• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 25 April 2024

Opini

Menimbang Dampak Fatwa Haram Joget Pargoy

Menimbang Dampak Fatwa Haram Joget Pargoy
MUI Jember secara tegas memfatwakan bahwa hukum joget Pargoy adalah haram. (Foto: NOJ/CNi)
MUI Jember secara tegas memfatwakan bahwa hukum joget Pargoy adalah haram. (Foto: NOJ/CNi)

Baru-baru ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Jember menerbitkan Tausiah Komisi Fatwanya Nomor 02/MUI-Jbr/XI/2022 tentang Joget Pargoy di Kabupaten Jember. Dalam tausiah tersebut, MUI Jember secara tegas memfatwakan bahwa: Hukum joget ‘Pargoy’ adalah haram karena mengandung gerakan erotis, mempertontonkan aurat dan menimbulkan syahwat lawan jenis. 


Joget ‘Pargoy’ dinilai tidak mencerminkan perilaku terpuji (akhlakul karimah) dan menodai nilai-nilai kesopanan, moral dan adat istiadat, khususnya yang berlaku di kabupaten jember. MUI Jember juga mengimbau kepada pemerintah, pengambil kebijakan, dan tokoh masyarakat turut serta membantu melarang kegiatan joget Pargoy.


Apabila membaca secara utuh tausiah yang diterbitkan oleh MUI Jember, tampaknya itu muncul dari keresahan pemuka agama di sana yang melihat sebagian masyarakat Jember memeragakan joget Pargoy beramai-ramai diiringi musik dari parade sound system. Joget Pargoy sendiri mulanya viral di aplikasi Tiktok. Dalam penelusuran Tempo, goyangan itu dianggap berasal dari Sumatra Barat. Masyarakat di sana bergoyang bersama saat acara pesta (party + goyang = pargoy) sambil diiringi musik remix DJ (disc jockey). Goyangan yang viral ini sesungguhnya tidak berbeda dengan joget pada umumnya yaitu menggerakkan bagian tubuh tertentu mengikuti irama.


Fatwa yang terkandung dalam tausiah MUI Jember tersebut bukan satu-satunya yang mengharamkan jenis goyangan tertentu yang trending di Indonesia. Pada tahun 2003, Rhoma Irama dan beberapa tokoh sepemikiran mengharamkan goyang ngebor yang dipopulerkan oleh Inul Daratista. Akibat fatwa tersebut, pedangdut tersohor itu mendapatkan persekusi hingga ancaman nyawa. Menghadapinya, sang biduan akhirnya datang kepada KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk meminta perlindungan. 


Selain Inul, ada beberapa biduan yang menciptakan gaya joget tertentu sebagai ciri khas performa panggunggnya. Dewi Persik—selebritas kelahiran Jember—menciptakan goyang gergaji dan Annisa Bahar punya khas goyang patah-patah. Dua-duanya mendapatkan label haram dari MUI Sumatra Selatan dan dicekal tampil di daerah tersebut. Alasannya tidak jauh berbeda, yaitu mengandung erotisme dan vulgaritas serta mengundang stimulasi seksual (syahwat) bagi yang melihat.


Pernah juga merebak kontroversi joget oplosan yang ditayangkan dalam sebuah program stasiun televisi swasta nasional hingga berujung pencekalan penayangan oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Sesungguhnya masih banyak inovasi goyangan lain yang—boleh jadi—menurut pengamatan sensual MUI tergolong erotis, vulgar, dan mengumbar syahwat sehingga layak diharamkan. Dengan fatwa haram atas goyangan-goyangan tersebut, dapat diinsafi bahwa MUI bermaksud untuk menjaga nilai-nilai kesopanan, moralitas, dan kesusilaan bangsa Indonesia. 


Dalam terminologi hukum Islam, fatwa adalah legal opinion dari seorang atau sekelompok pemuka agama (mufti) yang bersifat opsional. Artinya, masyarakat muslim bisa memilih kepada siapa hendak mendapat jawaban atas suatu perkara. Di Indonesia, lembaga fatwa tidak hanya dimiliki MUI, tetapi juga Nahdlatul Ulama dengan lembaga bahtsul masail-nya, Muhammadiyah dengan majelis tarjihnya, dan lembaga fatwa ormas-ormas keagamaan Islam lainnya. Perbedaan MUI dengan ormas keagamaan lain adalah, bahwa ia didirikan atas dasar instruksi Presiden Soeharto pada tahun 1975. 


Kendatipun kehadirannya diinisiasi oleh negara, keputusan fatwa MUI sejatinya tidak memiliki posisi legal di hadapan sistem hukum nasional. Hanya saja, melihat fakta yang terjadi, sikap dan keputusan MUI terbukti berhasil mempengarui kebijakan negara. Kepentingan MUI untuk mengatur moral bangsa berhasil mendesak pemerintah untuk meresmikan (misalnya) UU No. 44 tahun 2008 tentang pornografi yang mengatur pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan konten pornografi.


Keberhasilan MUI dalam memengaruhi keputusan negara tentu memiliki dampak yang sayangnya tidak selalu positif. Fatwa MUI rentan dipolitisasi oleh negara untuk melakukan kriminalisasi dan justifikasi kekerasan massa. Berkenaan dengan UU pornografi, sebuah laporan menyatakan bahwa regulasi ini justru rentan menjerat korban eksploitasi seksual sebagai tersangka. 


Tidak heran jika para ulama Islam terdahulu menyarankan siapapun yang memiliki kewenangan fatwa supaya berhati-hati memutuskan halal-haram suatu perkara. Bahkan mereka enggan memberi jawaban tegas ini halal atau ini haram kecuali itu benar-benar sarih ditegaskan Al-Qur’an dan hadits. Yusuf al-Qardawi dalam Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam (h. 24-25) menukil, bahwa apabila Imam Ahmad bin Hanbal ditanya mengenai suatu perkara dan beliau berkesimpulan bahwa itu dilarang, jawabanya tidak sampai menyebut ini haram, melainkan ini makruh, aku tidak menganggapnya baik. Begitu pula sikap imam-imam mazhab yang lain. 


Ini mengesankan bahwa para ulama terdahulu tidak mudah mengobral fatwa, lebih-lebih fatwa haram. Dengan memberi fatwa haram, secara teologis itu dapat bermakna bahwa Allah mengazab pelakunya. Kesan memastikan azab Allah inilah yang coba dihindari oleh para ulama terdahulu. Berikut pandangan Muhyiddin ibn ‘Arabi dalam kitab Al-Futuhat al-Makkiyyah tentang ulama yang gemar mengharamkan: 


أَهْلُ الِاجْتِهَادِ يَوْمَ القِيَامَةِ وَهُمْ رَجُلاَنِ الوَاحِدُ يُغَلِّبُ الحُرْمَةَ وَالثَّانِي يُغَلِّبُ رَفْعَ الحَرَجِ عَنْ هذِهِ الأُمَّةِ اسْتِمْسَاكاً بِالآيةِ ورجوعاً إلى الأَصْلِ فهو عِنْدَ اللهِ أَقْرَبُ إِلى اللهِ وَأَعْظَمُ مَنْزِلَةً مِنَ الَّذِي يُغَلِّبُ الحُرْمَةَ إِذ الحُرْمَةُ أَمْرٌ عَارِضٌ عَرَضَ لِلْأَصْلِ وَرَافِعُ الحَرَجِ مَعَ الأَصْلِ


Artinya: Ahl ijtihad (mujtahid) pada hari kiamat ada dua macam. Pertama, mujtahid yang sering mengharamkan. Kedua, mujtahid yang lebih banyak memutuskan hukum sebaliknya demi menghilangkan kesulitan umat manusia dengan berpegang teguh pada prinsip yang tertera dalam Al-Qur’an tentang menghilangkan kesukaran (yakni ayat: مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ).

Mujtahid model kedua ini lebih dekat dan kedudukannya lebih tinggi di sisi Allah daripada mujtahid pertama. Sebab, hukum haram adalah hukum yang sudah berubah dari kondisi asal, sedangkan kondisi asal adalah bahwa hukum itu diciptakan untuk menghilangkan kesulitan umat manusia.


Menurut Ibn ‘Arabi, haram adalah hukum baru (amr ‘aridl) yang cenderung mempersulit manusia. Apabila seorang mujtahid atau mufti ragib mengharamkan, ia telah keluar dari prinsip dasar hukum syariat yang ingin memberikan kemudahan (raf’u al-haraj) bagi umat manusia. 


Dampak fatwa haram juga perlu diantisipasi. Khusus untuk fatwa joget Pargoy MUI Jember, konsistensi fatwa tersebut akan diuji dengan tarian tradisional Nusantara atau gerakan-gerakan senam yang—boleh jadi—menurut pandangan MUI mengundang syahwat. Apakah itu juga diharamkan? Di samping itu, dampak sosial dengan mengajak pemerintah dan tokoh masyarakat untuk terlibat, tausiah tersebut berpotensi membuka peluang kekerasan (persekusi) massa yang menghakimi pelaku joget Pargoy dengan penilaian yang sewenang-wenang (seperti Inul yang dipersekusi berdasarkan definisi subjektif tentang erotisme). Apakah hal ini sudah diantisipasi dan dipikirkan matang-matang? 


*Muhamad Risqil Azizi, Dosen Fakultas Syariah UIN KHAS Jember dan Ma'had Aly Sukorejo Situbondo.


Editor:

Opini Terbaru