• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 25 April 2024

Madura

Ketua NU Bangkalan Ulas Kebangkitan Nasional dan Isyaroh Surat Thaha

Ketua NU Bangkalan Ulas Kebangkitan Nasional dan Isyaroh Surat Thaha
Ketua PCNU Bangkalan, KH Muhammad Makki Nashir (pegang mik). (Foto: NOJ/ Firdausi)
Ketua PCNU Bangkalan, KH Muhammad Makki Nashir (pegang mik). (Foto: NOJ/ Firdausi)

Sumenep, NU Online Jatim

Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Bangkalan, KH Muhammad Makki Nashir mengatakan, di era kebangkitan Nasional di awal tahun 1900 an, perlawanan pribumi mulai berubah menjadi pergerakan organisasi yang didominasi oleh kaum modernis, sebut saja Budi Utomo, Sarekat Islam.
 

“Di lain sisi, santri Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan tergerak untuk berkontribusi, sebagaimana dicontohkan oleh pendahulunya. Maka, didirikanlah madrasah Nahdlatul Wathan (1906) sebagai kebangkitan tanah air dan modal pengembangan paham Ahlussunnah wal Jamaah serta membela perjuangan bangsa,” ujarnya.


Pernyataan tersebut disampaikan oleh Kiai Makki di acara Pelantikan dan Seminar Kebangsaan oleh Pimpinan Anak Cabang (PAC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Bluto, Sumenep, Sumenep. Kegiatan yang bertajuk “Meneladani Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan sebagai Guru Bangsa dan Agama” itu dipusatkan di aula Pondok Pesantren Nasyrul Ulum Aengdake, Bluto, Sumenep.


Ia menyebutkan, Nahdlatul Wathan yang didirikan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah itu guna mengakomodir kaum tradisionalis agar memiliki wadah yang nantinya bergerak dalam kebangkitan nasional atau terlepas dari belenggu penjajahan.


Selang kemudian, lanjutnya, dibentuklah Nahdlatut Tujjar (1918) koperasi perdagangan sebagai bentuk perjuangan santri dalam bidang ekonomi. Juga didirikanlah Tashwirul Afkar (1919) sebagai sayap perjuangan santri. “Belanda pun tak tinggal diam saat melihat pergerakan santri. Bahkan tak segan mengintimidasi kaum tradisionalis itu,” imbuhnya.


Kiai Makki menambahkan, di tahun 1920 an, tambahnya, ulama semakin resah, hingga akhirnya berkumpul di Bangkaan guna meminta petunjuk pada Mbah Kholil. Keresahan itu muncul akibat tekanan Belanda yang semakin menjadi-jadi.


“Kala itu Mbah Kholil memberi isyaroh berupa potongan ayat Al-Qur’an sehingga menjadi cambuk penyemangat baru agar bangkit lagi. Saat mendengar isyaroh itu, para kiai menyadari setiap hal pasti ada hambatan. Tetapi jadikan hambatan sebagai tantangan, karena Allah pasti menolongnya. Jika kita sinkronkan, Puncak Hari Lahir (Harlah) ke-99 NU dipusatkan di Bangkalan itu agar memiliki energi baru dalam menyongsong abad kedua NU,” terangnya.


Kiai Makki menegaskan, semangat baru itulah memunculkan inisiatif untuk membentuk perkumpulan Jamiyah Ulama. Karena sebelumnya hanya berbentuk madrasah. Namun, NU tidak serta merta berdiri, masih ada perdebatan di kalangan ulama. Akhir dari perbedaan itu memutuskan untuk sowan ke Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari untuk membentuk wadah itu.


“Saat itu muncul keraguan dalam diri Kiai Hasyim, terkait cara mengumpulkan ulama se-Nusantara. Karena setiap pesantren memiliki otoritas sendiri. Bujukan para kiai yang berlangsung selama 3 kali, belum direspons positif selama 3 tahun,” curahnya.


Kongres Islam yang menyudutkan kaum tradisionalis yang melestarikan shalawatan, ziarah kubur, tahlilan dan sejenisnya (dituduh kafir dan syirik) bukanlah bagian dasar dari berdirinya NU (komite hijaz). Menurut Kiai Makki, itu justru muncul di tengah perjalanan, sehingga menambah semangat para kiai untuk mendirikan wadah tersebut.


“Maka, 31 Januari 1926, atas restu Mbah Kholil, konsep jamiyah dijawab melalui potongan surah Thaha: 17-23 dan tongkat yang diantarkan oleh KHR As’ad Syamsul Arifin ke Tebuireng. Tongkat secara filosofis adalah simbol komando. Isyaroh tongkat menandakan konsep menyatukan seluruh potensi ulama dan pesantren melalui pergerakan organisasi yang memiliki satu tujuan yang sama, yaitu menjaga Aswaja,” ungkapnya.


Makna Dibalik Surah Thaha
Kiai Makki menyatakan, isyaroh surah Thaha bermakna ajaran, teologi, dan moral, agar umat memiliki pegangan. Jika sebelumnya hanya berbentuk madrasah, konsep yang ditampakkan oleh Mbah Kholil lengkap, baik di bidang ekonomi, pendidikan, dan lainnya.


“Tongkat yang dilemparkan menjadi ular, lalu memangsa ular-ular sihir Firaun tanpa menunggu komando dari Nabi Musa a.s adalah bentuk strategi organisasi,” ulasnya.


Cicit Syaikhona Muhammad Kholil ini melanjutkan, saat Nabi Musa a.s memegang kembali ular tersebut, maka kembalilah pada sedia kala. Makna tersirat dalam potongan ayat itu bermakna kontrol manajemen organisasi yang kuat.


Oleh karenanya, NU bersama perangkatnya harus memiliki birokrasi yang kuat, bersinergi dengan pemerintah sebagaimana kaum santri bersama pemerintah melawan penjajah secara bersama-sama.
 


“Adapun isyaroh kedua adalah tasbih. Tujuannya untuk mengukuhkan kemantapan Mbah Hasyim dalam mendirikan jam’iyah serta dianjurkan bertasbih seperti halnya para Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah (JATMAN),” pungkasnya.


Madura Terbaru