• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Senin, 29 April 2024

Madura

Warga Pamekasan Bangun Kemandirian Ekonomi lewat Batik

Warga Pamekasan Bangun Kemandirian Ekonomi lewat Batik
Proses pembuatan batik. (Foto: NOJ/Firdausi)
Proses pembuatan batik. (Foto: NOJ/Firdausi)

Pamekasan, NU Online Jatim

Pamekasan merupakan kabupaten terbesar di Madura yang memproduksi batik. Menurut pernyataan Abd Samad salah satu pengrajin batik asal Dusun Gunung 1, Desa Larangan Badung, Palengaan bahwa diperkirakan pengrajin batik lebih dari 1.500 orang.

 

Ia melaporkan, di setiap kecamatan, banyak warga membangun kemandirian ekonomi lewat membatik, seperti di Kecamatan Kota, Proppo, Larangan, Pademawu, Palengaan dan Pagantenan. Bahkan para perajin berlomba-lomba memproduksi batik untuk dijual di pasar tradisional dan online. 

 

Pengrajin batik yang paling terkenal adalah Desa Banyupelle, Larangan Badung dan Palengaan Daya (Kecamatan Palengaan); Desa Toket, Candi Burung, Klampar (Kecamatan Proppo). Sedangkan yang menjadi pembeda antardesa adalah warna dan motif batik. Abd Samad mengutarakan, setiap produk memiliki ciri khas tersendiri, sehingga orang mudah mengenalinya.

 

“Yang menjadi pembeda antara batik Pamekasan dengan daerah lainnya adalah warna dan motifnya. Warna batik di sini lebih mencorak. Warna yang dijadikan pakem dan kombinasi adalah merah, hitam, cokelat, biru dongker yang dihiasi dengan akar dan bunga. Motif batik yang paling terkenal adalah Sekar Jagad dan Junjung Drajat,” terangnya.

 

Sekretaris Himpunan Pengusaha Nahdliyin (HPN) Pemekasan menyatakan, dalam satu pekan dirinya memproduksi 10 sampai 15 batik. Jumlah tersebut tergantung dari stok dan pesanan. Saat pesanan banyak, ia memproduksi 25 sampai 50 batik. Harganya pun normal, mulai dari harga Rp 70 ribu hingga Rp 300 ribuan, bahkan ada yang mencapai jutaan rupiah.

 

“Untuk batik KaDe yang kami kelola, bisa memproduksi motif batik sendiri sebagai pembeda dengan motif lainnya. Yakni motif Le-Jeleh (jaring) dan Pamelingan,” ungkap Pimbina Sekolah Model Surabaya ini kepada NU Online, Selasa (10/10/2023).

 

Untuk mengembangkan usaha ini, lanjutnya, ia melibatkan kerabat dan tetangga untuk memproduksi batik. Baginya, sebuah usaha tak akan berkembang bilamana tidak melibatkan keluarga dan tetangga. Terkadang dirinya membeli produk famili, tetangga dan perajin lainnya untuk dipasarkan.

 

“Sebenarnya saya tidak memiliki bekal membatik. Berhubung ada di lingkungan istri yang notabenenya perajin batik, akhirnya saya tertular ilmunya. Sedangkan saya sendiri menularkan cara mempromosikan batik di pasar. Baik kerja sama dengan lembaga pendidikan, organisasi asosiasi batik, dan lainnya. Syukur Alhamdulillah, tempat kami sering dikunjungi mahasiswa dan pelajar untuk belajar membatik,” ungkapnya. 

 

Merintis Batik KaDe

Abd Samad menceritakan, awal mula merintis batik KaDe pada tahun 2020. Pandemi yang menggurita ke seluruh negara, mampu melumpuhkan perputaran perekonomian. Kendati dibatasi aturan, ia memberanikan diri membuka usaha batik.

 

Selain itu, ia memiliki keinginan besar agar batiknya tidak hanya dijual di pasar dan dipakai oleh ASN atau saat acara kondangan. Tapi dipakai oleh kaum milenial, seperti mahasiswa dan pelajar. Oleh karenanya ia mencoba membuat produk yang fashionable.

 

“Awalnya banyak yang nyinyir, karena kala itu masa pandemi. Namun saya tetap optimis, karena kami berkolaborasi dengan sekolah dan membuka agen. Berjalannya waktu, kami bertemu dengan orang Surabaya di cafe yang kala itu lapaknya dipusatkan di situ. Ternyata orang itu butuh batik untuk putrinya yang sedang mengikuti lomba putri cilik Indonesia 2020 di Bali,” curahnya.

 

Saat proses tawar menawar harga, lanjutnya, orang itu minta diskon. Menyikapi hal itu, kata Abd Samad, ia tidak menjualnya, melainkan memberikan 2 motif batik secara cuma-cuma. Namun dengan syarat, putrinya harus juara di perlombaan itu. 

 

Satu bulan kemudian, orang itu mengabarinya bahwa anaknya menang di kejuaraan putri cilik Indonesia. Ia menceritakan percakapannya di telepon bahwa orang pertama yang akan dikunjunginya adalah dirinya sendiri.

 

"Mendengar kabar baik itu, saya beranikan buka toko di Jalan Raya Ceguk Barat, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan, tepatnya di area Terminal Ronggo Sukowati). Untuk menyambutnya, kami desain agar toko kami dilaunching oleh putri cilik Indonesia. Sejak itulah produk kami terkenal di media cetak dan online,” kenangnya.

 

Pembina Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (Gekrafis) Pamekasan ini menegaskan, kendati harga tembakau melonjak tinggi, harga batik tetap standar. Yang menjadi kendala saat ini adalah perajin dan pedagang batik merasa lesu karena produknya tidak laku. Sedangkan di akhir bulan lalu, bahan-bahan batik naik. 

 

“Saya membantah bahwa harga batik naik. Sampai saat ini masih standar. Bagiku, jika saya bisa membayar upah karyawan, memenuhi kebutuhan toko dan keluarga, itu sudah cukup untuk menstabilkan perputaraan ekonomi,” tandasnya.


Madura Terbaru