• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 3 Mei 2024

Keislaman

Tidur Seharian di Bulan Puasa, Bagaimana Hukumnya?

Tidur Seharian di Bulan Puasa, Bagaimana Hukumnya?
Ilustrasi tidur seharian (Foto:NOJ/scitech)
Ilustrasi tidur seharian (Foto:NOJ/scitech)

Oleh: Ahmad Danil Hidayat*


Bulan Ramadhan merubah segelintir siklus aktivitas manusia menjadi agak nokturnal, untuk menambah waktunya dalam beribadah. Namun, beberapa orang juga merubah waktu bekerjanya, dari siang menjadi malam, diantaranya Ojol. Jam kerja Ojek Online itu bebas, tergantung driver ojol-nya. Berhubung masyarakat di bulan Ramadhan lebih aktif di malam hari, terpaksa merubah ekosistem pangkal ojek menjadi lebih aktif di malam hari.
 

Akibatnya, sebagian pekerja ojek menghabiskan waktu siangnya untuk tidur, bahkan, tidur seharian. Lantas, bagaimana hukum seseorang tidur seharian selama puasa berlangsung? Pertanyaan ini akan dikupas melalui kacamata fiqih. Mengenai nasib keabsahan puasa orang tersebut. 


Mayoritas ulama golongan ulama Syafi’i dan beberapa ulama’ terkemuka lainnya berpendapat bahwa ‘jika seseorang tidur dari pagi sampai maghrib dan ia telah berniat puasa, maka puasanya tetap sah’. Hal ini sudah disampaikan oleh imam nawawi dalam kitab fenomenalnya, al-Majmu’ Syarhul Muhadzab (6/346)
 

إذَا نَامَ جَمِيعَ النَّهَارِ وَكَانَ قَدْ نَوَى مِنَ اللَّيْلِ صَحَّ صَوْمُهُ عَلَى الْمَذْهَبِ وَبِهِ قَالَ الْجُمْهُورُ وَقَالَ أَبُو الطَّيِّبِ بْنُ سَلَمَةَ وَأَبُو سَعِيْد الاِصْطَخْرِى لَا يَصِحُّ وحَكَاهُ الْبَنْدَنِيجِيُّ عَنِ ابْنِ سُرَيْجٍ أَيْضًا وَدَلِيلُ الْجَمِيعِ فِي الْكِتَابِ 


Artinya: “Jika seseorang tidur seharian dan ia telah berniat di malam harinya, maka puasanya tetap sah menurut golongan ulama’ Syafi’i dan ulama’ terkemuka. Berbeda lagi bagi ulama’ Abu Thayyib Bin Salamah dan Abu Sa’id al-Istakhri, mereka berpendapat puasa semacam itu tidaklah sah. Sedangkan al-Bandaji  juga meriwayatkan hal yang serupa dari  Ibnu Suraij. Keseluruhan dalil  berdasar pada al-Quran.


Referensi ini tidak hanya memaparkan pendapat puasanya ‘penguasa kasur seharian’ itu sah, tapi ada juga ulama’ yang berpendapat tidak sah. Diantaranya adalah Abu thayyib Bin Salamah Abu Sa’id al-Istakhri, mereka berpendapat tidak sah. Mereka punya pun alasan masing-masing atas pendapat nya. 


Pendapat pertama, Sah. Sebab, orang tidur itu masih terkena tuntutan menjalankan syariat atau dia itu masih Mukallaf. Karenanya, perintah syariat masih berlaku. Dan orang tidur itu layaknya orang yang masih sadar. Apabila dibangunkan, ia akan terbangun. Berbeda lagi bagi orang pingsan seharian, ia tidak terkena Taklif atau tidak ada kewajiban baginya untuk berpuasa.


Alasan tersebut dipaparkan oleh Imam Abu Muhammad al-Baghawi dalam karyanya at-Tahdzib fi Fiqh al-Imam as-Syafi’i (3/178)


والمَذْهَبُ: أَنَّهُ يَصِحُّ صَوْمُ النَّائِمِ؛ بِخِلاَفِ الإِغْمَاءِ؛ لِأَنَّ الإِغْمَاءَ يَزِيْلُ الخِطَابُ؛ ولِذَلِكَ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ قَضَاءُ الصَلَوَاتِ، والنَّوْمُ لَا يَزِيْلُهُ؛ فَإِنَّهُ إِذَا نُبِّهَ تَنْتَبِهُ؛ فَلَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ القَضَاءُ


Artinya: Pendapat (madzhab): Sah puasa orang yang tidur; berbeda dengan pingsan. Karena pingsan menghilangkan kewajiban; dan karena itu tidak wajib baginya untuk mengganti shalat. Sedangkan tidur tidak menghilangkan kewajiban; karena jika dia dibangunkan, dia akan bangun; maka dia tidak diwajibkan untuk mengganti (shalat)


Pendapat kedua, tidak sah. Imam al-Amrani selaku pengarang kitab al-Bayan Fi Madzhab al-Imam as-Syafi’i mengutip pendapatnya Abu Sa’id al-Istakhri (3/530). Menurut beliau;


وقَالَ أَبُو سَعِيد الإِصْطَخْرِي: إذَا نَامَ جَمِيْعَ النَّهَارِ.. لَمْ يَصِح صَوْمُهُ، كَمَا إِذَا أَغْمَي عَلَيْهِ جَمِيْعَ النَّهَارِ


Artinya: “Abu Sa’id al-Istakhri berkata: ‘Jika seseorang tidur seharian penuh, maka puasanya tidak sah. Sama halnya dengan orang yang pingsan seharian penuh.’”


Orang tidur itu tidak terkena tuntutan, ia sama dengan orang pingsan seharian. Karena mereka berdua sama-sama tidak tahu kalau ada tuntutan menjalankan puasa, dan tidak menemui awal waktu puasa sampai waktunya selesai. Maka tidak terkena Taklif.
 

Lantas, pendapat ini seakan-akan tidak membedakan antara orang pingsan dan orang tidur. Padahal, keduanya memiliki perbedaan. Di dalam kitab Kifayatu an-Nabih fi Syarhi at-Tanbih karangan Ibn ar-Rif’ah (6/298) memaparkan:


وَالفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الإِغْمَاء: أَنَّ النَّوْمَ جَبَلَةٌ وَعَادَةٌ، والنَائِمُ ثَابِتُ العَقْلِ؛ فَإِنَّهُ إِذَا نُبِّهَ اِنْتَبَهَ، ولَهُ حُكْمُ المُسْتَيْقِظِ؛ فَإِنَّهُ لَا تَسْقُطُ وِلَايَتُهُ عَلَى مَالِهِ؛ بِخِلَافِ المُغْمَى عَلَيْهِ


Artinya: “Perbedaan antara tidur dan pingsan adalah: Tidur, itu kebiasaan dan naluri manusia. Dan akalnya masih ada. Apabila dibangunkan, maka akan terbangun. Oleh karena itu orang tidur memiliki hukum yang sama dengan orang sadar. Maka, kewenangan atas hartanya tidak gugur. Berbeda lagi dengan orang pingsan”.


Blacking out menjadi penyebab ‘hilangnya akal’. Maka ia tidak diwajibkan menjalani perintah agama, contohnya puasa. 
 

Penulis hanya membahas keabsahan puasa dalam studi kasus semacam ini. Meskipun sah puasanya, alangkah baik nya untuk memanagement waktu tidur dan bekerja dengan baik, agar waktu kesehariannya terjadwal dan skala prioritasnya jelas. 


*Mahasantri Ma’had Aly Pondok Pesantren An-Nur II Al-Murtadlo Malang


Keislaman Terbaru