• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 3 Mei 2024

Metropolis

Dr Nurcholis Majid: Hakikat Haji dalam Kaitannya dengan Status Sosial

Dr Nurcholis Majid: Hakikat Haji dalam Kaitannya dengan Status Sosial
Dr Nurcholis Majid. (Foto: NOJ/istimewa)
Dr Nurcholis Majid. (Foto: NOJ/istimewa)

Surabaya, NU Online Jatim

Haji adalah perjalanan ziarah ke Baitullah di Makkah, yang dilaksanakan pada waktu tertentu di tahun Hijriyah. Ibadah haji merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu secara fisik, finansial, dan memiliki kesempatan untuk melakukannya. 

 

Dr Nurcholis Majid, Pengurus Aswaja NU Center PWNU, mengungkapkan bahwa haji bukanlah kunjungan biasa. Ibadah ini memiliki syarat dan rukun yang harus dipenuhi sesuai tuntunan Rasulullah SAW. 

 

“Mereka yang datang berhaji adalah orang-orang yang mendapat panggilan dari Allah SWT dan bukan untuk berwisata semata. Maka, sangat penting untuk melakukan niat berhaji dengan benar dan menyadari makna sejatinya,” katanya.

 

Dalam Al-Qur’an telah di tegaskan, berhaji harus dilakukan semata-mata untuk Allah SWT, bukan untuk mencari gelar atau status sosial. Dan barang siapa berhaji hanya untuk mendapatkan gelar haji tanpa keikhlasan dan niat baik maka tidak akan mendatangkan pahala padanya.

 

“Wa atimmul hajja wal umrota lillah, jangan kalian jadikan mendapat gelar haji sebagai niat untuk berhaji, karena kita tidak mendapat pahala,” jelasnya.

 

Perlu diingat, bahwa akulturasi budaya dalam haji ini diperbolehkan, namun tetap harus mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan secara mutlak oleh Allah. Dalam hal ini, terdapat peraturan taukifi (langsung dari Allah) dan ta'aquli (aturan tertulis tapi tidak mutlak). Tradisi seperti tasyakuran haji di Indonesia boleh dilakukan, namun harus tetap bersyukur dan tidak sampai terlena.

 

“Berekspresi, berijtihad, berkreasi san berinovasi boleh dalam konteks haji. Bukan hajinya yang kita akulturasikan tapi selepas hajinya yang menjadi tradisi seperti unjung-unjung, tradisi minta do’a kemudian ada yang memberi oleh-oleh. Itu semua tradisi dan itu jangan dijadikan sebagai problem atau masalah yang menghambat orang untuk melakukan atau pergi haji,” ungkapnya.

 

Terkait kewajiban berhaji, Nurcholis menjelaskan bahwa orang yang kaya harta namun tidak ingin berhaji dianggap dosa, tapi lain halnya dengan orang yang belum mampu karena belum mendapat panggilan dari Allah. “Dan mereka yang tidak meyakini haji sebagai kewajiban bisa dianggap murtad,” tegasnya.

 

Dirinya juga mengungkapkan hukum haji atau umroh yang hanya dijadikan ajang pencitraan sosial (pansos) ini harus dihindari, dan tidak seharusnya hal-hal yang bersifat pribadi diposting. Islam tidak melarang berbagi pengalaman, tetapi harus dilakukan dengan tidak berlebihan.

 

“Jangan terlalu ceroboh, jangan terlalu fulgar dalam membagikan moment di media sosial. Ini bisa jadi buruk bagi kita,” ujarnya.

 

Terakhir ia menjelaskan bahwa ibadah haji mengajarkan tentang kesetaraan, menjaga ukhuwah (persaudaraan), serta memberikan pembelajaran tentang kesederhanaan. Karena, pada dasarnya, tidak ada yang membedakan manusia kecuali taqwa.

 

“Dengan pemahaman yang benar tentang hakikat berhaji, semoga umat muslim dapat melaksanakan ibadah ini dengan sepenuh hati dan membawa perubahan positif dalam diri serta perilaku mereka setelah pulang dari tanah suci,” pungkasnya.

 

Penulis: Diah Nur Asy'syifa Islamaya


Metropolis Terbaru