• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Pustaka

Perjumpaan Muslim dan Non-Muslim dalam Relasi Mubadalah

Perjumpaan Muslim dan Non-Muslim dalam Relasi Mubadalah
Sampul buku Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama. (Foto: NOJ/ Istimewa)
Sampul buku Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama. (Foto: NOJ/ Istimewa)

Sepanjang sejarah relasi antara Muslim dan non-Muslim mengalami pasang surut. Terkadang berinteraksi secara damai, saling memahami, bekerja sama, dan saling toleran. Akan tetapi tidak jarang juga relasi mereka diwarnai dengan ketegangan, saling curiga, merendahkan, mendominasi, saling berebut kebenaran, memaksakan kehendak, bahkan sampai terjadi pertumpahan darah.

 

Perjumpaan yang keras antara Muslim dan non-Muslim berpotensi atau sering membuat malapetaka yang menelan harta benda hingga nyawa. Oleh karena itu ketika terjadi pertikaian, maka jalan perdamaian atau rekonsiliasi perlu dilakukan. Perbedaan identitas manusia penghuni bumi adalah kenyataan yang tidak dapat ditepis, karenanya harus diterima. Manusia memang diciptakan dengan identitas, ciri-ciri, agama, sifat, karakteristik yang majemuk.

 

Keragaman identitas dan perbedaan simbol itu, khususnya agama, bukanlah jaminan untuk meraih kebahagiaan hidup dalam pergaulan bersama. Konsep “mubadalah” atau kesalingan ini amat penting karenanya harus menjadi nyata dalam pergaulan antara Muslim dan non-Muslim, baik sebagai individu maupun sebuah komunitas. Kesalingan tersebut menyiratkan urgensi kesalingan yang menjadi tujuan diutusnya para rasul, bukan saja adil terhadap kerabat, melainkan juga tidak memperlakukan musuh kebencian yang melampaui batas. Sebagaimana firman Allah, ”Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Bersikap adillah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa.” (QS. Al-Maa’idah [5]: 8)

 

Melalui buku sebelumnya, Qiraah Mubadalah, Faqihuddin mengupas mengenai konsep mubadalah dalam keterkaitannya dengan relasi gender. Permasalahan relasi antara laki-laki dan perempuan yang sebelumnya diiringi dengan beragam perspektif, ia tawarkan dengan konsep mubadalah yang ia temukan. Kata mubadalah umumnya dikenal dengan arti kesalingan dan kerja sama. Tetapi dalam google hanya merujuk pada relasi sinergis antara dua belah pihak, bukan hierarkis terutama laki-laki dan perempuan.

 

Sebagaimana yang dijelaskan penulis dalam buku ini, relasi mubadalah tidak selalu memuat dimensi tentang gender. Bisa juga kelas pekerja dan majikan, atau antar warga dalam sebuah negara-bangsa, seperti relasi Muslim dengan non-Muslim. Prinsip utama dari mubadalah adalah mengenai relasi yang bermartabat, adil dan maslahah (hal. 17)

 

Bermartabat berarti kedua pihak memandang penting dan mulia untuk menjalin relasi. Adil artinya menuntut yang memiliki kapasitas serta kemampuan untuk mengayomi dan memberdayakan yang kurang kapasitas. Maslahah artinya kedua pihak yang berelasi sama-sama menjadi subjek untuk melakukan dan memperoleh kebaikan atas dampak dari relasi tersebut.

 

Dalam Musnad Ahmad, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa keimanan seseorang itu tergantung pada kecintaannya terhadap semua orang (Musnad Ahmad, nomor 14083). Kecintaan pada semua manusia dengan kewajiban memperlakukannya dengan baik adalah bagian dari keimanan (Musnad Ahmad, nomor 22558). Bahkan Nabi SAW sampai memproklamasikan syahadat ketiga setelah syahadat tauhid dan syahadat rasul, yaitu syahadat (persaksian) bahwa seluruh umat manusia adalah bersaudara (Sunan Ibnu Majah, nomor 1510 dan Musnad Ahmad, nomor 19601).

 

Secara garis besar, buku ini berisi tentang kisah-kisah Nabi Muhammad SAW bersama mereka yang beragama lain. Yaitu kisah yang menerapkan prinsip rahmatan lil Alamin dan keagungan akhlak Nabi terkait relasi dengan Muslim dengan agama lain. Baik periode Makkah sebelum dan sesudah turunnya wahyu, maupun periode Madinah Ketika komunitas Islam terbentuk dan membangun sebuah konsep negara. Kisah-kisah seperti ini jarang diangkat ke permukaan sehingga persepsi kaum awam hanya menganggap umat Islam hanya mengenal bahwa Islam adalah agama radikal dan non-Muslim adalah kafir yang harus dibinasakan.

 

Kenyataannya, jika merujuk pada kehidupan Nabi Muhammad SAW, hal ini tidak dapat dibenarkan. Baik sebelum maupun setelah menerima wahyu, relasi Nabi Muhammad SAW terhadap non-Muslim adalah baik, dengan karakter al-Amin, amanah, jujur dan berbudi mulia. Sebuah karakter yang membuat banyak pihak terkesima pada Islam atas ajarannya.

 

Memang banyak pihak dari non-Muslim yang sempat memusuhi Nabi SAW dan kaum Muslim. Dan kondisi ini seringkali menjadi narasi kepahlawanan para sahabat dalam melawan penindasan musuh-musuh Islam. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa ada juga non-muslim yang tidak memusuhi bahkan menolong serta menjamin keselamatan Nabi SAW. Dengan mereka, Rasulullah memiliki hubungan yang kuat dan baik hingga sampai berbalas jasa. Artinya, perbedaan agama sama-sekali tidak memutus tali persaudaraan. Rasa permusuhanlah yang memutus persaudaraan, bukan beda agama.

 

Dengan merujuk pada teladan Nabi SAW tersebut, penulis memaparkan bahwa kita sebenarnya bisa menata ulang konstruksi ayat-ayat mengenai relasi Muslim dan non-Muslim secara mubadalah. Tidak menggeneralisir dengan menasakh semua ayat tentang damai dengan ayat-ayat perang dan kekerasan, lalu yang benar adalah memusuhi dan memerangi semua non-Muslim atau menjauhi interaksi dengan mereka.

 

Faqihuddin juga menambahkan, bahwa kita perlu menemukan ayat yang menjadi titik tengah dari kedua kelompok ayat tersebut, melalui inspirasi sirah nabawiyah. Lalu dengan titik tengah ini kita bisa memahami mengapa ayat perang ini hadir dan apa arahnya di masa sekarang ini. Begitu pun mengapa ayat damai turun dan seperti apa konstruksinya dalam pada kehidupan sekarang yang sudah mengenal identitas negara-bangsa. Yang akan ia terangkan dalam bab “Ayat-ayat Muslim dengan Non-Muslim dalam semangat Mubadalah.” (hal. 21)

 

Namun, pembahasan yang penulis paparkan hanyalah sebuah pernak-pernik pemicu gagasan awal, mengenai relasi mubadalah antara Muslim dengan non-Muslim dari inspirasi teladan Nabi Muhammad SAW. Tidak seperti buku sebelumnya Qiraah Mubadalah yang telah sampai pada formulasi penafsiran terkait relasi gender. Meski demikian arah dan tujuan buku ini sudah bisa terlihat dari artikel di bab terakhir tentang ayat-ayat Muslim dengan non-Muslim dengan semangat mubadalah.

 

Identitas Buku:

Judul: Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama, Inspirasi dari Teladan Nabi Muhammad SAW
Penulis: Faqihuddin Abdul Kodir​​​​​​​
Penerbit: IRCiSoD Yogyakarta
Tahun Terbit: Desember 2022
Tebal: 234 halaman
ISBN: 978-623-5348-40-7
Peresensi: Muhammad Daviq Nuruzzuhal, mahasantri YPMI Al Firdaus dan UIN Walisongo Semarang.


Pustaka Terbaru