• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Senin, 29 April 2024

Opini

Menyambut Peringatan Haul Ke-14 Gus Dur: ‘Korban’ Berkah dari Sang Guru Bangsa

Menyambut Peringatan Haul Ke-14 Gus Dur:  ‘Korban’ Berkah dari Sang Guru Bangsa
Suasana di makam KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). (Foto: NOJ/antara)
Suasana di makam KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). (Foto: NOJ/antara)

Oleh: Mukani

 

Presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) wafat tanggal 30 Desember 2009. Di Pesantren Tebuireng Jombang, puncak acara peringatan haul ke-14 Gus Dur akan digelar Sabtu, 6 Januari 20224.  Rangkaian kegiatan rencananya meliputi Ishari, khatmil Qur’an, shalawat seribu rebana, manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani. Sedangkan sebagai puncaknya, digelar pengajian akbar dengan mengundang Prof Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCINU Australia-New Zealand, dan KH Agoes Ali Masyhuri, Pengasuh Pesantren Bumi Sholawat Sidoarjo.

 

Perubahan

Pasca pemakaman Gus Dur di maqbarah Pesantren Tebuireng, banyak hal berubah. Perubahan itu berlangsung secara perlahan namun pasti, terutama dari faktor ekonomi. Banyak warga di luar Tebuireng yang belum mengetahui. Harga tanah di sekitar Tebuireng tidak sekadar naik, namun menjadi beralih harga. Bahkan berlipat ganda sampai tiga kali lipat. Tidak hanya tanah untuk permukiman, tapi juga untuk harga sawah dan ladang.  Ini yang membuat penulis harus membeli tanah yang agak jauh dari Tebuireng. Karena harga tanah di sekitar Tebuireng sudah terbilang mahal untuk ukuran keluarga penulis.


Sebagai lingkungan pendidikan pesantren, banyak sekolah, madrasah dan perguruan tinggi di sekitar Tebuireng. Ini berakibat banyaknya penginapan dan kos yang disediakan warga sekitar. Bahkan beberapa kasus menunjukkan sudah adanya pesanan sebelum rumah sewa selesai dibangun.  Kondisi ini mendorong banyak para pengembang (developer) yang berinvestasi dengan membangun perumahan. Di lokasi sekitar terminal makam Gus Dur yang juga lebih akrab disebut guru bangsa, rata-rata tanah yang sudah dibeli orang luar lalu dibangun perumahan. Bahkan di desa penulis sudah berdiri tiga perumahan. Padahal lokasinya berjarak dua kilometer dari Tebuireng.


Kios-kios makanan dan minuman juga marak didirikan. Terutama di sekitar maqbarah Tebuireng. Pemiliknya tidak hanya warga sekitar, tapi juga banyak yang berasal dari luar kota. Tentu dengan harga sewa yang lumayan tinggi. Banyak sekolah, madrasah dan pondok pesantren berdiri di sekitar Tebuireng. Semua mengakui, pasca Gus Dur dimakamkan di situ, jumlah santri baru meningkat. Setelah sempat beberapa tahun sebelumnya mengalami penurunan, bahkan drastis.


Keberkahan yang disebar pasca Gus Dur dimakamkan di Tebuireng juga menyangkut aksi sosial. Di Pesantren Tebuireng, sudah didirikan Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng (LSPT). Salah satu pemasukan dari LSPT adalah kotak amal yang ada di sekitar makam Gus Dur. Konon, dalam satu bulan, total donasi dari kotak amal ini tidak kurang dari 250 juta. Donasi yang masuk dari para peziarah dialokasikan semua untuk aksi sosial bagi warga sekitar. Seperti pengobatan gratis, khitan massal, santunan fakir miskin, pendidikan yatim/piatu, bencana alam dan lain sebagainya.


Cerita menarik dituturkan KH Fahmi Amrullah Hadzik, Pengasuh Pondok Tebuireng Putri. Kiai yang juga Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jombang ini menuturkan bahwa suatu saat dirinya bertanya kepada salah satu pengemis yang meminta-minta di sekitar makam Gus Dur. Menurut pengakuan sang pengemis, dirinya setiap hari tidak kurang memperoleh Rp 200.000. Itu termasuk dibilang sepi. Karena biasanya makam Gus Dur akan menjadi makin ramai saat hari Sabtu dan Ahad. Bukan hari Kamis malam Jumat, sebagaimana makam para waliyullah lainnya.


Bahkan saat libur Natal kemarin, terminal parkir makam Gus Dur sudah penuh dengan kendaraan. Baik bus besar, mini bus, mobil ataupun sepeda motor. Parkir kendaraan pun meluber sampai di luar pintu gerbang halaman parkir. Padahal saat itu baru menunjukkan jam 9 pagi.

 

Sejarah Monumental

Satu hal yang banyak belum disadari dari sosok Gus Dur. Padahal itu baru pertama kali terjadi di dunia. Pergantian nama jalan yang membentang mulai Ringin Contong hingga kampus Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang. Kampus yang Gus Dur pernah menjadi rektornya, setelah lengser dari jabatan Presiden RI. Awalnya, jalan yang membujur dari barat ke timur itu bernama Jalan Merdeka. Ringin Contong sendiri identik dengan jantung Kota Jombang. Namun pada 2012, jalan itu diubah menjadi nama Gus Dur.


Jalan Gus Dur ini menyambung ke Jalan KH Wahid Hasyim yang membujur ke selatan dari Ringin Contong sampai stasiun Jombang. Yang kemudian dilanjutkan dengan Jalan KH Hasyim Asy’ari, mulai dari stasiun Jombang hingga Mojosongo. Ini berarti ada tiga generasi yang namanya diabadikan menjadi sebuah jalan. Yaitu Gus Dur (cucu), KH Wahid Hasyim (ayah) dan KH Hasyim Asy’ari (kakek). Dan, ini baru pertama kali terjadi di kolong langit ini. Sebuah sejarah monumental lagi yang dicatatkan seorang tokoh NU.


Keberkahan yang disebar oleh Gus Dur, meskipun sudah wafat, tidak sekadar diceritakan. Sudah saatnya dijaga agar bisa dinikmati generasi berikutnya secara berkesinambungan. Sehingga ke depan nilai-nilai yang diajarkan Gus Dur akan tetap lestari di bumi pertiwi.


Sebagai anak bangsa, sudah sepatutnya menghargai perjuangan yang sudah dilakukan generasi sebelumnya. Menghargai dalam arti menjunjung tinggi usaha yang sudah dilakukan. Terutama dalam menjaga toleransi yang diajarkan Gus Dur saat menyikapi realita Indonesia yang majemuk.


Nahdliyin sudah saatnya banyak belajar dari prinsip-prinsip yang dipegang teguh oleh para tokoh besar Indonesia, salah satunya Gus Dur. Kesederhanaan Gus Dur dalam hidup sudah saatnya menjadi new spirit bagi para aparatur pemerintahan ketika melayani rakyat, bukan selalu menuntut hak terlebih dahulu. Netralitas Gus Dur dari ambisi kekuasaan patut ditiru oleh para calon pemimpin negeri ini sebelum terjun ke dunia politik praktis. Sudah saatnya para elit di negeri ini tidak terjebak kepada pemenuhan aksesoris sosial, seperti kekayaan, jabatan dan popularitas. Tetapi lebih berorientasi kepada realisasi dari konsep reformasi kultural secara substantif-filosofis.


Inilah sebenarnya beberapa agenda besar yang patut menjadi tugas bersama pasca Gus Dur wafat. Agar ke depan, karakter Gus Dur tidak akan mati dalam membangun negeri. Gus Dur adalah sosok yang memang layak untuk diteladani oleh para penerus bangsa. Tidak peduli asal suku, agama dan partai politik. Dan, tidak sekedar ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Wallahu A’lam bil Shawab.

 

Mukani adalah Kepala Literacy Center Lembaga Ta'lif wan Nasyr PWNU Jawa Timur


Editor:

Opini Terbaru