• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 29 Maret 2024

Keislaman

Tawaf Bersentuhan Kulit dengan Wanita Bukan Mahram, Batalkah?

Tawaf Bersentuhan Kulit dengan Wanita Bukan Mahram, Batalkah?
Tampak jamaah haji umrah sedang melaksanakan tawaf (Foto:NOJ/learntrueIslam)
Tampak jamaah haji umrah sedang melaksanakan tawaf (Foto:NOJ/learntrueIslam)

Tawaf adalah kegiatan mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali dan dilaksanakan dalam keadaan suci. Tidak melakukan perkara yang membatalkannya; seperti kentut, kencing, persentuhan kulit dengan wanita bukan mahramnya.


Seperti yang telah diketahui bersama bahwa tawaf sebanyak tujuh kali rentan terjadi persentuhan atau kesenggol dengan bukan mahramnya. Hal ini tentu sangat sulit untuk menghindari persentuhan kulit dengan bukan mahram. Apalagi saat tawaf bersama istri yang notabene bukan mahram tentu rentan bersentuhan karena sering berjalan berdampingan selama proses manasik.


Dalam madzhab Syafi’i sangat jelas hukum bersentuhan kulit dengan bukan mahram dapat membatalkan wudhu. Lantas, bagaimanakah hukumnya saat melaksanakan tawaf?


Sayid Abdurrahman Baalawi dalam Bughyatul Mustarsyidin halaman 16 mengeluarkan sebuah kutipan tentang intiqalul madzhab yang bersumber dari Al-Kurdi dalam Al-Fawaidul Madaniyyah yang mengemukakan bahwa lebih baik mengikuti pendapat lemah dalam satu madzhab daripada berpindah madzhab lain karena kesukaran dalam memenuhi segala syarat-syaratnya. 


نعم في الفوائد المدنية للكردي أن تقليد القول أو الوجه الضعيف في المذهب بشرطه أولى من تقليد مذهب الغير لعسر اجتماع شروطه اهـ 


Artinya:.. iya memang, dalam Al-Fawaidul Madaniyah karya Al-Kurdi, bahwa taklid pada satu pendapat atau wajah yang daif dalam satu madzhab dengan (memenuhi) syaratnya itu lebih utama dari pada taklid madzhab lain karena susah terpenuhi berbagai macam syaratnya


Kutipan di atas menjelaskan bahwa dalam konteks sulitnya menghindari persentuhan kulit dengan wanita bukan mahram saat tawaf dipersilahkan memilih pendapat lemah dalam madzhab yang dianut daripada berpindah madzhab lain, sebab akan menemukan kesukaran lain yang belum tentu bisa dilaksanakan. Terlebih minimnya literatur tentang lintas madzhab bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas Syafiiyah.


Dalam persoalan tawaf ini, Imam Nawawi mengatakan, sentuhan dengan lawan jenis ketika tawaf tersebut merupakan cobaan yang umum. Ia mengatakan pula bahwa ada sebagian pendapat ulama dalam madzhab Syafi'i terkait dengan persentuhan lawan jenis memiliki dua sisi hukum. Sisi yang pertama adalah hukum bagi orang yang menyentuh (al-lamis) dan sisi kedua adalah orang yang disentuh (malmus).


Ulama Syafiiyyah sepakat bahwa sisi pertama, yakni orang yang sengaja menyentuh kulit lawan jenis, maka hukumnya batal. Adapun sisi kedua, yakni orang yang disentuh (al-malmus) terbagi dua pendapat: 1. Pendapat yang paling sahih, hukumnya tetap batal; 2. Pendapat lemah dari sebagian ulama, hukumnya tidak batal. Nah, dalam konteks sulitnya menghindari persentuhan kulit saat tawaf inilah yang kemudian melahirkan sebuah kelonggaran (rukhsah) untuk mengikuti pendapat lemah bagi penganut madzhab Syafi'i.


Redaksi yang dikemukakan Imam Nawawi dalam kitab al-Idhah fi Manasik Haji wal Umrah sebagai berikut.


مما تعم به البلوى في الطواف ملامسة النساء للزحمة ، فينبغي للرجل أن لا يزاحمهن ولها أن لا تزاحم الرجال خوفا من انتقاض الطهارة ، فإن لمس أحدهما بشرة الآخر ببشرته انتقض طهور اللامس وفي الملموس قولان للشافعي رحمه الله تعالي أصحهما أنه ينتقض وضوءه وهو نصه في أكثر كتبه ، والثاني لا ينتقض واختاره جماعة قليلة من أصحابه والمختار الأول


Artinya: Termasuk cobaan yang merata dalam tawaf adalah bersentuhan dengan wanita karena berdesak-desakan. Sebaiknya bagi lelaki untuk tidak berdesak-desakan dengan para wanita tersebut. Begitu pula bagi para wanita jangan berdesakan dengan para lelaki karena kekhawatiran akan terjadi batalnya wudhu. Sesungguhnya bersentuhan salah satu dari keduanya terhadap kulit yang lain bisa menyebabkan batalnya kesucian orang yang menyentuh. Sedangkan bagi orang yang disentuh, terdapat dua pendapat dalam madzhab Syafi'i. Menurut pendapat yang paling sahih adalah batal wudhunya orang yang disentuh. Itu merupakan redaksi tekstual yang terdapat dalam mayoritas kitab-kitab Syafii. Adapun pendapat kedua mengatakan tidak batal. Pendapat ini dipilih oleh sebagian kecil golongan pengikut Syafi'i. Sedangkan pendapat yang terpilih adalah yang pertama, (Lihat Imam Nawawi, Al-Idhah fi Manasikil Hajj wal Umrah, Al-Maktabah Al-Imdadiyah, halaman 220-221).


Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa pendapat yang semula dianggap lemah karena bertentangan dengan pendapat yang kuat dan masyhur di kalangan Syafiiyah, oleh Imam Nawawi dijadikan sebuah solusi dan arahan bagi orang yang tawaf untuk menggunakan pendapat minoritas, sebab keadaan yang memang sangat sulit dihindari. 


Kedua pendapat dari Sayyid Abdurrahman dan Imam Nawawi dalam masalah tawaf ini dapat ditarik kesimpulan pula, sulitnya memenuhi kriteria pindah madzhab dan karena kondisi Masjidil Haram yang tidak bisa dihindari dalam masalah persentuhan lawan jenis, maka pengikut madzhab Syafi'i tidak perlu pindah madzhab, tapi cukup mengikuti pendapat lemah dalam madzhab Syafi’i.


Keislaman Terbaru