Opini

Tantangan Literasi Digital Generasi Muda NU

Ahad, 18 Mei 2025 | 21:00 WIB

Tantangan Literasi Digital Generasi Muda NU

Ilustrasi digitalisasi dakwah bagi generasi muda NU. (Foto: NOJ/ freepik)

Oleh: Agus Nu’man *)

Dunia digital sudah menjadi medan baru perjuangan ideologi dan dakwah. Derasnya arus informasi ini turut membersamai tumbuh dan perkembangan generasi muda, termasuk di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Hampir setiap hari mereka bersentuhan dengan media sosial, mesin pencari, dan berbagai kanal konten keagamaan. Namun, di balik kemudahan akses ini, ada tantangan besar, yaitu rendahnya literasi digital dan lemahnya kemampuan untuk memilah dan memilih informasi yang benar, moderat, dan sesuai dengan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah. 

 

Melek media tidak selalu berarti melek makna. Banyak generasi muda NU aktif di media sosial, tetapi belum tentu mampu membedakan antara konten agama yang otoritatif dan yang manipulatif. Celah inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh berbagai kelompok dengan agenda ideologis transnasional, baik yang bercorak ekstrem maupun liberal untuk masuk melalui narasi-narasi keagamaan yang tampak menarik dan populis, namun menyimpang dari tradisi keilmuan pesantren.

 

Kondisi ini menjadi semakin kompleks karena media sosial membentuk echo chamber atau lingkungan yang memperkuat bias dan cenderung menyaring hanya informasi yang sejalan dengan preferensi pengguna. Dalam ruang yang seperti ini, sangat mungkin seorang remaja NU secara tidak sadar terseret pada narasi-narasi yang menjauhkan mereka dari NU baik dari sisi pemikiran, amaliyah, maupun komitmen keorganisasian. 

 

Sebagai organisasi yang berakar kuat pada tradisi pesantren, NU sebenarnya memiliki modal besar. Jaringan kiai, pesantren, madrasah, dan lembaga pendidikan tinggi NU tersebar di seluruh Indonesia. Akan tetapi, modal ini belum sepenuhnya dikonversi ke dalam kekuatan digital. Masih banyak kalangan muda NU yang aktif di ruang digital sebagai individu, bukan sebagai bagian dari gerakan dakwah kolektif yang terorganisir. 

 

Maka, tantangan literasi digital di kalangan muda NU tidak hanya menyangkut kecakapan teknis seperti kemampuan mengoperasikan media sosial atau membuat konten saja, tetapi juga menyangkut kesiapan ideologis dan kultural. Generasi muda NU perlu dibekali dengan kemampuan membaca realitas digital secara kritis, membedakan antara otoritas keilmuan dan opini liar, serta memahami pentingnya sanad keilmuan dalam menyerap ajaran Islam.

 

Peran Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) di berbagai tingkatan menjadi sangat strategis dalam hal ini. LTNNU bisa menjadi pusat produksi konten keislaman yang ramah digital, berbasis pesantren, dan mampu menjawab tantangan zaman. Program pelatihan jurnalistik warga NU, workshop konten dakwah kreatif, hingga literasi digital berbasis masjid dan pesantren, adalah langkah konkret yang bisa dikembangkan lebih luas. 

 

Sebagai contoh, di Situbondo sendiri, LTNNU mulai merintis kegiatan-kegiatan dokumentasi digital dan pembuatan konten lokal berbasis kearifan pesantren. Namun, upaya seperti ini memerlukan dukungan struktural, kolaborasi lintas lembaga, dan penguatan kapasitas SDM secara berkelanjutan. Tidak cukup jika hanya satu-dua kali pelatihan harus ada ekosistem dakwah digital yang hidup, dinamis, dan berbasis kaderisasi. 

 

Di samping itu, NU juga perlu mendorong hadirnya role model dari kalangan muda NU yang aktif di media sosial namun tetap memegang nilai-nilai keaswajaan. Mereka bisa menjadi penghubung antara generasi milenial dengan tradisi ulama. Sudah saatnya NU tidak hanya hadir dalam forum keilmuan konvensional, tetapi juga dalam bentuk kanal YouTube, akun TikTok edukatif, hingga podcast yang menggugah.

 

Akhirnya, melek digital bukan berarti harus kehilangan jati diri ke-NU-an. Sebaliknya ruang digital adalah ladang subur untuk menanam dan menyuburkan nilai-nilai tawassuth, tasamuh, tawazun, dan i’tidal. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk hadir secara kolektif, berpikir kritis, dan mengisi ruang digital dengan narasi-narasi keislaman yang sejuk, mendalam, dan mencerahkan. 

 

Terakhir, bila NU ingin tetap relevan dan menjadi arus utama di masa depan, maka generasi mudanya harus disiapkan tidak hanya untuk hidup di zaman digital, tapi juga berdaya dalam dunia digital sebagai Nahdliyin yang kritis, kreatif, dan tetap setia pada Manhaj Aswaja.

 

*) Agus Nu’man, pengurus LTNNU Situbondo sekaligus Dosen STAI Nurul Huda, Kapongan, Situbondo.