• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Senin, 29 April 2024

Madura

Ketua RMI PBNU Sebut Halaqah Fikih Peradaban Respons Isu Mutakhir

Ketua RMI PBNU Sebut Halaqah Fikih Peradaban Respons Isu Mutakhir
Ketua RMI PBNU KH Hodri Ariev (pegang mik), saat Halaqah Fikih Peradaban di Pondok Pesantren Bustanul Ulum Sumber Anom, Angsanah, Palengaan, Pamekasan. (Foto: NOJ/ Firdausi)
Ketua RMI PBNU KH Hodri Ariev (pegang mik), saat Halaqah Fikih Peradaban di Pondok Pesantren Bustanul Ulum Sumber Anom, Angsanah, Palengaan, Pamekasan. (Foto: NOJ/ Firdausi)

Pamekasan, NU Online Jatim

Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI PBNU) KH Hodri Ariev mengatakan, halaqah fikih peradaban yang bertajuk ‘Ijtihad Ulama NU dalam Bidang Sosial-Politik’ digelar untuk menginspirasi Nahdliyin dalam mengembangkan isu mutakhir.

 

“Karena potensi ancaman pada suatu negara bisa muncul kapan saja jika tidak pandai menyikapi perkembangan mutakhir,” ujarnya saat Halaqah Fikih Peradaban di Pondok Pesantren Bustanul Ulum Sumber Anom Desa Angsanah, Palengaan, Pamekasan.

 

Dalam penyampaian materi, ia mengajak kepada masyayikh untuk memperhatikan isu-isu mutakhir. Jangan sampai yang dilakukan muassis berubah hanya untuk kepentingan musiman atau bukan kepentingan jangka panjang. Ia mengajak untuk memperhatikan isu kebangsaan dan kenegaraan guna merawat kebersamaan dan persatuan antarsesama.

 

“Setiap potensi perpecahan harus dilawan, setiap potensi yang dapat menjauhkan kita harus dilawan. Perlawanan ini saya rasa buah dari ijtihad ulama yang sejak lama lebih memeprtimbangkan kebersamaan, kedamaian untuk bangsa kita sebagaimana dilansir banyak riwayat,” ucapnya kepada NU Online Jatim, Rabu (27/12/2023).

 

Ia menegaskan, muassis NU tidak secara serta-merta mendirikan jamiyah. Sebelum didirikan, banyak proses pertemuan, istikharah, hingga puncaknya ditetapkan sebagai jamiyah diniyah ijtimaiyah. Proses ijtihad yang dilaluinya adalah bentuk kehati-hatian saat mendirikan NU, termasuk pula kehati-hatiannya saat memutuskan persoalan politik kebangsaan.

 

“Apa yang kita ditemukan saat ini, yakni cara berpolitik kebangsaan itu merupakan pedoman yang mengutamakan keutuhan bangsa daripada sekadar merebut kekuasaan. Inilah yang menjadi pembeda antara NU dengan organisasi lainnya,” ungkapnya.

 

Perlawanan ulama NU dari masa ke masa

Sejarah mencatat, lanjut Kiai Hodri, ketika kekhalifahan Turki Utsmani runtuh pada tahun 1924, wilayah yang dulu menjadi kekuasaannya pecah menjadi negara-negara kecil, termasuk di Indonesia.

 

Ia menambahkan, pada tahun 1924-1925 penguasa baru di Arab Saudi mulai menyudutkan Islam tradisionalis yang senantiasa melestarikan amaliyahnya, seperti bermazhab, bershalawat, dan sejenisnya.

 

“Pecahan dari Turki Utsmani, ada yang jadi kerajaan Islam, Republik Islam. Hemat saya, seakan-akan mejadi representasi kehadiran Islam tapi kenyataannya negara-negara Islam berperang atas nama agama. Sedangkan di Indonesia, para muassis NU lebih mendukung berdirinya bangsa,” tutur alumni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep ini.

 

Dijelaskan, muassis memilih berdirinya bangsa adalah suatu ijtihad yang memiliki alasan yang logis. Padahal sebelumnya tahu banyak kerajaan Islam Nusantara yang mewariskan pemikiran politik pada generasi selanjutnya.

 

“Mengapa memilih negara bangsa? Keputusan mengacu pada banyak kasus. Ketika Hadratussyeikh KH M Hasyim Asy’ari memfatwakan Resolusi Jihad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kemudian di Situbodno menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan memutuskan Indonesia pilar berbangsa dan bernegara. Ini bentuk natijah dari ijtihad ulama dalam bidang sosial politik,” terangnya.

 

Menurut Kiai Hodri, secara teoritis yang dilakukan muassis sudah maju. Untuk membandingkannya bisa dilihat pada tahun 1989, para ulama memutuskan trilogi ukhuwah. Yang kemudian pada tahun berikutkan diakui dan digaungkan oleh Vatikan. Hal ini menunjukkan bahwa muassis sudah merumuskan pemikiran itu yang sangat kuat pada maqasid dan melampaui kelompok-kelompok baru.

 

“Dengan demikian, negara yang kita miliki merupakan hasil ijtihad ulama, sehingga isu-isu yang berkaitan dengan kebangsaan tentu merupakan hal yang menjadi tanggung jawab kita dalam mempertahankannya. Isu ini tidak hangat tapi menjadi isu mutakhir,” tandasnya.


Madura Terbaru