• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Metropolis

Persoalan Rempang-Galang, Rampas Tanah Masyarakat Hukumnya Haram

Persoalan Rempang-Galang, Rampas Tanah Masyarakat Hukumnya Haram
Kerusuhan di Rempang-Galang. (Foto: NOJ/tribunjogja)
Kerusuhan di Rempang-Galang. (Foto: NOJ/tribunjogja)

Surabaya, NU Online Jatim
Kemelut yang terjadi di Rempang, Batam, Kepulauan Riau mendapat respons serius dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dalam pandangan PBNU, persoalan Rempang-Galang merupakan masalah yang terkait pemanfaatan lahan untuk proyek pembangunan. 

 

Dalam pers rilis yang dikeluarkan oleh PBNU, Jumat (15/09/2023), tertulis bahwa pengambilan tanah rakyat oleh negara yang sudah dikelola oleh rakyat selama bertahun-tahun hukumnya haram. Hal tersebut berdasarkan pada hasil Komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyah Al-Waqi'iyah pada Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama.

 

"PBNU berpandangan bahwa tanah yang sudah dikelola oleh rakyat selama bertahun-tahun, baik melalui proses iqtha' (redistribusi lahan) oleh pemerintah atau ihya’ (pengelolaan lahan), maka hukum pengambilalihan tanah tersebut oleh pemerintah adalah haram," bunyi poin kedua dalam pernyataan PBNU itu. 

 

Namun demikian, PBNU perlu menegaskan kembali agar menjadi perhatian semua pihak bahwa hukum haram tersebut jika pengambilalihan tanah oleh pemerintah dilakukan dengan sewenang-wenang. "Hasil Bathsul Masail tersebut tidak serta merta dapat dimaknai menghilangkan fungsi sosial dari tanah sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan konstitusi kita," tulisnya.

 

Selain itu, pemerintah tetap memiliki kewenangan untuk mengambil-alih tanah rakyat dengan syarat pengambilalihan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan, dengan tujuan untuk menciptakan sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan tentu harus menghadirkan keadilan bagi rakyat pemilik dan/atau pengelola lahan.

 

Sejak UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dijalankan, ketimpangan penguasaan agraria dan sumber daya alam semakin mendalam antara sektor pertanian rakyat dan pertanian/perkebunan besar atau antara sektor pertanian dan nonpertanian.


Karenanya, Muktamar Ke-34 NU juga merekomendasikan agar Pemerintah menerbitkan regulasi pembatasan kepemilikan tanah mengingat terjadinya ketimpangan atas hal tersebut.


Sebaliknya, negara atau pemerintah seharusnya hadir memperkuat perlindungan terhadap kepemilikan dan daulat rakyat atas tanahnya. Sebab titik tekan kebijakan pembangunan yang lebih menitikberatkan pada industri menjadikan rakyat sebagai kelompok lemah dan rentan ditindas atas nama pembangunan.


Metropolis Terbaru