• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 25 April 2024

Parlemen

Gus Fawaid Soroti Maraknya Gus Dadakan demi Politik 2024

Gus Fawaid Soroti Maraknya Gus Dadakan demi Politik 2024
Gus Fawaid, Presiden Laskar Shalawat Nusantara. (Foto: NOJ/A Toriq)
Gus Fawaid, Presiden Laskar Shalawat Nusantara. (Foto: NOJ/A Toriq)

Surabaya, NU Online Jatim

Ada yang mulai marak seiring dengan akan memasuki tahun politik 2024 mendatang. Salah satunya yang dianggap merugikan masyarakat adalah maraknya kalangan yang mengaku dirinya sebagai putra kiai atau gus. Padahal hal tersebut hanya pencitraan jelang tahun politik mendatang.


Penegasan disampaikan  Wakil Bendahara Rabithah Ma’ahid al Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU) Jawa Timur, Muhammad Fawaid. Dalam pandangannya, banyaknya orang-orang mendadak mengaku gus atau lora (sebutan anak kiai) hanya untuk kepentingan politik 2024.


Gus Fawaid berharap sebutan identitas tersebut tidak dipermainkan hanya gara-gara kepentingan sesaat, apalagi hanya untuk kepentingan politik. "Saya ingat disampaikan Ketua Umum PBNU harus menghindari politik identitas," katanya, Kamis (09/03/2023).


Menurut Gus Fawaid, sebutan gus adalah salah satu simbol agama sesuai kultur masyarakat Jatim. Jadi jika dipakai sembarangan apalagi dimain-mainkan, maka yang terkena citra Islam sendiri.


"Ulama itu simbol agama dan pewaris nabi. Ini ada haditsnya lagi sehingga tak bisa dibuat main-main," jelasnya.


Lebih lanjut, Presiden Laskar Shalawat Nusantara (LSN) ini, mengatakan, sanad keilmuan seorang gus harus jelas historisnya. Sebab, hal tersebut berkaitan segala tindak tanduk yang pasti berpengaruh kepada warga, khususnya warga Nahdlatul Ulama atau Nahdliyin karena sangar menghormati sosok gus.


Lebih lanjut ia mengatakan sebetulnya sebutan gus dan lora tersebut merupakan penghargaan masyarakat terhadap putra dari ulama di kalangan Nahdliyin. Jika seenaknya disematkan, hal tersebut pastinya akan merugikan ulama dan gus yang sebenarnya.


"Tentunya sebagai santri tidak terima kalau sembarangan digunakan ke hal-hal yang tak bisa dipertanggungjawabkan," tandasnya.


Editor:

Parlemen Terbaru