• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 29 Maret 2024

Madura

Simbol Toleransi Keraton Sumenep, Tempat Simposium Peradaban NU

Simbol Toleransi Keraton Sumenep, Tempat Simposium Peradaban NU
Pintu gerbang Keraton Sumenep (Labang Mesem). (Foto: NOJ/A Habiburrohman)
Pintu gerbang Keraton Sumenep (Labang Mesem). (Foto: NOJ/A Habiburrohman)

Sumenep, NU Online Jatim

Puncak Harlah ke-99 NU digelar di Keraton Sumenep, Madura, pada Sabtu (05/03/2022), dikemas dengan acara Simposium Peradaban NU. Adalah pilihan tepat Keraton Sumenep dijadikan lokasi puncak harlah. Keraton Sumenep adalah satu-satunya keraton yang masih berdiri kokoh dan menjejakkan peradaban Islam di Madura. Di keraton ini juga tersembul makna toleransi.


Keraton Sumenep dibangun pada masa Pangeran Notokusumo I Asiruddin, juga dikenal dengan Panembahan Sumolo, dan rampung pada tahun 1780 Masehi. Panembahan Sumolo adalah putra dari Bindara Saod dari istri Nyai Izzah, keturunan dari Sunan Kudus. Memang, banyak para ulama di Madura, juga di Sumenep, memiliki garis keturunan dengan Sunan Kudus.


Berbarengan dengan pembangunan keraton, dibangun pula Masjid Jamik (juga dikenal dengan sebutan Masjid Jamik Panembahan Sumolo) yang kini juga masih kokoh berdiri di sebelah barat keraton, dipisah oleh Taman Bunga. Masjid tersebut mulai dibangun pada 1779 dan selesai pada 1787. Tadjul Arifien, pakar sejara Sumenep, mengatakan, dahulu Keraton Sumenep dan Masjid Jamik adalah satu kompleks.


Tajdul mengatakan, Masjid Jamik adalah pendukung Keraton Sumenep yang waktu itu digunakan untuk tempat ibadah bagi keluarga keraton dan masyarakat. Sebetulnya, sebelum ada Masjid Jamik, keluarga keraton memiliki masjid yang dibangun pada abad ke-17. “Masjid Jamik dibangun karena sudah tak mampu lagi menampung jamaah,” katanya.


Tadjul mengatakan, Keraton Sumenep dan Masjid Jamik dibangun oleh Lauw Pia Ngo yang beragama Konghuchu. Dia adalah keturunan Tionghoa yang leluhurnya tinggal di Batavia dan lari ke Sumenep dalam peristiwa Geger Pecinan di Batavia. Lauw belajar arsitek kepada ayahnya kemudian diundang Panembahan Semolo untuk mengarsiteki Keraton Sumenep dan Masjid Jamik. “Keraton dan masjid itu satu paket dikerjakan Law Pia Ngo,” ujar penulis Adipati Arya Wiraraja dalam Sejarah Pemerintahan Kabupaten Sumenep itu.


Arsitektur Masjid Jamik mengandung unsur kebudayaan Tiongkok, Eropa, Jawa, dan Madura. hal itu bisa dilihat pada pintu gerbang keraton dan masjid. Bila pun ada unsur Eropa menurut Tadjul itu adalah konsekuensi politik karena pemerintah kolonial Belanda saat itu menguasai Madura.


Dari proses pembangunan dan arsitektur Keraton Sumenep dan Masjid Jamik itulah simbol toleransi tersembul.


Madura Terbaru