal itu telah melekat menjadi simbol kekayaan kearifan lokal. 


Dalam budaya jawa, peringatan pada bulan rajab populer dengan istilah “Rejeban”. Ritus Rejeban merupakan manifesto penting bagi kaum Islam dalam menyikapi keistimewaan bulan Rajab dengan bentuk yang sangat beragam.


Pada dasarnya, goals dari keberagaman dalam merealisasikan ritual rajab ini merupakan representasi bentuk amal salih berupa ibadah sosial, yaitu al-ta’awun ala al- bir (saling menolong dalam kebaikan). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Qs. Al-Maidah ayat 2:


وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ


Artinya: “..Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”


Secara ta’rif, konotasi Al-Ta’awun adalah Al-tawassu’ fi fi’li al-khoir wa isda’ al-ma’ruf ila an-nass yang berarti menebarluaskan perbuatan baik dan memberi nilai positif terhadap sesama manusia. (Thanthawi, Tafsir al-Wasith Li al-Tanthawi, 32).


Secara filosofis, al-birr dan al-taqwa merupakan dua padanan kata yang bersanding satu sama lain. Implisitas pensejajaran dua frasa itu karena sejatinya; pada ketaatan terdapat eestu Tuhan; dan pada kebaikan terdapat restu manusia. Sehingga, ketika keduanya direalisasikan secara simultan antara restu Allah dan manusia, maka akan sempurna wujud sebuah kebahagaian dan nikmat yang besar. (Al-Mawardi, Al-Wasith, 4/32) 


Ambengan: Autentisitas lokal dan media At-Ta’awun 


Wali Songo selaku pionir yang menahkodai islamisasi di Nusantara memberi pelajaran esensial bahwa terdapat sakralitas dalam budaya, salah satunya adalah kultur rejeban yang melekat di masyarakat jawa.


Menyikapi religius-kultural rejeban, masyarakat memilih untuk bersikap tasamuh (toleransi), dalam artian tidak serta merta menghakimi ritual ini dengan cara mengharamkan dan mem-bid’ah-kan. Mereka menyadari bahwa genealogi islamisasi adalah tumbuh dari ajaran agama yang menginternal pada budaya masyarakat. 


Ambengan adalah salah satu bentuk dari ratusan ritual khas masyarakat jawa yang bernuansa Islam. Dalam ritual rejeban, ambengan secara orientatif berlokomotif pada konsep al-Ta’awun yang sesuai dengan term qurani. Ambengan merupakan menifestasi konkret atas rasa syukur dan pengabdian sebagai hamba kepada Allah atas nikmat yang ada.Refleksi seperti ini sejatinya mendefinisikan sebuah represntatif sebagai pendekatan hamba kepada Tuhannya.


Dalam tataran praksis, Ambengan adalah ritual sedekah berupa makanan yang berisi nasi dan lauk pauk dari hasil bumi. Pemaknaan bumi merupakan metaforis sebagai tempat manusia berpijak serta sebagai sumber eksploitasi makhluk hidup. Bumi telah menjadi sumber manfaat yang besar bagi makhluk hidup.


Dengan demikian, pesan yang sugestif supaya setiap orang juga haruslah seperti bumi yang memberi manfaat kepada orang lain. Ritual Ambengan yang pada umumnya berlangsung di masjid, mushola, dan madrasah-madrasah diniyah.


Dalam praktiknya, selepas gema adzan magrib dikumandangkan, para jamaah berbondong-bondong dengan membawa sedekah berupa makanan yang disajikan dalam wadah berupa marang/renggang (baca: jawa) atau sejenis wadah makanan lain.


Selain itu, salah salah satu dari jamaah juga membawa wadah besar yang bernama ambeng (baca: jawa) yang berisikan makanan beserta lauk pauk dari hasil bumi. Selepas sholat maghrib, ritual formal rejeban dimulai dengan kirim do’a leluhur berupa tahlil, ceramah tokoh ulama dan dipungkasi dengan do’a.


Di akhir sesi, para jamaah makan bersama dari makanan ambeng yang telah dibagikan. Setelah itu, masyarakat saling tukar makanan dengan  jamaah lain, atau dalam istilah jawa dikenal dengan “ijol ambeng/berkat”. Ijol ambeng/berkat ini beragam coraknya, ada suatu daerah yang ditukar adalah ambeng beserta isinya, ada juga yang secuil nasinya, ada yang hanya lauk-pauknya.


Makna filosofis yang termuat dalam Ijol ambeng/berkat adalah wujud figuratif tentang kesetaraan, keadilan, tidak memandang kedudukan kasta antara miskin atau kaya. Sehingga paripurna sebuah ikatan rasa persaudaraan sesama manusia. 


Dalam ritual ambengan, paling tidak mengandung tiga unsur nilai nilai sosial-spiritual yang substansial, antara lain:


(1) Nilai Religius. Yaitu konstruk interaksi hamba dengan Tuhannya. Para jamaah mengimplementasikan nilai religius ini dengan berdoa dan mengirimkan tahlil terhadap leluhur; memintakan ampunan; dan berharap agar dapat masuk surga. Selain itu, orientasi doa tersebut berupa harapan baik yang berhubungan dengan keselamatan, kemakmuran dan kesejahteraan seluruh entitas masyarakat setempat. 
 

(2) Nilai Syukur. Yaitu  aplikasi syukur dengan ekspresi rasa ikhlas dengan mendermakan ambeng atau berkat. Nilai luhur naluri mereka mendorong pada setiap masing jiwa untuk membuktikan kerendahan seorang hamba dihadapan Tuhannya berupa pendermaan ini. Sehingga, ritual ambengan ini juga dalam rangka preventisasi keluar dari khitab Allah; kebencian terhadap  orang-orang yang kufur nikmat. 


(3) Nilai Sosial. Yaitu sebagai wadah untuk merekatkan jalinan kekeluargaan dan kerukunan masyarakat yang bersifat masif dan filantropis. Di samping itu, ambengan juga dapat membina dan memupuk jiwa sosialis yang tinggi terhadap generasi muda untuk tetap menciptakan nilai luhur dalam solidaritas.


*Mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah, sekaligus santri PP. Hidayatul Mubtadi-ien Ngunut


Keislaman Terbaru