• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Metropolis

Konsep Akad Wakalah dalam Investasi Dana Haji BPKH

Konsep Akad Wakalah dalam Investasi Dana Haji BPKH
Sosialisasi pengelolaan keuangan haji dan akad wakalah beberapa waktu lalu. (Foto: NOJ/ ISt)
Sosialisasi pengelolaan keuangan haji dan akad wakalah beberapa waktu lalu. (Foto: NOJ/ ISt)

Surabaya, NU Online Jatim

Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu tentang pemanfaatan dana haji yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) untuk pembangunan infrastruktur dalam negeri mengundang banyak respons. Ia menjadi isu hangat yang banyak diperbincangkan, baik dalam seminar, bahtsul masail, hingga media sosial. Terutama aspek pijakan fiqih yang mendasari pada implementasi akad muamalah dalam pengelolaan dana keuangan haji di Indonesia.

 

Abdussalam selaku Manajer Keuangan BMT UGT Nusantara mengatakan, pengelolaan dana haji oleh BPKH untuk kepentingan investasinya, sangat terkait erat dengan sighat akad antara calon jamaah haji yang merupakan pemilik sah dana haji dengan pemerintah yang dulu diwakili oleh Kemenag, sebagai pihak wakil yang mengurus ibadah haji para calon jamaah haji (CJH).

 

Disebutkan, Sighat akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad yang menunjukkan atas apa yang ada dalam hati keduanya tentang terjadinya suatu akad. Abdussalam menyebut demikian dalam tulisannya berjudul ‘Telaah Kritis terhadap Implementasi Akad Pengelolaan Dana Haji Indonesia Oleh BPKH Pada Fatwa DSN MUI No. 122/DSN-MUI/II/2018 tentang Pengelolaan Dana BPIH’.

 

“Sighat akad dapat dilakukan dengan cara lisan, tulisan, atau isyarat yang memberi pengertian dengan jelas tentang adanya ijab qabul (serah terima), dan dapat berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijabdan qabul,” ujarnya.

 

Jika melihat UU PKH No.34 tahun 2014, terlihat bahwa UU ini hanya berbicara urusan BPKH yang mengelola keuangan haji, yang mencakup dana yang dititipkan melalui setoran bakal calon jamaah haji. “Sekali lagi, konstruksi hukum dan hubungan hukumnya adalah penitipan uang,” tegas Abdussalam.

 

Melihat isi klausul ini, lanjutnya, sepertinya akad muamalah yang tersirat dalam pengelolaan dana ini adalah akad wadiah (titipan dana), karena akad muamalah yang mengakomodir dan menjelaskan tentang titipan seseorang kepada orang lain, adalah akad wadiah.

 

“Hal tersebut merujuk Pasal 7 ayat (1) UU PKH yang menyebutkan bahwa dana setoran haji itu ‘status hukumnya adalah titipan’ sebagaimana disebut dengan dana titipan jamaah haji. Hal ini berarti bahwa secara negasi dana titipan itu bukan dana pemerintah dan bukan dana milik BPKH. Tidak ada diksi apalagi norma dan klausul dalam UU PKH yang menyebut adanya pemberian kuasa (akad wakalah) dari pemilik dana kepada sang penerima kuasa untuk mengelola,” ucapnya.

 

Berdasarkan pembahasan tersebut, dalam Pasal 1 angka 4 UU PKH No.34 tahun 2014, hanya disebutkan bahwa BPKH merupakan lembaga yang melakukan pengelolaan keuangan haji. Dalam ketentuan tersebut, BPKH disebut sebagai penerima kuasa atas dana titipan jamaah haji untuk dikelola sendiri, yang demi hukum dianggap telah menerima kuasa dari penyetor calon jamaah haji yang menyetorkan BPIH dan/atau BPIH Khusus.

 

Akad Wakalah
Abdussalam mengatakan, ketentuan mengenai pengisian dan penandatanganan akad wakalah antara calon jamaah haji dengan pemerintah (yang diwakili oleh Kemenag) baru kemudian menjadi jelas, setelah melihat praktik yang terjadi saat calon jamaah haji menyetorkan dana hajinya ke perbankan syariah.

 

“Di sana terdapat lembar formulir setoran BPIH yang mengatur tentang akad pemberian kuasa (akad wakalah) antara jamaah haji dengan kementerian agama. Semua ketentuan ini telah diatur dan disepakati dalam Perjanjian Kerja Sama antara Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Kementerian Agama, dengan Bank Penerima Setoran BPIH tentang penerimaan dan pembayaran BPIH,” terangnya.

 

Dalam formulir akad wakalah setoran awal BPIH, tambah Abdussalam, calon jamaah haji selaku Muwakkil memberikan kuasa kepada Kementerian Agama selaku Wakil, untuk menerima dan mengelola dana setoran awal BPIH yang telah disetorkan melalui Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah sebagai Bank Penerima Setoran (BPS) BPIH yang ditunjuk oleh BPKH.

 

“Hal itu sesuai dengan ketentuan UU No.34 tahun 2014 pasal 1 ayat (7) dan pasal 6 ayat (2) sebagaimana penjelasan sebelumnya. Penerapan akad wakalah juga diatur ketika keuangan haji dikelola oleh BPKH,” tutur Abdussalam.

 

Dirinya menyampaikan, UU Nomor 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji dan PP. No. 5 tahun 2018 tentang pelaksanaan UU tersebut, mengatur bahwa BPKH selaku Wakil akan menerima mandat dari calon jamaah haji selaku Muwakkil untuk menerima dan mengelola dana setoran BPIH.

 

“Dari sini menjadi jelas, bahwa akad yang mendasari antara calon jamaah haji dengan BPKH adalah akad wakalah,” kata Abdussalam.

 

Ia menambahkan, bahwa ketentuan akad muamalah terhadap pengelolaan dana haji oleh pemerintah menjadi lebih jelas lagi setelah keluar fatwa DSN MUI NO. 122/DSN-MUI/II/2018 tentang Pengelolaan Dana BPIH Dan BPIH Khusus Berdasarkan Prinsip Syariah. Disebutkan dalam fatwa tersebut, akad muamalah yang mendasari pengelolaan dana BPIH dan BPIH Khusus adalah Akad Wakalah Bil Ujrah. Sehingga BPKH melalui akad wakalah yang sudah ditandatangani oleh setiap CJH ini, memiliki wewenang untuk menempatkan keuangan haji di berbagai investasi.

 

“Dimana nilai manfaat (imbal hasil) atas hasil pengelolaan keuangan haji ini dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kepentingan jamaah haji. Hal ini mengacu pada aturan perundangan terkait pengelolaan dana haji,” pungkasnya.


Metropolis Terbaru