Firdausi
Kontributor
Sumenep, NU Online Jatim
Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Bangkalan KH Muhammad Makki Nashir mengatakan, Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan memiliki ketersambungan sanad keguruan kepada Syekh Nawawi Al-Bantani yang terkenal dengan julukan ‘Singa Padang Pasir’.
“Seorang ulama Nusantara yang keilmuannya mengungguli ulama lainnya, bahkan ia bangga dengan identitas negaranya. Setiap menulis, pasti ia memberi predikat Al-Jawi. Dan, hubungan kesanadan Mbah Kholil dengan guru-gurunya di Makkah sangatlah erat,” ujarnya.
Penegasan tersebut disampaikan saat acara Seminar Kebangsaan dan Pelantikan Pimpinan Anak Cabang (PAC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Bluto, Sumenep. Kegiatan ini dipusatkan di aula Pondok Pesantren Nasyrul Ulum Aengdake, Bluto, Sumenep, Selasa (22/02/2022).
Kiai Makki menceritakan, pada tahun 1895 Syaikhona Kholil, Syekh Nawawi Al-Bantani, dan KH Sholeh Darat as-Samarani bermusyawarah di Jawa Tengah. Isi dari musyawarahnya adalah memikirkan umat yang kondisinya semakin tertindas oleh Belanda. Juga mencari cara agar bangsa terlepas dari penjajahan.
“Pangeran Diponegoro seorang warga keraton, santri dan ahli thariqah. Tradisi keraton sangat erat dengan pesantren, anak-anaknya dipondokkan di pesantren. Sejak perang Diponegoro memporak-porandakan Belanda. Penjajah membuat warga keraton terpisah dari pesantren, yakni membuat sekolah tandingan,” tuturnya.
Cicit Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan itu menerangkan bahwa ketiga ulama Nusantara itu (Syaikhona Kholil, Syekh Nawawi Al-Bantani dan Kiai Sholeh Darat) melakukan musyawarah guna berbagi tugas dalam menyikapi politik Belanda tersebut.
“Mbah Kholil ditugaskan untuk mencetak para santri menjadi penggerak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedangkan Kiai Sholeh Darat mengkader para bangsawan dan priyayi. Salah satu santrinya adalah RA Kartini,” ujarnya.
Ia menambahkan, saat RA Kartini belajar pada Kiai Sholeh Darat, yang didalami Islam secara sungguh-sungguh, hingga akhirnya terbitlah buku ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Ia meminta pada gurunya untuk menerjemahkan Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Jawa. Tujuannya agar pribumi bisa memahami.
“Sejak itulah santri Kiai Sholeh Darat kuat imannya dan tertanam nasionalismenya. Terbukti saat ini ajaran ulama Nusantara betul-betul diterima oleh masyarakat dan terwujud Rahmatan lil alamin,” tandasnya.
Terpopuler
1
Sound Horeg Diharamkan, Ini Penjelasannya
2
Pondok Besuk Pasuruan: Sound Horeg Hukumnya Haram
3
Di Balik Klaim NU: Membedakan Antara Cinta dan Catut
4
Sejarah dan Alasan Muharram sebagai Bulan Pertama Tahun Hijriyah
5
Pesantren Miftahul Huda Doho Madiun Ulang Tahun Ke-10, Kini Dirikan SMP
6
Holiday Pesantren Darun Nun, Tempat Liburan Edukatif yang Menyenangkan bagi Santri Cilik
Terkini
Lihat Semua