• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Rabu, 1 Mei 2024

Rehat

Hindari Terlampau Yakin, Tetap Katakan Insyaallah

Hindari Terlampau Yakin, Tetap Katakan Insyaallah
Umat Islam disarankan mengucapkan insyaallah. (Foto: NOJ)
Umat Islam disarankan mengucapkan insyaallah. (Foto: NOJ)

Manusia memang diperintah untuk selalu berusaha untuk mendapatkan yang diangan. Segala ikhtiar tersebut penting karena tidak ada keberhasilan yang datang seketika, apalagi tanpa usaha. Namun demikian, terlampau yakin dengan kemampuan diri juga tidak disarankan.


Imam Abû al-Farj Ibnu Jauziy (w. 597) dalam kitab Akbâr al-Hamqâ wa al-Mughaffalîn memasukkan cerita menarik tentang orang yang sok yakin dengan keadaan. Bahwa ada seorang laki-laki keluar menuju pasar untuk membeli keledai. (Dalam perjalanan) ia bertemu dengan temannya, dan ditanya (hendak ke mana?). Ia menjawab: “Hendak ke pasar untuk membeli keledai.” Temannya berkata: “Katakan insyaallah.” Laki-laki itu menjawab: “Tidak perlu lagi (mengatakan) insyaallah dalam keadaan seperti ini. Uang sudah di saku dan keledai ada di pasar.”


(Sesampainya di pasar) ketika sedang mencari keledai, uangnya dicuri. Ia pun pulang dengan wajah murung. (Dalam perjalanan pulang) ia bertemu lagi dengan temannya dan bertanya: “Apa yang membuatmu (murung)?” Laki-laki itu menjawab: “Insyaallah uangku dicuri.” Temannya berkata: “Tidak perlu lagi (mengatakan) insyaallah dalam keadaan seperti ini.” (Lihat: Imam Abû al-Farj Ibnu Jauziy, Akbâr al-Hamqâ wa al-Mughaffalîn, Beirut: Dar al-Fikr al-Lubnani, 1990, halaman: 161)


Kisah di atas unik, seorang laki-laki enggan mengucapkan insyaallah karena menurut pertimbangannya, apa yang diharapkannya pasti terjadi. Syarat-syaratnya sudah mencukupi; uang dan keledai, tapi kenyataan berbicara lain. Kelengkapan persyaratan yang dimilikinya ternyata tidak menjamin bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Ada sisi lain yang luput dari pertimbangannya; pencurian yang membuatnya gagal mendapatkan keledai.


Uniknya lagi, laki-laki itu malah mengucapkan insyaallah setelah uangnya tercuri, dengan wajah murung. Ia menyandingkan ucapan insyaallah dengan musibah yang dialaminya. Menarik bukan? Mari kita telusuri pembahasannya.


Ucapan insyaallah, makna standarnya berarti apabila Allah menghendaki. Mengucapkannya termasuk ibadah. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Kahfi: 23-24:

 

 وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا. إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا

 

Artinya: Jangan sekali-kali kau berkata tentang sesuatu: ‘sungguh aku akan melakukannya besok.’ Kecuali (mengucapkan: insyaallah) apabila Allah menghendaki, dan ingatlah Tuhanmu di saat kau lupa serta ucapkan: ‘Semoga Tuhanku menunjukiku pada jalan terdekat menuju hidayah'.


Dalam Tafsîr al-Thabarî, lafal illâ an yasyâ’alllah dipandang sebagai ta’dîb minallah atau pendidikan dan hukum dari Allah yang disampaikan pada nabi-Nya agar memegang teguh bahwa segala kejadian hanya mungkin terjadi karena masyi’atilllah atau kehendak Allah. (Imam al-Thabari, Tafsîr al-Thabarî, juz 17, halaman: 644). 


Kesalahannya adalah banyak orang yang memahami makna kehendak Allah atau izin Allah tidak dengan sikap positif. Ketika segala sesuatu tidak berjalan baik, manusia cenderung menyalahkan Tuhan, meski dengan suara kecil yang malu-malu. Padahal, jika dipahami secara mendalam, kehendak Allah tidak mungkin buruk, yang dikehendaki-Nya selalu kebaikan bagi hamba. Ini murni soal persangkaan kepada-Nya. Jika persangkaan baik, akan dipenuhi energi positif untuk terus maju; jika persangkaan buruk, akan diam menggerutu tanpa gerak maju.


Dari wilayah pelakunya, pengucapan insyaallah dapat dipahami dalam beberapa tingkatan. Pertama, orang yang tidak menganggap penting pengucapannya seperti contoh di atas. Kedua, orang yang mengucapkan insyaallah karena kebiasaan, bukan lantaran benar-benar terselami oleh maknanya. Ketiga, orang yang mengucapkan insyaallah dan menghayati betul makna terdalamnya.


Untuk yang pertama, tidak perlu membahasnya karena sudah ada contohnya di atas. Yang kedua, tidak bisa pungkiri bahwa pengucapan insyaallah sudah menjadi kebiasaan umum. Di satu sisi bagus, di sisi lain membuat maknanya tereduksi. Sebab, ada dua wajah yang saling berlawanan ketika pengucapan insyaallah dilakukan tanpa kesadaran makna. Wajah positifnya adalah menunjukkan bahwa yang bersangkutan termasuk kalangan beriman, meski secara tanpa sadar ketika mengucapkannya. Wajah negatifnya adalah, ketika insyaallah digunakan untuk berjanji, tapi tidak ditepati. Misalnya, besok aku tunggu di lapangan karena ada hal penting yang ingin dibicarakan. Kemudian dijawab: insyaallah, jam tiga. Nyatanya tidak datang. Artinya ucapan insyaallah hanya menjadi istilah bahasa yang lumrah sekaligus meninggalkan kesan bahwa Tuhanlah yang menghendakinya tidak tepat janji.


Dengan kata lain, kesakralannya turun hingga pengucapnya melupakan nilai agama yang terkandung di dalamnya. Ketiga, bagi orang-orang dalam kategori ini mengucapkan insyaallah dapat memberi mereka tiga kekuatan sekaligus; pertama, kekuatan bergerak maju, kedua, kekuatan rendah hati, dan ketiga adalah kekuatan bertanggung jawab. 


Maksud dari kekuatan bergerak maju adalah persangkaan baik kepada Allah. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kehendak Allah untuk hamba pasti baik, tidak mungkin Ia menghendaki keburukan kepada hamba. Dengan mengucapkan insyaallah, telah menanamkan prasangka baik kepada-Nya, sehingga menghasilkan kekuatan bergerak maju yang penuh optimisme dan positif.


Berikutnya kekuatan rendah hati. Maksudnya, dengan mengucapkan insyaallah manusia sedang berupaya meminimalisasi keangkuhan, bahwa semua yang diraih murni hasil usaha sendiri. Bagi orang yang berusaha mengamalkannya, insyaallah akan terhindar dari perasaan sombong. Bahkan dalam hal beribadah sekalipun. Contohnya kerelaan Nabi Ismail di saat hendak disembelih ayahnya. Dalam surat Ash-Shaffat ayat 102 disebutkan: 


يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

 

Artinya: Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, niscaya kau akan dapati aku, insyaallah, termasuk dalam orang-orang yang sabar.


Nabi Ismail mengucapkan insyaallah karena tahu bahwa kesabarannya adalah anugerah dari Allah, bukan murni dari diri sendiri. Sebab, jika ada orang yang menyatakan dirinya seorang penyabar tapi menafikan peran Tuhan di dalamnya, baik disadari atau tidak, yang bersangkutan telah mendekati kesombongan.

 


Yang terakhir adalah kekuatan bertanggung jawab. Maksudnya adalah kuat memegang amanah karena ketakwaan kepada Allah. Sebab, ucapan insyaallah bagi orang yang berusaha mendalami maknanya adalah amanah. Bagaimana tidak? manusia berjanji menggunakan nama Tuhan (berucap insyaallah), tapi tidak ditepati, maka hal tersebut keterlaluan. Nama Tuhan yang Maha Tinggi digunakan untuk berbohong, terlepas dari sadar atau tidak, seperti diuraikan sebelumnya.


Oleh karena itu, manusia harus mulai mendekati insyaallah dengan sudut pandang baru. Kebiasaan mengucapkannya harus dilestarikan, tapi didampingi dengan peningkatan kesadaran akan nilainya, terutama tiga kekuatan tadi. Wallahu a’lam.


Rehat Terbaru