• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Opini

Relasi Akrab Bung Tomo dan KH M Hasyim Asy’ari 

Relasi Akrab Bung Tomo dan KH M Hasyim Asy’ari 
Bung Tomo kerap berkonsultasi kepada KH M Hasyim Asy'ari. (Foto: NOJ/IMA Jateng)
Bung Tomo kerap berkonsultasi kepada KH M Hasyim Asy'ari. (Foto: NOJ/IMA Jateng)

“Mas Tom, saya ini kan orang Kristen. Tapi kenapa waktu itu kalau mendengar Mas Tom mengucapkan Allahu Akbar, Allahu Akbar, saya ini rasanya lupa semua. Saya tinggalkan segalanya untuk pergi berjuang.” ungkap dokter Siwabessy, veteran 45, kepada Bung Tomo.

 

“Karena anda mengetahui artinya Allahu Akbar (Allah Mahabesar) itu, maka Anda telah meninggalkan segalanya pergi berjuang.” jawab Bung Tomo. [1]

*

Ada dua manusia Indonesia yang dianugerahi Allah kemampuan berorasi yang memukau. Pilihan diksinya menarik, intonasinya tertata, dan ada semangat yang mengalir dalam setiap kata yang mereka ucapkan. Dua orang ini adalah Bung Tomo dan Bung Karno. 

 

Dalam Bung Tomo Menggugat, pria bernama Sutomo ini mengaku apabila dirinya dan Mbah Notosudarmo, kakeknya, adalah pengagum berat Bung Karno. Sutomo, yang lahir di Surabaya pada 3 Oktober 1920 mengaku apabila dirinya pernah diajak berpanas-panasan oleh kakeknya untuk sekadar mendengarkan pidato Bung Karno di awal 1930-an. Kakeknya dengan bangga menceritakan kiprah Bung Karno kepada Sutomo. [2]

 

Kelak, Sutomo pertama kali berpidato di hadapan para kaum pergerakan di zaman Jepang pada saat pembentukan Gerakan Rakyat Baru dengan gaya dan intonasi yang bisa dibilang menjiplak Bung Karno. Namun, lucunya, di dalam pidato tersebut Sutomo malah mengkritik Bung Karno yang dianggap terlalu lembek di hadapan Jepang. Meskipun mendengarkan dengan wajah memerah, Bung Karno tetap memberikan apresiasi kepada Sutomo.

 

Tak hanya itu, setelah berpidato dengan suara bergetar, dia mendapatkan tepukan di pundak dari sosok di belakangnya. Laki-laki ini mengapresiasi pidato Sutomo, yang saat itu menjadi wartawan Domei (embrio kantor berita Antara), dengan memberikan pujian, “Ya begitulah, nak, seharusnya. Kalau bukan yang muda-muda yang memulai, siapa lagi yang akan berani,” kata laki-laki ini, yang ternyata adalah KH Mas Mansur, salah seorang petinggi Muhammadiyah, yang juga menjadi salah satu tokoh Putera (Pusat Tenaga Rakyat) di zaman Jepang, selain Bung Karno, Bung Hatta, dan Ki Hajar Dewantara. [3] 

 

Setelah Jepang menyerah takluk di hadapan Sekutu, dan para pemuda Surabaya merebut gudang senjata milik Kaigun (AL Jepang) dan Kempeitai (Polisi Militer Jepang), sinar Bung Tomo mulai moncer. Bersama para pemuda lainnya, dia keluar dari Pemuda Rakyat Indonesia (PRI) yang cenderung kekiri-kirian, lalu membentuk BPRI alias Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia yang memiliki cabang hampir di seluruh Indonesia. [4]

 

Menjelang pertempuran Surabaya, Bung Tomo senantiasa mengobarkan semangat rakyat dengan orasinya yang memukau melalui RRI maupun Radio Pemberontak. Dalam Memoar Hario Kecik, pidato Bung Tomo disebut sebagai salah satu ‘kegemaran’ warga saat itu. Namun, di antara ciri khas yang paling kelihatan dari pidatonya adalah senantiasa diakhiri dengan pekik takbir. Bukan hanya kalangan muslim taat yang tergerakkan oleh pidato dan pekik takbirnya, melainkan pula mereka yang berasal dari kalangan ‘merah’, kaum abangan. [5] Bahkan, salah seorang warga non-muslim yang mendengar pidato Bung Tomo merasa bergetar manakala mendengar pekik takbirnya, sebagaimana kutipan di awal tulisan ini.

 

Dari mana Bung Tomo mendapatkan inspirasi takbir sebagai penutup orasinya? Jawabannya: atas saran KH M Hasyim Asy’ari. Bung Tomo memang dekat secara personal dengan pendiri NU tersebut. Sebelum Indonesia merdeka, aktivitas Bung Tomo sebagai wartawan kantor berita Jepang, Domei, cukup membuka koneksinya dengan keluarga Tebuireng. Maka tak heran jika ketika hawa politik Surabaya mulai memanas, Bung Tomo berangkat ke Jombang, sowan meminta nasehat kepada Kiai Hasyim. [6] Dengan pertemuan itulah dia kemudian tergerak menutup orasi dengan pekik takbirnya yang legendaris tersebut. 

 

Hubungan antara Bung Tomo dengan keluarga Tebuireng menguat manakala dibentuk Gerakan Rakyat Baru sebagai pengganti Jawa Hokoo Kai (Kebaktian Jawa) yang dianggap terlalu berbau Jepang. Keterlibatan Bung Tomo dalam badan ini adalah berkat rekomendasi dari KH A Wahid Hasyim dan Bung Hatta. [7] 

 

Logikanya, jika tidak mengenal dengan dekat dan hangat, mustahil Kiai Wahid mau merekomendasi Bung Tomo masuk dalam organisasi tersebut. Terlebih, di kemudian hari, baik Bung Tomo maupun Kiai Wahid Hasyim sama-sama menjadi inner circle Panglima Besar Sudirman.

 

Salah seorang putra Kiai Hasyim, KH A Karim Hasyim (Akarhanaf), dalam karyanya, Kiai Hasjim Asjari Bapak Umat Islam Indonesia, yang diterbitkan pada tahun 1950, memberikan kesaksian apabila Bung Tomo dan Jenderal Sudirman beberapa kali bertandang ke Tebuireng. Relasi ini bahkan terjalin hingga menjelang wafatnya ulama besar tersebut.

 

Malam itu, tanggal 3 Ramadan 1366 H., bertepatan dengan tanggal 21 Juli 1947, pukul 9 malam, Kiai Hasyim baru saja selesai mengimami shalat tarawih. Seperti biasa, beliau duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Kiai Hasyim menemui utusan tersebut didampingi Kiai Ghufron Faqih, pimpinan Barisan Sabilillah Surabaya. Sang tamu menyampaikan surat dari Panglima Besar Sudirman.
Kiai Hasyim meminta waktu satu malam untuk berpikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya. Isi pesan tersebut adalah:

 

1. Di wilayah Jawa Timur, Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Besuki, Surabaya, Madura, Bojonegoro, Kediri dan Madiun.

 

2. Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari dimohon berkenan mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab, jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan runtuh.

 

3. Jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan untuk membantu pengungsian Kiai Hasyim.

 

Keesokan harinya, pendiri NU itu memberi jawaban tidak berkenan menerima tawaran tersebut.

 

Empat hari kemudian, tepatnya tanggal 7 Ramadan 1366 H, pukul 9 malam, datang lagi utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Kurir ini membawa surat untuk disampaikan kepada Kiai Hasyim. Isinya, Bung Tomo memohon kepada Kiai Hasyim agar mengeluarkan komando Jihad Fi Sabilillah bagi umat Islam Indonesia, karena saat itu Belanda sudah menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak anggota Hizbullah dan Sabilillah, dua kelaskaran santri dan kiai, yang gugur sebagai syuhada. Hadratussyekh kembali meminta waktu satu malam untuk memberi jawaban.

 

Tak lama berselang, Kiai Hasyim mendapatkan laporan dari Kiai Ghufron (pimpinan Barisan Sabilillah Surabaya) bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa kota Singosari, Malang, yang merupakan benteng Hizbullah dan Sabilillah, telah jatuh ke tangan Belanda. Kondisi para pejuang tersudut dan korban rakyat sipil semakin meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berujar: “Masya Allah, Masya Allah…” sambil memegang kepalanya. 

 

Kemudian beliau tidak sadarkan diri. Oleh dokter, beliau didiagnosa menderita pendarahan otak. Pada pukul 03.00 dinihari, bertepatan dengan 7 Ramadan 1366 H/25 Juli 1947, Sang Mahaguru berpulang ke Rahmatullah. [8]

 

*

Kiai Hasyim memang bukan kiai eksklusif. Beliau terbuka untuk ditemui siapapun. Bukan hanya kepada Bung Tomo dan Jenderal Sudirman, melainkan kepada siapapun yang sanggup berjuang mempertahankan kemerdekaan RI. Bahkan, dua hari setelah pecahnya pertempuran 10 Nopember 1945, Kiai Hasyim masih sempat menerima kunjungan Tan Malaka. Nama terakhir ini berkunjung pada tanggal 13 Nopember 1945. Kunjungan sejak jam 21.00 WIB ini berlangsung hingga subuh. Banyak hal yang didiskusikan oleh kedua sosok yang kemudian diangkat sebagai pahlawan nasional ini.

 

Hanya saja, keesokan  harinya, ketika Tan Malaka dan kawan-kawan yang berangkat dari Yogyakarta ini mau berangkat menuju front Surabaya, mereka dihadang anak buah Bung Tomo dari BPRI setempat. Mereka memeriksa kelengkapan surat-surat yang dibawa Tan Malaka, lalu menahannya di Markas BPRI. Sore harinya, Tan Malaka dan kawan-kawannya dengan tanpa alasan yang jelas dibawa ke kepolisian Mojokerto dan ditahan di sana tanpa melalui prosesdur pemeriksaan seperti biasanya. Keesokan harinya, dia dibebaskan. 

 

Harrry A Poeze mencatat apabila ada peranan Barisan Sabilillah dalam pembebasan Tan Malaka dari penahanan aparat kepolisian. Di sinilah uniknya. BPRI-nya Bung Tomo menahan Tan Malaka yang saat itu dicurigai sebagai agen NICA, [9] lalu dia dibebaskan atas upaya Barisan Sabilillah yang saat itu komando tertinggi dipegang oleh Kiai Masjkoer, seorang santri KH M Hasyim Asy’ari. Sikap inklusif dan menjadi payung yang menaungi semua anak bangsa tampak dalam sikap keseharian beliau. Tidak membeda-bedakan. Beliau bersikap layaknya seorang ayah yang menyayangi semua anaknya, lebih tepatnya anak-anak revolusi.

 

Wallahu a'lam bisshawab.

 

[tulisan ini telah dimuat di buku karya Rijal Mumazziq, "Surabaya: Kota Pahlawan Santri". Bagi yang tertarik silakan hubungi nomor: 085-645-311-110] 

 

Catatan Kaki:
[1] Sutomo (Bung Tomo), Bung Tomo Menggugat: Pemikiran, Surat, dan Artikel Politik (1955-1980) (Jakarta: Visimedia, 2008), hal. 226

 

[2] Sutomo (Bung Tomo), Bung Tomo Menggugat: Pemikiran, Surat, dan Artikel Politik (1955-1980), hal. 103-104.  

 

[3] Sutomo (Bung Tomo), Bung Tomo Menggugat: Pemikiran, Surat, dan Artikel Politik (1955-1980), hal. 109.

 

[4] Ketika mengisi acara Jamaah Kopdariyah di Magelang, 27 Agustus 2017, saya sepanggung dengan Pak Abak, 90 tahun. Beliau adalah salah satu anggota BPRI Magelang yang terlibat pertempuran di Kampung Tulung, Magelang Tengah, 28 Oktober 1945. Menurutnya, ada 42 pejuang yang gugur dalam pertempuran melawan tentara Sekutu yang didukung tentara Gurkha dan sisa-sisa serdadu Jepang. Pak Abak berada di bawah komando (Kolonel) Sukardi yang juga berada di bawah kelaskaran BPRI-nya Bung Tomo. Menurutnya, hampir setiap malam Bung Tomo melalui radio mengobarkan semangat perjuangan kepada anak buahnya.

 

[5] Agus Sunyoto, Fatwa dan Resolusi Jihad: Sejarah Perang Rakyat Semesta di Surabaya, 10 Nopember 1945 (Jakarta: Lesbumi dan Pustaka Pesantren Nusantara), hal. 268

 

[6] Majalah Tempo, edisi Surabaja di Tahun 45, 9-15 Nopember 2015, halaman 58-59.

 

[7] Sutomo (Bung Tomo), Bung Tomo Menggugat: Pemikiran, Surat, dan Artikel Politik (1955-1980), hal. 107.

 

[8] Mubarok Yasin dan Fathurrahman Karyadi, Profil Pesantren Tebuireng (Jombang: Pustaka Tebuireng, 2011), hal. 65-66.

 

[9] Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hal. 159-160.
 


Editor:

Opini Terbaru