• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 3 Mei 2024

Keislaman

Tradisi Ganti Nama Sepulang Haji, Bolehkah?

Tradisi Ganti Nama Sepulang Haji, Bolehkah?
Ilustrasi jamaah haji bersiap pulang ke Indonesia. (Foto: NOJ/ ISt)
Ilustrasi jamaah haji bersiap pulang ke Indonesia. (Foto: NOJ/ ISt)

Usai menjalani serangkaian ibadah haji, jamaah asal Indonesia kini bersiap pulang ke Tanah Air. Diketahui, pemulangan perdana jamaah haji dijadwalkan akan dilaksanakan pada Selasa (04/07/2023). Tentu, hal demikian merupakan kabar gembira khususnya bagi keluarga jamaah haji.

 

Dalam tradisi masyarakat Indonesia, sejumlah jamaah haji mengganti atau ‘memperoleh’ nama baru dari Tanah Suci. Nama baru tersebut lumrahnya diambil dari kata bernuansa islami atau berbau Arab, seperti Abdur Rahim dan Rahimah sebagai ganti dari Suwarno atau Suwarni.

 

Ihwal penggantian nama tersebut sebenarnya tidak harus dilakukan bagi seseorang yang usai menunaikan ibadah haji. Akan tetapi sebagian masyarakat lebih senang menjadikan ibadah haji sebagai momentum perubahan nama dengan harapan meningkatkan semangat peribadatan.

 

Dalam pandangan fiqih mengganti nama itu adakalanya wajib, sunnah, dan atau mubah. Perubahan nama bisa menjadi wajib apabila nama yang selama ini digunakan terlarang (haram), seperti Abdusysyaithan (hamba setan), Abdul Ka’bah (hamba Ka'bah), atau sejenisnya.

 

Hukumnya juga bisa sunnah apabila nama yang sudah ada itu makruh (dibenci), seperti nama Himar, Monyong, atau Pencor. Dan adakalanya hukumnya mubah apabila namanya itu tidak haram, juga tidak makruh semisal Sani, Midi, dan lain sebagainya. Sebagaimana diterangkan dalam Tanwir al-Qulub:

 

وَيَجِبُ تَغْيِيْرُ اْلأَسْمَاءِ الْمُحَرَّمَةِ وَيُسْتَحَبُّ تَغْيِيْرُ اْلأَسْمَاءِ الْمَكْرُوْهَةِ.

 

Artinya: “Mengubah nama-nama yang haram itu hukumnya wajib, dan nama-nama yang makruh hukumnya sunah”.

 

Demikian juga disebutkan dalam Hasyiyah al-Bajuri:

 

وَيُسَنُّ أَنْ يُحَسِّنَ اسْمَهُ لِخَبَرِ أَنَّكُمْ تُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَسْمَائِكُمْ وَأَسْمَاءِ أَبَائِكُمْ فَحَسِّنُوْا أَسْمَائَكُمْ إِلَى أَنْ قَالَ: وَتُكْرَهُ اْلأَسْمَاءُ الْقَبِيْحَةُ كَحِمَارٍ وَكُلِّ مَا يُتَطَيَّرُ نَفْيُهُ أَوْ إِثْبَاتُهُ وَتَحْرُمُ التَّسْمِيَّةُ بِعَبْدِ الْكَعْبَةِ أَوْ عَبْدِ الْحَسَنِ أَوْ عَبْدِ عَلِيٍّ وَيَجِبُ تَغْيِيْرُ اْلاسْمِ الْحَرَامِ عَلَى اْلأَقْرَبِ  لِأَنَّهُ مِنْ إِزَالَةِ الْمُنْكَرِ وَإِنْ تَرَدَّدَ الرَّحْمَانِيُّ فِيْ وُجُوْبِهِ وَنَدْبِهِ .

 

Artinya: "Dan disunahkan memperbagus nama sesuai dengan Hadits: “Kamu sekalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama-nama bapak kalian, maka perbaguskanlah nama-nama kalian”. Dimakruhkan nama-nama yang berarti jelek, seperti himar (keledai) dan setiap nama yang diprasangka buruk (tathayyur) penafian atau penetapannya. Haram menamai dengan Abdul Ka’bah, Abdul Hasan atau Abdu Ali (Hamba Ka’bah, Hamba Hasan atau Hamba Ali). Menurut pendapat yang lebib benar wajib mengubah nama yang haram, karena berarti menghilangkan kemungkaran, walaupun al-Rahmani ragu-ragu apakah mengubah nama demikian, wajib atau sunah".

 

Oleh karena itu, mengganti nama selepas pulang ibadah haji hukumnya boleh-boleh saja selama untuk kebaikan atau untuk memperbagus dari nama yang digunakan selama ini. Apalagi, dalam tradisi tersebut mengganti nama jelas bertujuan untuk kebaikan.
 

 

Hal demikian dianggap penting karena di zaman dahulu penggunaan nama sangat bebas, tanpa melihat arti atau tidak berdasarkan bahasa Arab serta yang bernuansa islami. Belum lagi perihal nama diri merupakan sebuah doa seseorang bagi dirinya, maka perlu diberi nama yang bagus dan baik.

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha, Keputusan Muktamar Ke-8 di Jakarta 12 Muharram 1352 H.


Keislaman Terbaru